Etiologi
kelainan psikotik, seperti skizofrenia, tetap sulit dipahami. Meskipun tidak
mungkin ada satu penyebab skizofrenia, sejumlah faktor genetik dan lingkungan telah
diidentifikasi dapat menyebabkan risiko psikosis. Salah satu faktor lingkungan yang
mendapat perhatian karena berkontribusi terhadap risiko gangguan psikotik adalah
terpapar ganja. Perlu dicatat bahwa sebagian besar individu yang terpapar ganja
tidak berkembang menjadi psikosis dan kebanyakan individu dengan gangguan psikotik
mungkin tidak pernah terpapar ganja. Dengan demikian, ganja tidak perlu dan tidak
cukup untuk menyebabkan skizofrenia. Kemungkinan besar, ganja dapat berkontribusi
menyebabkan psikosis pada individu yang rentan (Wilkinson, et al.,2014).
Gangguan
psikotik akibat cannabis didiagnosis dengan adanya psikosis akibat cannabis.
Gangguan psikotik cannabis jarang terjadi; ide paranoid transien lebih sering
terjadi. Florid psychosis agak umum terjadi di negara-negara di mana beberapa orang
memiliki akses jangka panjang ke ganja dengan potensi tinggi. Episode psikotik kadang-kadang
disebut sebagai “hemp insanity" penggunaan ganja jarang menyebabkan
pengalaman "bad-trip", yang sering dikaitkan dengan intoksikasi halusinogen.
Bila gangguan psikotik ganja tidak terjadi, hal itu mungkin berkorelasi dengan
gangguan kepribadian yang sudah ada sebelumnya pada orang yang terkena dampak
(Sadock, et al., 2015).
Gejala
Positif
Ekstrak
ganja mengandung sejumlah THC yang dapat menghasilkan gejala positif transien,
yang secara kualitatif mirip dengan gejala positif skizofrenia. Gejala ini termasuk
kecurigaan, paranoid dan waham kebesaran, disorganisasi konseptual, pemikiran
yang terfragmentasi dan perubahan persepsi. Selain itu ganja dan THC juga mengakibatkan
depersonalisasi, derealisasi, perubahan dalam persepsi sensorik dan perasaan
tak nyata. Efek ini secara konsisten telah ditunjukkan oleh rokok ganja, ekstrak
ganja oral/THC (dosis 5-20mg), THC intravena (kisaran dosis 0,015-0,03 mg/kg)
dan melalui saluran pernapasan dengan vaporizer (Radhakrishnan, et al., 2014).
Gejala
Negatif
Delta-9-tetrahydrocannabinol
juga menghasilkan berbagai efek yang sama dengan gejala negatif skizofrenia,
termasuk afek tumpul, penarikan emosional diri, retardasi psikomotor, kurangnya
spontanitas dan berkurangnya interaksi. Morrison et al menunjukkan bahwa efek
dari THC pada gejala negatif tidak bergantung pada efek sedasi (Radhakrishnan,
et al., 2014).
Salah
satu komplikasi penggunaan jangka panjang adalah "sindrom
amotivasional" pada pengguna yang berat. Sindrom ini terlihat terutama
pada pengguna sehari-hari yang berat dan ditandai dengan munculnya dorongan dan
ambisi yang menurun, sehingga "amotivasional." Hal ini juga terkait
dengan gejala gangguan sosial dan pekerjaan lainnya, termasuk rentang perhatian
yang singkat, penilaian yang buruk, gangguan kemampuan komunikasi, introversi
dan berkurangnya efektivitas dalam situasi interpersonal. Kebiasaan pribadi
bisa memburuk, dan mungkin ada kehilangan wawasan, dan bahkan perasaan
depersonalisasi (Stahl, 2013).
Penurunan
Kognitif
Kannabis,
THC dan kannabinoid sintetis lainnya juga menyebabkan gangguan kognitif sementara,
yang berhubungan dengan dosis, terutama pada pembelajaran verbal, memori jangka
pendek, fungsi eksekutif, kemampuan abstrak, pengambilan keputusan, perhatian
dan konsentrasi (Radhakrishnan, et al., 2014). Penggunaan ganja akut umumnya
menyebabkan gangguan pada aspek perencanaan dan pengambilan keputusan, misalnya
kecepatan respons, akurasi, dan latency. Beberapa penelitian juga menemukan
peningkatan risiko dengan dosis ganja yang lebih tinggi. Efek akut menunjukkan
0-6 jam setelah penggunaan ganja terakhir; Efek residu menunjukkan 7 jam sampai
20 hari setelah pemakaian ganja terakhir; Dan efek jangka panjang menunjukkan 3
minggu atau lebih lama setelah penggunaan ganja terakhir (Crean, et al., 2011).
Sollowij
dan Battisti menyimpulkan bahwa penggunaan ganja berat dan kronis dikaitkan
dengan gangguan memori yang berlangsung diluar periode intoksikasi akut dan
terkait dengan frekuensi, durasi, dosis dan usia onset dari penggunaan ganja (Radhakrishnan,
et al., 2014).
Sebuah
studi menunjukkan tidak adanya defisit persisten neuropsikologi pada pengguna
ganja jangka panjang setelah 28 hari abstinen, penelitian lain menunjukkan durasi
untuk pemulihan penuh mulai dari seminggu sampai 28 hari, untuk 3 bulan abstinen
dengan beberapa penelitian menunjukkan pemulihan setelah rata-rata 2 tahun abstinen
(Radhakrishnan, et al., 2014).
Terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi hubungan antara ganja dengan terjadinya
psikotik, antara lain:
Lamanya
paparan
Penggunaan
ganja secara teratur telah dikaitkan dengan gejala psikotik seperti pemikiran
tidak teratur (disorganized), halusinasi, dan delusi. Bukti epidemiologis
menunjukkan bahwa semakin muda terpapar ganja, semakin besar resiko terjadinya
psikotik. Drag et al menunjukkan bahwa usia yang lebih muda pada onset
pengunaan ganja dikaitkan dengan gejala awal dari kecemasan, penarikan diri,
derealisasi, gangguan memori dan kesulitan konsentrasi. Ganja dapat
memperngaruhi proses perkembangan dan pematangan otak (Radhakrishnan, et al.,
2014).
Sebuah
penelitian melakukan follow up selama 15 tahun dari 50.465 wajib militer pria
Swedia menemukan bahwa mereka yang telah mencoba ganja pada usia 18 tahun
memilki kemungkinan 2-4 kali didiagnosis skizofrenia daripada mereka yang
tidak. Mereka yang telah menggunakan ganja 10 kali atau lebih pada usia 18
tahun 2-3 kali lebih mungkin didiagnosis skizofrenia daripada mereka yang tidak
melakukannya (Wilkinson, et al., 2014).
Riwayat
keluarga dan genetik
Studi
awal menunjukkan bahwa riwayat keluarga positif skizofrenia dapat meningkatkan
resiko gangguan psikotik yang diinduksi ganja. Faktor genetic memaparkan
tentang kerentanan psikotik oleh karena paparan ganja yaitu interakti gen-lingkungan.
Secara khusus Catechol-O-methyltransferase (COMT) dan AKT1 telah terlibat dalam
menyebabkan kerentanan psikosis (Radhakrishnan, et al., 2014).
Catechol-O-methyltransferase
(COMT) Enzim COMT memainkan peran penting dalam pemecahan dopamine di
prefrontal cortex (PFC), berbeda dengan striatum dimana dopamine (DA)
dibersihan dengan transporter. Gen COMT mengkodekan enzim
catechol-O-methyltransferase, yang berperan penting dalam degradasi dopamin di
otak, dan mengandung polimorfisme fungsional (COMTVal158Met) yang menghasilkan
dua varian umum enzim (Val dan Met). Varian Val dikaitkan dengan aktivitas COMT
yang meningkat, yang menghasilkan kombinasi penurunan neurotransmfikasi dopamine
di korteks prefrontal dan peningkatan kadar dopamin di daerah mesolimbik.
Individu
yang membawa genotipe Met/Met homozigot memiliki aktivitas COMT terendah
Val/Val homozigot memiliki tingkat dopamine terrendah dan heterozigot dianggap
sebagai aktivitas intermediate, karena kedua alel tersebut bersifat codominant
(Alemany, et al., 2014). COMT memiliki kesamaan polimorfisme pada manusia, yang
menghasilkan aktivitas enzim 40% lebih tinggi dan degradasi dopamine lebih
cepat ketika Valin diganti dengan Metionin (Met) di lokus 158/108.; Rendahnya
kadar dopamine kortikal pada individu homozigot untuk polimorfisme Val (158)
terkait dengan kinerja kognitif yang buruk dan prekortikal yang tidak berfungsi
efisien. Terdapat bukti bahwa individu dengan polimorfisme Val gen COMT
(Val158Met) memiliki kesempatan tinggi untuk menjadi psikotik akut dalam
merespon paparan THC (Radhakrishnan, et al., 2014).
AKT1
adalah gen lain yang memainkan peran dalam hubungan antara ganja dengan
gangguan psikotik. Fungsi AKT1 untuk menonaktifkan glikogen sintase kinase
(GSK-3) dengan fosforilasi. Interaksi AKT1 dan GSK-3 berperan dalam sejumlah
proses seluler penting yaitu, proliferasi sel, apoptosis dan transkripsi. Penelitian
in vitro telah menunjukkan bahwa kannabinoid mampu merangsang jalur AKT1
melalui reseptor CB1 dan CB2. Pada studi postmortem menunjukkan penurunan kadar
AKT1 di PFC pasien skizofrenia (Radhakrishnan, et al., 2014).
Riwayat
Child Abuse
Beberapa
penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara penggunaan ganja dengan
child abuse yang berkembang menjadi gejala psikotik (Radhakrishnan, et al.,
2014). Dalam konteks ini, penggunaan ganja dan kesulitan masa kanak-kanak telah
dikaitkan dengan peningkatan risiko menjadi psikosis pada sampel klinis dan
non-klinis. Namun, tidak semua orang yang terpapar kesulitan masa kecil
berkembang menjadi gejala psikotik di kemudian hari.
Demikian
pula, hanya sebagian kecil pengguna ganja yang menjadi psikotik yang menunjukkan
implikasi faktor lain dalam kaitan ini. Dalam hal ini, beberapa penelitian
telah menunjukkan bahwa keterpaparan bersama terhadap dua faktor lingkungan,
penggunaan ganja dan kesulitan masa kecil, dapat meningkatkan kemungkinan
gejala psikotik sampai tingkat yang lebih tinggi daripada risiko yang diharapkan
untuk setiap faktor yang bekerja secara independen (Alemany, et al., 2014).
Secara
neurobiologis hal ini masuk akal, karena pengalaman stres dan delta-9-tetrahydrocannabinol
(THC), mampu meningkatkan sinyal dopaminergik dalam sistem mesolimbik, yang
menghasilkan peningkatan risiko delusi dan halusinasi. Sebuah bukti menunjukkan
bahwa sensitivitas diferensial terhadap stress lingkungan disebabkan oleh
polimorfisme Val158Met gen gen katekol-O metiltransferase (COMT), mungkin dalam
interaksi dengan faktor-faktor lain, mungkin merupakan risiko psikosis yang
mendasarinya (Alemany, et al., 2014).