Ada dua pendahulu sejarah penting untuk penelitian
etnografi kontemporer. Penggunaan metode etnografi yang paling awal dapat
ditemukan dalam karya pelopor antropologi sosial seperti Bronislaw Malinowski,
Edward Evans-Pritchard, dan Margaret Mead pada awal abad kedua puluh. Pada
1930-an, prinsip dasar melaksanakan secara mendalam, kerja lapangan jangka
panjang pada anggota kelompok budaya tertentu diterapkan di AS oleh sosiologi
'Chicago School', yang dipimpin oleh Robert Park dan W.H. Whyte. Etnografi
adalah pendekatan kualitatif terpanjang dalam ilmu-ilmu social, asal muasal
fenomenologi dan hermeneutika dapat dilihat sebagai akar pada filsafat dan
teologi. Dibandingkan dengan pendekatan kualitatif ilmiah sosial lainnya,
etnografi telah menghasilkan literatur metodologis yang jauh lebih kaya, yang
telah mengantisipasi dan mendorong perdebatan di lapangan.
Etnografi yang dipraktekkan di dalam dunia pendidikan
telah dibentuk oleh antropologi budaya, dengan penekanan pada isu-isu terkait
dengan penulisan budaya, dan bagaimana laporan-laporan etnografis perlu dibaca
dan dipahami saat ini. Faktor-faktor ini merupakan jantung bagi pemahaman praktek-praktek
terkini dalam etnografi (Bogdan & Biklen, 1998: Denzin, 1997: LeCompte et
al., 1993: Walcott, 1999, dalam Creswell, 2012).
Akar dari etnografi pendidikan terletak pada antropologi
budaya. Pada penghujung abad 19 dan awal
abad 20, para antropolog mengkaji budaya-budaya “primitif” melalui
kunjungan-kunjungan ke negara-negara lain dan bergumul dengan masyarakatnya
untuk periode waktu yang lama. Mereka menghindarkan diri dari “menjadi natif “ (penduduk asli) dan
mengidentifikasikan diri mereka secara dekat sekali dengan orang-orang yang mereka teliti sehingga
mereka bisa menulis sebuah kisah yang “objektif” tentang apa yang mereka lihat
dan dengar. Pada waktu-waktu tertentu, kisah-kisah ini dibandingkan dengan
budaya-budaya lain yang jauh di benua lain, terutama dengan cara-cara hidup
orang Amerika. Contoh, Margareth Mead, seorang antropolog terkemuka, mengkaji
pengasuhan anak, remaja, dan pengaruh budaya terhadap kepribadian di Samoa
(Mead, dalam Creswell, 2012).
Observasi dan wawancara menjadi prosedur standar dalam
pengumpulan data “di lapangan”. Para
sosiolog di Universitas Chicago pada tahun 1920-an sampai 1950-an, melakukan
penelitian yang difokuskan pada pentingnya penelitian tentang kasus tunggal –
apakah kasusnya tentang seseorang individu, kelompok, tetangga, atau unit
budaya yang lebih besar.
Bidang kajian antropologi pendidikan interdisiplin yang
masih awal ini mulai mengkristal selama tahun 1950-an dan berlanjut sampai
tahun 1980-an (LeCompte dkk, dalam Creswell, 2012). Para antropolog pendidikan
memfokuskan diri mereka pada sub
kelompok budaya, seperti:
- Kisah perjalanan karir dan kehidupan atau analisis peran individu
- Microetnografis tentang kelompok-kelompok kerja dan kelompok-kelompok hobi dalam skala kecil
- Kajian-kajian terhadap kelas-kelas tunggal yang diabstraksikan sebagai masyarakat-mayarakat dalam kelompok kecil
- Kajian-kajian terhadap fasilitas-fasilitas sekolah atau fasilitas-fasilitas dinas pendidikan yang mendekati unit-unit ini sebagai sebuah masyarakat yang diskrit (terpisah) (LeCompte dkk, dalam Creswell, 2012).
Dalam penelitian seperti ini, para etnografer pendidikan
mengembangkan dan memperhalus prosedur-prosedur yang dipinjam dari antropologi
dan sosiologi. Dari tahun 1980-an sampai dewasa ini, para antropolog dan
antropolog pendidikan telah mengidentifikasi teknik-teknik guna memberikan
fokus terhadap kelompok budaya,
melakukan observasi, menganalisis data, dan menuliskan laporan penelitian.
Peristiwa yang membatasi etnografi, menurut Denzin
(dalam Creswell, 2012), adalah publikasi buku yang berjudul Writing
Culture (Clifford & Marcus, 1986). Para etnografer telah “menulis dengan cara
mereka sendiri” (Denzin, 1997, halaman
xvii) semenjak itu sesuai dengan isi buku tersebut. Clifford an Marcus
mengangkat dua buah isu yang sangat menggugah minat banyak orang terhadap
etnografi pada umumnya dan dalam bidang penelitian pendidikan. Pertama terkait
dengan krisis representasi. Krisis ini terdiri dari penilaian kembali tentang
bagaimana para etnografer memberikan interpretasi terhadap kelompok-kelompok
yang mereka teliti. Denzin berargumetasi bahwa kita tidak bisa lagi melihat si
peneliti sebagai reporter yang objektif yang membuat pernyataan-pernyataan yang
bersifat omnipresent (hadir di mana-mana) tentang individu-individu yang dia
teliti. Sebaliknya, si peneliti hanyalah merupakan satu suara dari banyak suara
– individu-individu seperti si pembaca, para partisipan, dan gate-keeper (para
penjaga) – yang perlu didengar. Ini memicu krisis kedua: legitimasi.
“Dalih-dalih” validitas, reliabilitas dan objektivitas dari “normal science”
tidak lagi bisa mewakili standar. Para peneliti perlu mengevaluasi
masing-masing penelitian etnografis dalam batas-batas standar yang fleksibel
yang melekat pada kehidupan para partisipan, pengaruh-pengaruh kesejarahan dan
budaya; dan kekuatan-kekuatan interaktif bersumber ras, gender, dan kelas.
Ditilik dari sisi ini, etnografi perlu memasukkan
perspektif yang diramu dari pemikiran-pemikiran feministis, pandangan-pandangan
berbasis ras, perspektif seks, dan teori kritis, dan sensitif terhadap ras,
kelas, dan gender. Etnografi dewasa ini menjadi “messy” (carut marut) dan
akhirnya menampilkan diri dalam berbagai bentuk seperti (seni) pertunjukan,
puisi, drama, novel, atau narasi pribadi (Denzin dalam Creswell, 2012).
Referensi:
Ary, Donald., Jacobs, Lucy
Cheser., Razavieh, Asghar. (2010). Introduction
to Research in Education 8th edition. Wardswoth Cengage Learning. Canada:
Nelson Education ltd
Cresswell, Jhon W., (2012). Eduactional Research: Planning, Conducting,
and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. Ney Jersey: Person
Education, Inc.
Emzir. (2013). Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif
dan Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers
McLoad, John. (2001). Qualitative Research in Counseling and
Psychotherapy. Sage Publication