Sebagai sebuah aliran, khususnya dalam penelitian kualitatif,
ada beberapa tokoh yang terkenal dalam aliran hermeneutic. Tokoh-tokoh ini berbicara
mengenai sistematika dalam epistemology dan metodologi penelitian hermeneutika.
D. E.
Scehleiermacher (1768 – 1834)
Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher dilahirkan di
Breslau di Silesia, sebagai anak seorang pendeta tentara dari Gereja Reformasi
di Prusia. Ia belajar di sebuah sekolah Moravia di Niesky di Lusatia Hulu, dan
di Barby dekat Halle. Scehleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam
bidang seni dan interpretasi, yaitu rekontruksi historis, obyektif dan
subyektif terhadap sebuah pernyataan. Dengan rekontruksi obyektif-historis
terhadap sebuah pernyataan. Dengan rekontruksi obyektif historis, ia bermaksud
membahas sebuah pernyataan dalam hubungan dengan bahasa sebagai keseluruhan.
Dengan rekontruksi subyektif-historis ia membahas awal mulanya sebuah
pernyataan masuk dalam pikiran seseorang. Scehleiermacher sendiri menyatakan
bahwa tugas hermeneutik adalah memahami teks sebaik atau lebih baik dari
pengalamannya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada
pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami
diri sendiri.
Schleiermacher dalam uraiannya banyak dipengaruhi oleh
Freidrich Ast dan Freidrich August Wolf. Menurut Ast tugas hermeneutik adalah
membawa keluar makna internal dari suatu teks beserta sifatinya menurut
jamannya. Ia membagi tugas itu dalam tiga bagian, sejarah, tata bahasa dan
aspek kerohaniannya (geistige). Korespondensi ketiga bagian tersebut merupakan
tiga taraf penjelasan yaitu:
- Hermeneutik atas huruf (Hermeneutik des Buchstabens) atau bahan baku teks
- Hermeneutik atas makna (hermeneutik des Sinnes) atau bentuk teks
- Hermeneutik atas aspek kejiwaan (Hermeneutik des Geistes) atau jiwa teks
F.A. Wolf mendefiniskan hermeneutik sebagai seni menemukan
makna sebuah teks. Menurutnya ada tiga jenis hermeneutik atau interpetrasi
yaitu Interpretasi gramatikal, Interpretasi historis, dan Interpretasi Retorik.
Perbedaan antara Ast dan Wolf adalah, Wolf membahas tata
bahasa, hermeneutik dan kritik sebagai studi persiapan filologi sementara Ast
menganggap ketiga disiplin ilmu tersebut hanya lampiran (appendiks) bagi
filologi. Menurut Shleiermacher sendiri ada dua tugas hermeneutik yang identik
satu sama lain, yaitu interpretasi
gramatikal dan interpretasi
psikologis.
Kompetensi linguistik dan kemampuan mengetahui sesorang
sangat menentukan keberhasilan sebuah interpretasi. Karena dua hal tersebut
sangat sulit mengingat, Schleiermacher mempunyai sebuah rumusan positif dalam
bidang seni interpretasi yaitu rekonstruksi hitoris, obyektif dan subyektif
terhadap sebuah pernyataan.
Hans-Georg Gadamer (1900 – 2002)
Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg tahun 1900. Ia
belajar filsafat di universitas di kotanya seperti pada Nikolai Hartman, Martin
Heidegger dan Rudolf Bultmann (teolog protestan). Karier filsafat Gadamer
mencapai puncak pada 1960, saat ia menjelang pensiun, melalui bukunya
‘Kebenaran dan Metode’ (Wahrheit und Methode) – sebuah dukungan berarti bagi
karya Heidegger ‘Sein und Zeit’ (Being and Time).
Gadamer boleh kita sebut sebagai hermeneut sejati.
Gadamer secara mendasar menegaskan bahwa persoalan hermeneutik bukanlah
persoalan tentang metode tidak mengajarkan tentang metode yang digunakan untuk
Geisteswissenschaften. Hermeneutik lebih merupakan usaha memahami dan
menginterprestasi sebuah teks. Hermeneutik merupakan bagian dari keseluruhan
pengalaman mengenai dunia. Hermeneutik berhubungan dengan suatu teknis atau
techne tertentu, dan berusaha kembali kesusunan tata bahasa, karena techne atau kunstlehre (ilmu tentang seni) inilah maka
hermeneutik menjadi sebuah ‘filsafat praktis’, yang juga berarti sebuah ilmu
pengetahuan tentang segala hal yang universal yang mungkin untuk diajarkan
Pemahaman pada dasarnya berkaitan dengan hubungan antar makna dalam sebuah
teks, serta pemahaman tentang realitas yang kita perbincangkan. Dan inilah yang
dimaksudkan denagan ‘dinamika perpaduan berbagai macam factor’ dalam sebuah
bahasa. Namun hermeneutik bukan merupakan kemampuan teknis.
Empat faktor yang terdapat di dalam interprestasi
adalah:
- Bildung: juga disebut pembentukan jalan pikiran, ini menggambarkan cara utama manusia dalam memperkembangkan bakat-bakatnya.
- Sensus communis atau pertimbangan praktis yang baik: istilah ini mempunyai komunitas. Karena sensus communis inilah maka kita dapat mengetahui hampir-hampir secara interpretasi.
- Pertimbangan: menggolongan-golongkan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang universal, atau mengenali sesuatu sebagai contoh perwujudan hukum. Dalam hal ini, kita terutama memahami pertimbangan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan, sesuatu yang tidak dapat dipelajari ataupun diajarkan, tetapi hanya dapat dilaksanakan dari satu kasus ke kassus yang lainnya.
- Selera: adalah keseimbangan antara insting pancaindra dengan kebebasan intelektual. Selera dapat diperlihatkan dan membuat kita mundur dari hal-hal yang kita sukai, serta meyakinkan kita dalam membuat pertimbangan.
Dari semuanya itu, konsep tentang pengalaman termasuk
didalamnya. Sifat pengalaman adalah personal dan individu, jadi hanya akan
valid jika diyakinkan dan diulangi oleh individu lain. Pengalaman yang benar
hanyalah yang secara histories dimiliki oleh seseorang. Orang yang
berpengalaman mengetahui keterbatasan semua prediksi dan ketidak tentuan semua
rencana. Seorang yang berpengalaman perlu selalu bersikap terbuka terhadap
pengalaman baru, menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat statis dan
dogmatik, mencari fleksibilitas dan transparansi yang memungkinkannya untuk
menerima kebenaran yang berasal dari dunia eksternal dalam arah yang memusat.
Pengalaman mengajarkan kepada kita kemampuan mengenali realitas, termasuk juga
realitas tentang “engkau” atau ‘yang lain’ dalam teks atau peristiwa sejarah.
Pengalaman yang datang dan pergi antara “Aku dan Engkau” bersifat dialetik dan
menurut semacam keterbukaan tanpa prasangka atau keterbukaan yang tulus.
Jurgen Habermas (1929
– now)
Selain tekun dalam filsafat, Habermas yang lahir di
Gummersbach 1929, juga menekuni bidang politik dan banyak berpartisipasi dalam
diskusi tentang ‘persenjataan kembali’ (reamament) di Jerman. Meski gagasan
Habermas tidak berpusat pada hermeneutik namun gagasan-gagasannya banyak
mendukung pustaka hermeneutik. Gagasan hermeneutiknya dapat ditemukan dalam
tulisannya ‘Knowledge and Human Interest’.
Menurut Habermas, penjelasan ‘menuntut penerapan
proporsi-proporsi teoritis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui
pengamatan sistematis’ (Habermas, 1972:144). Sedangkan pemahaman adalah ‘suatu
kegiatan dimana pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi satu’.
Pendekatan hermeneutik mengandaikan adanya aturan –
aturan linguistic transcendental pada tindakan komunikatif, sebab akal pikiran
atau penalaran sifatnya melebihi bahasa.
Pemahaman hermeneutic mempunyai tiga momentum, yaitu:
- Pengetahuan praktis yang reflektif mengarahkan kita kepada pengetahuan tentang diri sendiri, sebab dengan meliahat dimensi social kita melihat diri kita sendiri. Untuk itu kita harus mampu membaurkan diri ke dalam masyarakat.
- Pemahaman hermeneutic memerlukan penghayatan dan bila dihubungkan dengan ‘kerja’ akan membawa kita ke tindakan nyata atau praxis atau perpaduan antara pengetahuan dan bentuknya.
- Pemahaman hermeneutic sifatnya global, yaitu mengandaikan adanya tujuan khusus dan pemahaman ini dapat ditentukan secara independent atau bebas dengan maksud untuk mencapai perealisasinya. Melalui tindakan komunikatif, pemahaman hermeneutic mempunyai bentuknya yang hidup, kehidupan social.
Jacques Derrida
(1930 – 2004)
Jacques Derrida (lahir di El Biar, Aljazair, 15 Juli
1930 – meninggal di Paris, Prancis, 8 Oktober 2004 pada umur 74 tahun) adalah
seorang filsuf kontemporer Prancis yang dianggap sebagai pengusung tema
dekonstruksi di dalam filsafat pascamodern.
Keseluruhan gagasan tentang hermeneutic cenderung
berhubungan dengan pengertian tentang ‘yang merangkai’ dan ‘yang dirangkaikan’
menurut kerangka waktu pengarang teks tahu pembacanya. Jadi dalam hal ini,
interpreter harus dapat menerapkan pesan teks kedalam kerangka waktunya
sendiri. Istilah ‘kelayakan’ dipergunakan untuk menggambarkan cara pembaca dan
kritik menghayati pandangan dunia si pengarang. Kemudian istilah “permanan”
dipergunakan oleh Gademer untuk menunjukan bahwa hermeneutic hanyalah sekedar
permainan di mana interpreter adalah ahlinya.
Di dalam La
Dissemimanation, Derrida membicarakan tentang “obat” buatan plato. Ia
mengatakan bahwa air, tinta, cat ataupun parfum adalah obat-obat yang meresap
dalam bentuk bentuk cairan. Barang – barang cair itu diminum, dihisap, masuk
kedalam tubuh kita. Menurut Derrida, sebuah istilah menggandakan dirinya
melalui ‘pembelahan diri’, atau berkembang melalui ‘pencakokan diri’. Jadi
istilah bagaikan sebuah benih, dan bukan sebagai istilah yang bersifat mutlak.
Sebagaimana sebuah benih, istilah mempunyai keterbatasannya sendiri yang
berasal dari dalam, bukan dari luar dirinya. Atas dasar inilah Derrida menolak
polisemi dan sebagai gantinya ia menganjurkan diseminasi atau penguraian yang
fatal.
Oleh karena itu, memahami sebuah istilah pada dasarnya
adalah lebih dari pada sekedar mengetahui makna atau tanda kata-kata yang
dipergunakan dalam ucapan. Idealnya, pendengar atau pembaca harus ambil bagian
dalam kehidupan pengarang atau pembicara sehingga ia dapat memahaminya. Inilah
yang dimaksudkan istilah ‘kelayakan’ atau ‘kepatuhan’. Namun, interprestasi
tidak pernah dapat terterlaksana jika dilakukan dalam rasio satu lawan satu
antara interpreter dengan teks. Orang harus menempatkan dirinya pada interprestasi
subjektif, baik itu terjadi di dalam filsafat atau kesusastraan.
Dari pembahasan di atas itu, tampak bahwa Derrida tidak
dapat disebut sebagai pemikir relatif-empiris ataupun skeptis. Bahkan juga
bukan anti kebenaran. Ia sendiri mengatakan bahwa kebenaran itu sifatnya
imperatif. Apakah seseorang menggunakan metode fenomenologis, strukturalis,
ataupun hermeneutik, ia pasti akan mencapai kebenaran. Jika kebenaran itu
meragukan, pasti bukan karena interprestasi yang lemah atau interpreternya
lemah, melainkan karena keterbatasan bahasa, atau karena keterbatasan dan
ketidak sempurnaan manusia sendiri.
Wilhelm Dilthey
(1833 – 1911)
Dilthey adalah seorang filsuf Jerman. Ia terkenal dengan
riset historisnya dalam bidang hermeneutik. Ia berambisi menyusun dasar
epistemologis baru bagi pertimbangan sejarah tentang pemahaman yang memandang
dunia sebagai wajah interior dan eksterior.
Ia sangat tertarik pada karya-karya Schleiermacher dan
kehidupan intelektualnya, terutama pada kemampuan intelektualnya dalam
menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya-karya kefilsafatan, serta
kagum pada karya terjemahaan dan interpretasinya atas dialog Plato.
Dithey seakan-akan ‘mematri’ sejarah dan filsafat
menjadi satu maksud untuk mengembangkan suatu pandangan filosofis yang
komprehensif dan tidak terjaring oleh dogma metafisika dan tidak ‘diredupkan’
oleh prasangka.
Ia berambisi untuk menyusun sebuah dasar epitemologis
baru bagi pertimbangan sejarah, gagasan tentang komprehensi atau pemahaman yang
memandang dunia dalam dua wajah, interior (wajah dalam) dan eksterior (wajah
luar). Mirip dengan dualisme Descrates tentang badan dan jiwa, yaitu
spiritualisme sebagai bagian interior dan realisme sebagai bagian eksterior.
Secara eksterior, suatu peristiwa mempunyai tanggal dan
tempat khusus atau tertentu; secara interior, peristiwa itu dilihat atas dasar
kesadaran atau keadaan sadar. Kedua dimensi ini tidak bernilai sama, bahkan
dapat dikatakan dalam keadaan saling tergantung.
Kesulitan yang dihadapi Dilthey adalah bagaimana
menempatkan penyelidikan sejarah sejajar dengan penelitian ilmiah.
Paul Ricoeur (1913
– 2005)
Paul Ricoeur dilahirkan di Valence, Perancis Selatan
pada tahun 1913 dan Dia menjadi yatim piatu pada saat usia 2 tahun. Ia berasal
dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dianggap sebagai salah satu
seorang cendekiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Ia memiliki perspektif
kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial ke analisis eidetik
(pengamatan yang sedemikian mendetil), fenomenologis, historis, hermeneutik
hingga pada akhirnya semantik.
Ia mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat
itu adalah interpretasi terhadap interpretasi, seperti yang dikutip dari
Nietzsche, ia menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi (Ricoeur,
1974).
Bilamana ada pluralitas makna, maka dibutuhkan sebuah
interpretasi, demikian pula jika simbol-simbol mulai dilibatkan. Setiap
interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung.
Menurut Riceour, setiap kata merupakan sebuah simbol
yang penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Jadi tidaklah heran jika
menurut Riceour tujuan hermeneutik adalah menghilangkan misteri yang terdapat
dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui
dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut (Montifiore, 1983).
Salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai
macam hermeneutik adalah ‘perjuangan melawan distansi kultural’, yaitu penafsir
harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik.
Jika pembahasan interpretasi hanya terbatas pada
simbol-simbol maka ini menjadi terlalu sempit, Riceour kemudian memperluas
definisi tersebut dengan menambahkan ‘perhatian kepada teks’. Teks sebagai
penghubung bahasa isyarata dan simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup
hermeneutik karena budaya oral dapat dipersempit.
Tugas utama hermeneutik di satu pihak adalah mencari
dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam suatu teks, dan di
lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri
keluar.
Definisi pasti tentang hermeneutik menurut Ricoeur
adalah teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi
terhadap teks (Ricoeur, 1985). Baginya manusia pada dasarnya adalah bahasa dan
bahasa itu sendiri merupakan syarat utama bagi semua pengalaman manusia.
Penjelasan struktural suatu teks cenderung bersifat
obyektif, sedangkan penjelasan hermeneutik memberi kita kesan subyektif, di
sinilah didapati dikotomi antara obyektifitas dan subyektifitas yang
menimbulkan problem. Dikotomi antara ‘penjelasan’ dan ‘pemahaman’ sangat tajam,
yaitu untuk memahami sebuah percakapan kita harus kembali pada struktur
permulaannya. Kebenaran dan metode dapat menimbulkan proses dialektis.
Otonomi teks ada tiga macam: intensi atau maksud pengarang, situasi
kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, dan untuk siapa teksi tu dimaksudkan.
Menurut Ricoeur ada tiga langkah pemahaman, yaitu yang
berlangsung dari penghayatan atas simbol-simbol ke gagasan tentang ‘berpikir
dari’ simbol-simbol. Langkah pertama adalah langkah simbolik atau pemahaman
dari simbol ke simbol, langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta
penggalian yang cermat atas makna, langkah ketiga adalah langkah yang
benar-benar filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik
tolaknya.
Pemahaman yang pada dasarnya adalah ‘cara berada’ (mode of being) atau ‘cara menjadi’ hanya
bisa terjadi pada tingkat pengetahuan yaitu pada teori tentang pengetahuan atau
Erkenntnistheorie.
Ada empat tema yang diketengahkan oleh Ricoeur:
Tema pertama adalah tidak ada titik nol saat kritik tuntas dapat mulai dilakukan. Tema kedua adalah tidak ada pandangan umum menyeluruh yang memberi kita kemungkinan untuk memahami totalitas akibat sejarah hanya dalam waktu sekejap saja. Tema ketiga adalah jika tidak ada pandangan ang menyeluruh, maka tidak akan ada situasi yang secara mutlak membatasi kita. Tema keempat adalah perpaduan antarcakrawala.