Etnografi, yang akarnya adalah ilmu antropologi pada
dasarnya adalah kegiatan penelitian untuk memahami cara orang-orang
berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari.
Seperti layaknya penelitian kualitatif lainnya, etnografi saat ini sudah mampu
mengambil hati para ilmuwan komunikasi terutama berkaitan dengan penelitian
yang mengungkap praktik-praktik pengkonsumsian media, perilaku dalam
perkembangan teknologi komunikasi, dll. Metode penelitian etnografi menyuguhkan
refleksi yang mendalam bagi kajian-kajian semacam itu.
Metode etnografi memiliki ciri unik yang membedakannya
dengan metode penelitian kualitatif lainnya, seperti observatory
participant—sebagai teknik pengumpulan data, jangka waktu penelitian yang
relatif lama, berada dalam setting tertentu, wawancara yang mendalam dan tak
terstruktur serta mengikutsertakan interpretasi penelitinya. Yang terakhir ini
sepertinya masih menjadi perdebatan dengan penganut positivis. Untuk
kasus-kasus tertentu, kemampuan interpretasi peneliti diragukan – tanpa mereka
sadari, sejatinya interpretasi ilmuwan-ilmuwan etnografi berperan besar dalam
menyajikan kesadaran-kesadaran kritis atas perilaku bermedia masyarakat.
Ketidakberuntungan merode etnografi dibanding analisis
wacana, semiotik serta studi kasus adalah karena penelitian ini memerlukan
waktu yang sangat lama, tenaga yang besar – karena peneliti harus bergabung
dengan informan, keterampilan berkomunikasi yang terlatih, serta kemampuan
menuliskan interpretasi dengan baik. Disisi lain, metode etnografi telah
membuktikan bahwa sebagai metode penelitian kualitatif, ia mampu melaklukan
analisis yang lebih mendalam serta menyajikan refleksi kritis secara detil
dalam lingkup mikro sebuah kehidupan manusia.
Bagaimanapun juga, metode penelitian etnografi hanyalah
sebuah cara yang dalam aplikasinya tentu tidak dapat meninggalkan metode
penelitian lainnya, bahkan metode penelitian kuantitatif sekalipun. Sebagai
calon ilmuwan komunikasi, ada baiknya kita mempelajari metode ini, karena di
masa yang akan datang, ketika kultur mikro mulai tereduksi oleh globalisasi
makro, tentu refleksirefleksi kritis sangat diperlukan. Dan etnografi akan
hadir sebagai metode penelitian kulaitatif yang akan menyelesaikannya.
Sejak lima dekade yang lalu, para antropolog telah
memanfaatkan etnografi sebagai wahana untuk menuangkan pengalaman dan kajian
mereka. Etnografi menjadi sebuah cara yang dianggap paling tepat untuk
menggambarkan realitas masyarakat yang diteliti. Dalam tradisi kajian
antropologi klasik, etnografi menjadi “jembatan” antara pemikiran teoritis dan
realitas kehidupan sehari-hari tangkapan sang antropolog. Tradisi semacam ini
meletakkan etnografi sebagai “realitas ketiga”, yakni realitas tulis yang
berada di luar realitas subyektif penulis dan realitas obyektif yang
dituliskan.
Namun saat ini, etnografi, sebagai sebuah metode dan
tulisan, mulai sering dimanfaatkan oleh kajian budaya (cultural studies),
kritik sastra, sastra bandingan, sejarah, dan berbagai disiplin lainnya.
Bahkan, etnografi tak lagi menjadi sebuah metode asing di kalangan para pembuat
film, terutama mereka yang bergerak di bidang film dokumenter atau mereka yang
sekedar ingin menonjolkan corak realisme dalam karya mereka.
Tetapi, pemanfaatan metode dan tulisan etnografi yang
semakin meluas itu telah memunculkan kegamangan sangat dalam di kalangan para
penganut gaya etnografi klasik, yaitu para antropolog yang berpendapat bahwa
etnografi bukan sekedar karya tulisan, tetapi juga yang harus mematuhi kaidah
“ilmiah”. Jika plot dan struktur menjadi prinsip baku penulisan sebuah novel,
obyektifitas dan pembenaran empiris menjadi tulang punggung yang menentukan
apakah sebuah tulisan dapat dikategorikan sebagai “etnografis.”
Maka ketika etnografi dipakai sebagai alat kajian dan
representasi hal-hal yang dianggap bersifat “tidak obyektif” dan “tidak
empiris”, misalnya bila metode etnografi
dipakai untuk mengkaji dan menulis sebuah fiksi atau novel para etnograf klasik
mengatakan bahwa telah terjadi sebuah krisis representasi dalam seluruh
bangunan antropologi sebagai ilmu sosial. Antropologi kini telah “disastrakan”,
kata mereka.
Etnografi moderen mencapai titik puncaknya kala
Bronislaw Malinowski menerbitkan karya besarnya Argonauts of the Western
Pacific, sebuah karya etnografi yang dianggap nyaris sempurna. Buku tebal ini
merupakan laporan hasil penelitian Malinowski tentang sistem pertukaran di
Kepulauan Trobriand. Kekuatannya terletak pada cara penulisannya yang sangat
realis sehingga pembaca seolah-olah diajak mengikuti ekspedisi kula, yaitu
pelayaran masyarakat setempat dari satu pulau ke pulau lain.
Prinsip realisme dalam penulisan dicapai melalui
pemisahan antara penggambaran realitas
realitas tokoh maupun realitas alam dan peran penulis yang tugasnya
hanya merepresentasikan realitas itu dalam narasi. Pada masa puncak gerakan modernisme,
belum ada kesadaran kritis bahwa pemilihan sebuah aspek realitas yang akan
ditonjolkan dalam narasi sebenarnya merupakan fungsi atau subjektifitas sang
pengarang. Oleh karena itu, pendekatan realisme sangat cocok untuk penulisan
etnografi klasik karena etnografi realis semacam itu dianggap berhasil
“mematikan” subjektifitas pengarang. Dalam hal ini sang etnograf atau
antropolog dituntut untuk selalu bersikap “obyektif.”
Di pihak lain, pendekatan kritis menunjukkan bahwa
etnografi juga bukan sebuah fiksi karena peristiwa atau konteks lingkungan yang
direpresentasikan dalam narasi etnografi adalah situasi yang benar-benar
terjadi. Apabila pandangan antropologi pascamodernis mengatakan bahwa semua
etnografi adalah karya fiksi karena semata-mata merupakan refleksi si penulis,
maka pandangan antropologi kritis mengakui bahwa sebuah etnografi pasti
mencerminkan subyektifitas si penulis, yakni subyektifitas yang mempengaruhi
pemilihan dan penafsiran realitas yang dijelmakan dalam narasi etnografi.
Dengan kata lain, narasi etnografi selalu bersifat kontekstual, dalam arti
selalu terkait dengan subyektifitas dan kemungkinan-kemungkinan representasi
yang ditawarkan oleh realitas itu sendiri.
Beberapa antropolog saat ini sudah mulai mencoba
menerapkan perspektif etnografi kritis untuk menghasilkan etnografi yang lebih
menonjolkan sisi manusiawi. Kirin Narayan, Paul Stoller, dan Keith Basso,
adalah beberapa contoh antropolog yang meminjam teknik penulisan fiksi untuk
menyusun etnografi tentang seseorang atau sebuah kelompok sosial. Meskipun
meminjam teknik penulisan fiksi, karya mereka tidak sama dengan fiksi. Narasi
etnografi mereka diciptakan melalui teknik dasar penulisan fiksi, seperti
penggunaan sudut pandang, teknik dialog, deskripsi yang bersifat alegoris atau
realis, dan, kadangkadang, pemanfaatan plot cerita.
Meskipun demikian, tokoh-tokoh, situasi yang
digambarkan, maupun kata-kata yang menyusun dialog, semuanya nyata dan bukan
diciptakan oleh penulis/antropolog. Dalam pengertian ini, etnografi kritis
mirip dengan pendekatan jurnalisme sastra (literary journalism).
Etnografi kritis adalah jawaban terhadap kegamangan
antropologi yang dituntut untuk mulai dapat bercerita secara memukau tetapi
pada saat yang sama mempertahankan unsur-unsur realisme yang menjadi syarat
sebuah kajian ilmu sosial. Saat ini, pandangan yang menempatkan narasi fiksi
dan narasi tulisan ilmiah sebagai dua hal yang tak bisa disatukan, sudah mulai
dipertanyakan. Sudah mulai diragukan pula pandangan yang membedakan fiksi
sebagai sebuah karya seni dan etnografi sebagai sebuah karya ilmiah.
Sebuah karya ilmiah dapat mencerminkan keterampilan sang
penulisnya dengan penggunaan teknik-teknik narasi yang memukau dan indah.
Etnografi kritis menawarkan sebuah bentuk representasi realitas yang menarik
tanpa harus terjebak pada kegenitan pascamodernisme yang menganggap semua
realitas telah mati.
Referensi:
Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif. Prenada Media
Group: Jakarta.
Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif.
PT Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research
Design. Sage Publications, Inc: California.
Jensen, Klaus Bruhn and Nicholas W. Jankowski. 1991. A
Hand Book of Methodologies For Mass Communication research.
Mulyana, Deddy. 2001. metodologi Penelitian
Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT remaja
Rosdakarya
Spradley, james P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta:
PT tiara Wacana