Secara sederhana, hermeneutika
diartikan sebagai seni dan ilmu untuk menafsirkan teks-teks yang punya
otoritas, khususnya teks kitab suci. Dalam definisi yang lebih jelas,
hermeneutika diartikan sebagai sekumpulan kaidah atau pola yang harus diikuti
oleh seorang penafsir dalam memahami teks kitab suci. Namun, dalam perjalanan
sejarahnya, hermeneutika ternyata tidak hanya digunakan untuk memahami teks kitab
suci melainkan meluas untuk semua bentuk teks, baik sastra, karya seni maupun
tradisi masyarakat.
Selanjutnya, sebagai sebuah metodologi
penafsiran, hermeneutika bukan hanya sebuah bentuk yang tunggal melainkan
terdiri atas berbagai model dan bervariasi. Paling tidak ada tiga bentuk atau
model hermeneutika yang dapat kita lihat, seperti berikut ini :
PERTAMA : HERMENEUTIKA OBJEKTIF
Hermeneutika objektif yang
dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrich Schleiermacher
(1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (1890-1968).
Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang disebut teks, menurut Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga seperti juga disebutkan dalam hukum Betti, apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan kita melainkan diturunkan dan bersifat intruktif. Untuk mencapai tingkat seperti itu, menurut Schleiermacher, ada dua cara yang dapat ditempuh; lewat bahasanya yang mengungkapkan hal-hal baru, atau lewat karakteristik bahasanya yang ditransfer kepada kita. Ketentuan ini didasarkan atas konsepnya tentang teks.
Menurut Schleiermacher, setiap teks
mempunyai dua sisi:
- sisi linguistik yang menunjuk pada bahasa yang memungkinkan proses memahami menjadi mungkin
- sisi psikologis yang menunjuk pada isi pikiran si pengarang yang termanifestasikan pada style bahasa yang digunakan.
Dua sisi ini mencerminkan pengalaman
pengarang yang pembaca kemudian mengkonstruksinya dalam upaya memahami pikiran
pengarang dan pengalamannya. Schleiermacher lebih mendahulukan sisi linguistik
dibanding analisa psikologis, meski dalam tulisannya sering dinyatakan bahwa
penafsir dapat memulai dari sisi manapun sepanjang sisi yang satu memberi
pemahaman kepada yang lain dalam upaya memahami teks.
Selanjutnya, untuk dapat memahami
maksud pengarang sebagaimana yang tertera dalam tulisan-tulisannya, karena
style dan karakter bahasanya berbeda, maka tidak ada jalan bagi penafsir
kecuali harus keluar dari tradisinya sendiri untuk kemudian masuk kedalam
tradisi dimana si penulis teks tersebut hidup, atau paling tidak membayangkan
seolah dirinya hadir pada zaman itu. Sedemikian, sehingga dengan masuk pada
tradisi pengarang, memahami dan menghayati budaya yang melingkupinya, penafsir
akan mendapatkan makna yang objektif sebagaimana yang dimaksudkan si pengarang.
Dalam aplikasinya pada teks keagamaan,
penafsiran atas teks-teks al-Qur`an, misalnya, (1) kita berarti harus mempunyai
kemampuan gramatika bahasa Arab (nahw-sharaf) yang memadai, (2) memahami
tradisi yang berkembang di tempat dan masa turunnya ayat, sehingga dengan
demikian kita dapat benar-benar memahami apa yang dimaksud dan diharapkan oleh
teks-teks tersebut. Begitu pula dalam kasus teks-teks sekunder keagamaan,
seperti karya-karya al-Syafi`i (767-820 M). Selain memahami karakter bahasa dan
istilah-istilah yang biasa digunakan, kita juga harus paham tempat dan tradisi
dimana karya-karya tersebut ditulis. Qaul al-qadîm dan qaul al-jadîd
disampaikan di tempat dan tradisi yang berbeda. Selain itu, juga harus memahami
kondisi psikologis Syafi`i sendiri, apakah ketika itu menjadi bagian dari
kekuasaan, sebagai oposan atau orang yang netral. Karya-karya Ibn Rusyd
(1126-1198 M), misalnya, sangat berbeda ketika ia berposisi sebagai bagian dari
kekuasaan (menjadi hakim) dan saat menjadi filosof. Tanpa pendekatan-pendekatan
tersebut, pemahaman yang salah – menurut Schleiermacher— tidak mungkin
terelakkan.
KEDUA : HERMENEUTIKA SUBJEKTIF
Hermeneutika subjektif yang
dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya Hans-Georg Gadamer (1900- 2002)
dan Jacques Derida (l. 1930).
Menurut model kedua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan model hermeneutika objektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri. Stressing mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si penulis. Inilah perbedaan mendasar antara hermeneutika objektif dan subjektif.
Dalam pandangan hermeneutika
subjektif, teks bersifat terbuka dan dapat diinterpretasikan oleh siapapun,
sebab begitu sebuah teks dipublikasikan dan dilepas, ia telah menjadi berdiri
sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan si penulis. Karena itu, sebuah teks
tidak harus dipahami berdasarkan ide si pengarang melainkan berdasarkan materi
yang tertera dalam teks itu sendiri. Bahkan, penulis telah “mati” dalam
pandangan kelompok ini. Karena itu pula, pemahaman atas tradisi si pengarang
seperti yang disebutkan dalam hermeneutika objektif, tidak diperlukan lagi.
Menurut Gadamer, seseorang tidak perlu melepaskan diri dari tradisinya sendiri
untuk kemudian masuk dalam tradisi si penulis dalam upaya menafsirkan teks.
Bahkan, hal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena keluar dari tradisi
sendiri berarti mematikan pikiran dan “kreativitas”. Sebaliknya, justru
seseorang harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini
(vorhabe), apa yang dilihat (vorsicht) dan apa yang akan diperoleh kemudian
(vorgriff). Jelasnya, sebuah teks diinterpretasikan justru berdasarkan
pengalaman dan tradisi yang ada pada si penafsir itu sendiri dan bukan
berdasarkan tradisi si pengarang, sehingga hermeneutika tidak lagi sekedar
mereproduksi ulang wacana yang telah diberikan pengarang melainkan memproduksi
wacana baru demi kebutuhan masa kini sesuai dengan subjektifitas penafsir.
Meski demikian, Gadamer sebenarnya tidak sepenuhnya menganggap salah
pertimbangan- pertimbangan atas tradisi sebelumnya seperti dalam hermeneutika
objektif, meski ia menganggap sebagai negatif atau rendah. Sebab, memang ada
beberapa pertimbangan yang dianggap berlaku, yang menentukan realitas historis
eksistensi seseorang, seperti bildung, misalnya. Namun, realitas historis masa
lalu tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari masa kini
melainkan satu kesatuan atau tepatnya sebuah kesinambungan. Bagi Gadamer, jarak
antara masa lalu dan masa kini tidak terpisahkan oleh jurang yang menganga
melainkan jarak yang penuh dengan kesinambungan tradisi dan kebiasaan yang
dengannya semua yang terjadi di masa lalu menampakkan dirinya di masa kini.
Inilah yang membentuk kesadaran kita akan realitas historis.
Dalam konteks keagamaan, teori
hermeneutika subjektif ini berarti akan merekomendasikan bahwa teks-teks
al-Qur`an harus ditafsirkan sesuai dengan konteks dan kebutuhan kekinian, lepas
dari bagaimana realitas historis dan asbâl al-nuzûl-nya dimasa lalu.
KETIGA : HERMENEUTIKA PEMBEBASAN
Hermeneutika pembebasan yang
dikembangkan oleh tokoh-tokoh muslim kontemporer khususnya Hasan Hanafi (l.
1935) dan Farid Esack (l. 1959).
Hermeneutika ini sebenarnya didasarkan atas pemikiran hermeneutika subjektif, khususnya dari Gadamer. Namun, menurut para tokoh hermeneutika pembebasan ini, hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi. Menurut Hanafi, dalam kaitannya dengan al- Qur`an, hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga tranformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia. Hermeneutika sebagai sebuah proses pemahaman hanya menduduki tahap kedua dari keseluruhan proses hermeneutika.
Dengan demikian, ada tiga model
hermeneutika yang berbeda. Pertama, hermeneutika objektif yang berusaha
memahami makna asal dengan cara mengajak kembali ke masa lalu; kedua,
hermeneutika subjektif yang memahami makna dalam konteks kekinian dengan
menepikan masa lalu; ketiga, hermeneutika pembebasan yang memahami makna asal
dalam konteks kekinian tanpa menghilangkan masa lalu dan --yang terpenting—
pemahaman tersebut tidak sekedar berkutat dalam wacana melainkan benar-benar
mampu menggerakan sebuah aksi dan perubahan sosial.