Tes CFIT (Culture Fair Intelligence
Test) di buat untuk pertama kalinya oleh Raymond B. Cattel
dan Karen S. Cattel pada tahun 1940 dan diterbitkan oleh Institute of
Personality and Ability Testing (IPAT), di Amerika Serikat pada tahun 1949. Tes
ini dianggap menjadi ukuran “g” (measure of “g” / general factor). Tes ini
mengalami beberapa revisi dan penelitian. Revisi dan penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui tingkat validasitas tes CFIT. Pada tahun 1949 skala Cultur
Fair mengalami revisi dan sampai sekarang hasilnya tetap dipakai.
CFIT terdiri dari tiga skala, yaitu
skala 1, skala 2, dan skala 3 yang berbeda dalam derajat kesukaran sehingga
penggunaannya disesuaikan dengan umur dan kriteria subjek (LPSP3, 2009).
Tujuan utama rancangan dan susunan
tes ini adalah :
- Menciptakan instrumen yang secara psikoteria sehat, berdasarkan teori yang komperehensif, dengan validitas dan rellabilitas semaksimal mungkin.
- Memperkecil pengaruh budaya-budaya dan kondisi masyarakat yang tidak relevan.Tetapi tetap mempergunakan atau mempertahankan kegunaan prediktif untuk berbagai tingkah laku konkrit.
- Pelaksanaan penyajian dan penyekoran yang sangat mudah dan penggunaan waktu tes yang relatif ekonomis.
- Tes ini dipergunakan untuk keperluan yang berkaitan dengan faktor kemampuan mental umum atau kecerdasan.
Tes inteligensi CFIT mengukur
general intelligence (g) yang terdiri dari dua faktor, yaitu fluid intelligence
dan crystallized intelligence. Fluid intelligence merupakan hasil utama yang
terukur dari pengaruh faktor biologis terhadap perkembangan intelektual yang
bersifat bawaan (herediter). Crystallized intelligence merupakan hasil dari
interaksi antara fluid intelligence dengan lingkungan sekitar, seperti sekolah.
Crystallized intelligence merupakan keahlian yang diperoleh dari
pengalaman-pengalaman budaya., sehingga crystallized intelligence berkembang
sebagai hasil belajar. Pada tahun 1971, Cattel mengungkapkan bahwa CFIT
merupakan tes yang mengukur fluid intelligence factor (Saptoto, 2012).
Goldstein dan Hersen (2000)
mengungkapkan bahwa korelasi CFIT dengan tes-tes inteligensi yang lain
menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0,5 sampai dengan 0,7. Hal tersebut
menunjukkan bahwa CFIT terbukti valid untuk mengukur inteligensi. Azwar (2009)
mengemukakan bahwa sebuah tes yang valid berarti bahwa tes tersebut mampu
menjalankan fungsi ukurnya sesuai tujuan dilakukannya tes tersebut. Goldstein
dan Hersen (2000) selanjutnya mengungkapkan bahwa CFIT skala 3 memiliki
koefisien konsistensi internal sebesar 0,85. Reliabilitas test-retest CFIT
skala 3 adalah 0,82. Hal tersebut menunjukkan bahwa CFIT skala 3 terbukti
reliabel dalam mengukur inteligensi. Azwar (2009) mengemukakan bahwa
reliabilitas adalah keterandalan atau keajegan sebuah tes. Tes yang reliabel
berarti bahwa tes tersebut memberikan hasil yang relatif sama dalam beberapa
kali pengukuran yang melibatkan kelompok subjek yang sama.
Suryabrata (2005) menjelaskan bahwa
hasil pengukuran yang berupa skor mentah suatu tes tidak memiliki sebuah makna
kecuali jika disertai oleh data pendukung yang memungkinkan orang untuk membuat
interpretasi terhadap skor tersebut. Interpretasi yang dilakukan terhadap hasil
tes CFIT menggunakan norma yang disusun oleh Raymod B. Cattel dan Karen S.
Cattel pada tahun 1965 dengan menggunakan populasi di Amerika. (UPAP, 2012).
Kaplan dan Saccuzzo (2005) menjelaskan
bahwa suatu alat ukur atau tes psikologi beserta normanya perlu dilakukan
peninjauan kembali sekurang-kurangnya 5 tahun sekali, sebagai bentuk pencegahan
jika dalam kurun waktu tersebut dapat terjadi perubahan-perubahan yang penting
dan secara signifikan dapat memengaruhi hasil tes dan evaluasi yang dibuat.
Perubahan yang terjadi dikarenakan karakteristik populasi yang terus berkembang
seiring dengan perkembangan waktu. Norma CFIT yang selama ini digunakan di
Indonesia telah berusia lebih dari lima tahun, tepatnya sudah berusia 49 tahun.
Norma yang berusia puluhan tahun tersebut dapat menyebabkan ketidaksesuaian
hasil tes, karena norma pembanding yang digunakan sudah tidak sesuai dengan
kondisi saat ini.
Ketidaksesuaian tersebut dapat diakibatkan
karena terdapat perbedaan IQ antar generasi yang disebut dampak Flynn (Gregory,
2013). Keberadaan dampak Flynn mengingatkan pengguna tes tentang bahayanya
menarik kesimpulan berdasarkan norma-norma tes inteligensi yang selalu berubah.
Restrandardisasi norma tes berkaitan dengan perubahan IQ perlu dilakukan untuk
menghindari kesalahan dalam menginterpretasi tes psikologi.
Aiken dan Marnat (2008)
mengemukakan empat tujuan utama dari alat tes psikologi, yaitu diagnosa,
prediksi, dekripsi dan pemahaman diri.
Berdasarkan keempat tujuan tersebut tampak jelas bahwa alat tes
psikologi memiliki tujuan yang sangat penting, maka tes psikologi harus dijaga
dengan baik agar dalam pelaksanaannya tujuan ini dapat tercapai. Hadi, Sami’an, dan Wrastari (2004)
mengemukakan bahwa pada tes psikologi, menggunakan norma yang tidak sesuai
sebagai acuan dalam melakukan interpretasi skor tes akan memberikan data yang
tidak valid dan dapat berakibat fatal. Kesalahan interpretasi akan menyebabkan
kesalahan diagnosa terhadap kondisi psikologis individu, sehingga dapat
memberikan beban terhadap individu tersebut. Kesalahan diagnosa tes psikologi
yang terjadi saat proses rekrutmen karyawan akan sangat merugikan masa depan
klien, karena individu yang seharusnya layak mendapatkan pekerjaan tersebut
namun karena kesalahan diagnosa dari satu tes psikologi, membuat individu gagal
memperoleh pekerjaan tersebut.
Azwar (2011) menambahkan bahwa tes
psikologi seharusnya memiliki kualitas yang baik. Alat tes yang berkualitas merupakan
hal dasar yang dibutuhkan untuk melakukan diagnosa dan menentukan seberapa baik
suatu proses pengukuran. Hal tersebut dianggap penting karena hasil akhir dari
tes psikologis berupa skor akan digunakan sebagai dasar dalam pengambilan
keputusan terkait dengan individu yang mengikuti tes tersebut. Kesalahan
diagnosa yang terjadi dikarenakan adanya ketidaksesuaian norma tes juga akan
merugikan perusahaan yang melakukan rekrutmen. Calon karyawan yang mendapatkan
skor IQ 100 dengan norma yang kadaluarsa sudah merupakan kemampuan rata-rata,
namun hal tersebut belum tentu sesuai dengan kemampuan yang senyatanya bila
dibandingkan dengan karyawan-karyawan lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kemampuan calon karyawan dapat menandakan bahwa kemampuan calon karyawan
tersebut masih di bawah rata-rata karyawan lain, sehingga ketika calon karyawan
tersebut diterima tentunya akan mengecewakan pihak perusahaan, apabila hal
tersebut terjadi berulang-ulang maka reputasi tes psikologi jatuh sebagai suatu
alat ukur.
Murphy dan Davidoser (1998)
mengemukakan bahwa skor tes yang didapat
individu akan dibandingkan dengan norma tes yang telah disusun dari suatu
kelompok sampel (kelompok norma) yang memiliki karakteristik hampir mirip
dengan subjek. Anastasi dan Urbina (2006) menambahkan bahwa norma-norma tes
psikologi sama sekali tidak bersifat absolut, universal, ataupun permanen.
Pengambilan sample norma disesuaikan dengan populasi tujuan alat tes tersebut
dirancang. Pengguna tes seharusnya mempertimbangkan pengaruh-pengaruh khusus
yang bias menyangkut sampel normatif yang digunakan dalam menstandardisasikan
tes tertentu. Pengaruh-pengaruh tersebut mencakup kondisi-kondisi
kemasyarakatan pada saat data normatif dikumpulkan. Buku informasi tes yang
ditulis oleh Urusan Pengembangan Alat Psikodiagnostika (UPAP) tahun 2012
menjelaskan bahwa norma tes inteligensi CFIT yang digunakan di Indonesia masih
merupakan norma CFIT yang disusun pada tahun 1965 dengan menggunakan 3140
subjek dari Amerika. Norma CFIT yang
selama ini digunakan di Indonesia mungkin saja tidak cocok untuk menggambarkan
nilai IQ individu karena terdapat perbedaan kondisi antara Indonesia dan
Amerika. Hal tersebut menunjukkan bahwa
norma CFIT yang digunakan di Indonesia perlu disusun kembali berdasarkan populasi
di Indonesia.
Saat ini telah hadir Aplikasi Tes CFIT Online yang dikembangkan oleh NS. Development. Berminat menggunakan Tes CFIT Online? Dapatkan di tautan ini...!!!
Tags
TES CFIT