Pendekatan penelitian hermeneutic yang menjadi landasan utama adalah
unsur ”interpretasi”. Satu hal
penting yang harus dipahami bahwa cara kerja interpretasi bukanlah dilakukan
secara bebas dan semau interpreter. Kerja interpretasi harus dilakukan dengan
bertumpu pada evidensi objektif, yakni bertolak dari fakta bahwa sebagian besar
perbendaharaan ilmu social terdiri atas konsep tindakan. Konsep tindakan
digunakan untuk mendeskripsikan tindakan yang dilakukan dengan tujuan
sedemikian rupa sehingga seseorang bisa bertanya, apa arah, maksud dan tujuan,
atau apa yang hendak dilakukan, dikehendaki atau dimaksudkan oleh seseorang.
Semua interpretasi mencakup pemahaman. Namun pemahaman itu sangat
kompleks di dalam diri manusia sehingga para pemikir ulung maupun psikolog
tidak pernah mampu untuk menetapkan kapan sebenarnya seseorang itu mulai
mengerti.
Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti
atau memahami. Namun keadaan lebih dahulu mengerti ini bukan didasarkan atas
penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab, menurut kenyataannya, bila
seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan juga
sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti atau membuat interpretasi.
Keduanya bukan momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi menimbulkan
lingkaran hermeneutik.
Menurut Sumaryono, dengan mengutip pendapat Emilio Betti:
Tugas orang yang melakukan interpretasi adalah menjernihkan persoalan mengerti, yaitu dengan cara menyelidiki setiap detil yang akan dipergunakan untuk mengukur seberapa jauh kemungkinan masuknya pengaruh subjektivitas terhadap interpretasi objektif yang diharapkan. Betti mencoba memahami “mengerti” juga menurut gayanya sendiri. Ia memandang interpretasi sebagai saran untuk mengerti.
Kegiatan interpretatif adalah proses yang bersifat “triadik”
(mempunyai tiga segi yang saling berhubungan). Dalam proses ini terdapat
pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu
sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan
sebuah teks, lalu ia harus meresapi isi teks sehingga yang pada mulanya yang
lain kini menjadi aku penafsir itu sendiri. Oleh karena itulah, dapat kita
pahami bahwa mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan berkembang bila
didasarkan atas pengetahuan yang benar. Sesuatu tdak akan dapat kita kenal jika
tidak kita rekonstruksi.
Pada dasarnya, setiap objek tampil dalam konteks ruang dan waktu
yang sama. Tidak ada objek yang berada dalam keadaan terisolir. Setiap objek
selalu berada dalam ruang. Selalu ada kerangka referensi, dimensi, sesuatu
batas, nyata atau semu, yang semuanya memberi ciri khusus pada objek.
Kita harus kembali kepada pengalaman orisinil dari para penulis
(teks) dengan maksud untuk menemukan kunci makna kata-kata atau ungkapan. Kita
mengungkapkan diri kita sendiri melalui bahasa sehari-hari. Tetapi seringkali
kita juga dapat meragukan sendiri apakah pengalaman-pengalaman mental atau
secara meyakinkan. Teks atau naskah kitab suci atau dokumen-dokumen lain yang
ditulis berdasarkan ilham Ilahi, sejarah, hukum ataupun kesustraan yang
seakan-akan dalam keadaan di atas menggunakan bahasa sehari-hari. Akan tetapi,
semua hal itu tidak akan dapat kita mengerti tanpa harus ditafsirkan. Kita bisa
menafsirkan isi sesuatu teks dengan menggunakan bahasa yang kita pakai sendiri.
Bahkan selalu ada sejumlah penafsiran atau interpretasi yang didasarkan atas
berbagai segi ruang dan waktu. Tetapi penafsiran-penafsiran ini telah
dimodifikasi menurut aliran waktu.
Selain itu, aspek lain dalam hermeneutik yang sangat penting adalah
bagaimana mengungkap makna sebuah teks yang asing. Teks memang mempunyai sistem
makna tersendiri dan menyuarakan sejumlah makna. Namun teks hanya sebuah
tulisan yang belum tentu mewakili pikiran si penulis secara akurat. Oleh karena
itu dalam memperoleh makna yang sebenarnya di balik teks, dibutuhkan perhatian
secara serius untuk mempertimbangkan berbagai variabel yang ada.
Ada tiga variabel yang berperan pada saat kita dihadapkan dengan proses mengartikan, menerjemahkan dan menafsirkan pada sebuah teks. Teks menjadi komunikatif bila tiga variabel ini diperhatikan, yaitu the world of author, dan the world of reader.
Perbincangan mengenai bagaimana seorang penafsir mendekati subyek
telah membawa diskursus hermeneutik dalam menyelesaikan dua permasalahan yang
berbeda.
Pertama, masalah metode dan validitas penafsiran, yaitu untuk mencari bentuk hermeneutik yang dapat menghasilkan interpretasi yang valid maka yang menjadi unsur penting dalam hermeneutik adalah tentang metode-metode penafsiran yang valid.
Kedua, lebih jauh dari yang pertama, di sana dibahas tidak saja mengenai bagaimana kita dapat menafsirkan dengan hasil penafsiran yang valid, akan tetapi dibahas mengenai apakah hakekat pemahaman itu sendiri.
Masing-masing masalah mempunyai kawasan sendiri-sendiri. Dan
diantara keduanya masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Bila yang
pertama terlalu asyiik dengan batasan-batasan metode tafsir yang valid sehingga
masalah-masalah yang berkaitan dengan unsur-unsur tindakan pemahaman
terabaikan. Begitu pun sebaliknya. Bila hanya terfokus pada hakekat dasariah
pemahaman semata, akan mengesampingkan terhadap perlunya pengembangan
ukuran-ukuran valid dan tidaknya satu penafsiran. Tetapi walau bagaimana pun juga,
kedua kajian hermeneutik ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya karena
keduanya akan saling melengkapi, terutama dalam turut memperkaya makna dan
cakupan dari apa yang dinamakan hermeneutik.
Referensi:
McLoad, John. 2001. Qualitative Research in Counseling and
Psychotherapy. Sage Publication