Dalam bukunya Hasserl, berpendapat bahwa penelitian
pertama dalam fenomenologi belum sanggup membuat fenomena itu mengungkapkan
hakikat gejala yang ada. Oleh karena itu, diperlukan pengamatan kedua yang
disebut pengamatan intuitif.
Selanjutnya bagi Husserl metode yang benar-benar ilmiah
adalah metode yang sanggup membuat fenomena menampakkan diri sesuai dengan
realitas yang sesungguhnya tanpa memanipulasinya. Dan yang terakhir ada slogan
yang terkenal di kalangan penganut fenomenologi, yaitu: zu den sachen selbst (terarah kepada benda itu sendiri). Dalam
keterarahan benda itu, sesungguhnya benda itu sendirilah yang dibiarkan untuk
mengungkapkan hakikat dirinya sendiri. Berangkat dari proses pemikiran yang
demikian, maka lahirlah metode fenomenologis.
Pengamatan intuitif harus melewati tiga tahap reduksi
atau penyaringan, yaitu reduksi fenomenologis, reduksi eidetis, dan reduksi
transedental. Dengan penjelasan dibawah ini:
Reduksi fenomenologis ditempuh dengan menyisihkan atau menyaring pengalaman pengamatan pertama yang terarah kepada eksistensi fenomena. Pengalaman inderawi tidak ditolak, tetapi perlu disisihkan dan disaring lebih dulu sehingga tersingkirlah segala prasangka, praanggapan, dan prateori baik yang berdasar keyakinan tradisional maupun yang berdasarkan keyakinan agamis, bahkan seluruh keyakinan dan pandangan yang telah dimiliki sebelumnya. Segala sesuatu yang diketahui dan dipahami lewat pengamatan biasa terhadap fenomena itu harus diuji sedemikian rupa dan tidak boleh diterima begitu saja. Hal yang utama adalah menyingkirkan subjektivitas yang merupakan penghambat bagi fenomena itu dalam mengungkapkan hakikat dirinya.
Reduksi eidetis adalah upaya untuk menemukan eidos atau hakikat fenomena yang tersembunyi. Segala sesuatu yang dianggap sebagai fenomena harus disaring untuk menemukan hakikat yang sesungguhnya dari fenomena itu. Segala sesuatu yang dilihat harus dianalisis secara cermat dan lengkap agar tidak ada yang terlupakan. Perhatian pengamat harus senantiasa terarah kepada isi yang paling fundamental dan segala sesuatu yang bersifat paling hakiki.
Reduksi transendental berarti menyisihkan dan menyaring semua hubungan antar fenomena yang diamati dan fenomena lainnya. Pengalaman merupakan hal yang harus disisihkan karena merupakan bagian dari kesadaran empiris. Reduksi transendental harus menemukan kesadaran murni dengan menyisihkan kesadaran empiris sehingga kesadaran diri tidak lagi berlandaskan pada keterhubungan dengan fenomena lainnya.
Bagi Husserl, titik deskripsi fenomenologis adalah
memberi kontribusi pada kategori manusia fundamental yang lebih baik, seperti
intensionalitas, waktu, warna dan jumlah. Pemahaman ini dicapai oleh individu
yang menerapkan metode fenomenologis untuk pengalaman pribadi mereka sendiri.
Ada juga aspek holistik pendekatan Husserlian:
tidak ada domain pengalaman yang spesifik yang dapat diperiksa tanpa adanya penghargaan atas sifat pengalaman pribadi secara keseluruhan.
Intensionalitas dalam pemikiram fenomonologi Husserl
mempunyai ide bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran terhadap sesuatu.
Suatu tindakan bisa disebut intensionalitas apabila tindakan itu dilakukan
dengan tujuan yang jelas dan kesadaran yang penuh. Jadi konsep intesionalitas
dalam fenomenologi Husserl adalah keterarahan kesadaran dan juga keterarahan
tindakan yang bertujuan terhadap suatu objek.
The Duquesne sekolah fenomenologi empiris. Secara umum
disepakati bahwa tokoh kunci dalam pengembangan awal pendekatan Duquesne adalah
Amadeo Giorgi, yang sekarang berbasis di University of Montreal. Mungkin faktor
terpenting di balik kesuksesan sekolah Duquesne adalah kemauannya untuk
mengkodifikasi dan mensistematiskan metode logika fenomenal sehingga bisa
diajarkan kepada siswa, diterapkan oleh peneliti di pusat lainnya, dan
menghasilkan makalah penelitian yang dapat diterbitkan.
Tujuan penelitian utama adalah untuk menjelaskan esensi
dari fenomena yang diteliti, seperti yang ada dalam pengalaman konkret peserta.
Berikut langkah-langkah yang harus diikuti oleh peneliti
fenomenologi:
- Langkah 1 Kumpulkan protokol (DATA) lisan atau tulisan yang menjelaskan pengalaman.
- Langkah 2 Baca mereka melalui hati-hati untuk mendapatkan rasa keseluruhan.
- Langkah 3 Ekstrak pernyataan penting.
- Langkah 4 Hilangkan pengulangan yang tidak relevan.
- Langkah 5 Identifikasi tema atau makna sentral yang tersirat dalam pernyataan ini.
- Langkah 6 Mengintegrasikan makna ini menjadi satu 'deskripsi lengkap' tentang fenomena.
Sepanjang proses ini peneliti harus:
Berusahalah untuk mengembangkan sikap keterbukaan dan
keajaiban dalam kaitannya dengan fenomena tersebut.
Adapun tahapan dalam langkah-langkah analisis
fenomenologi adalah:
- Sinopsis kasus perorangan. Sinopsis ditulis dengan kata-kata sendiri, atau mendekati perkiraan kata-kata mereka.
- Narasi yang digambarkan. Mengidentifikasi makna dan urutan kejadian yang terjadi di seluruh kasus.
- Kondensasi umum. Pernyataan ringkas tentang makna penting yang diidentifikasi pada tahap penyelidikan sebelumnya.
- Struktur psikologis umum. Sebuah pernyataan yang mencerminkan organisasi psikis tentang pengalaman pengorbanan.
Metode pertemuan konseptual adalah sebuah pendekatan
terhadap penelitian fenomenologis yang dirancang oleh Joseph de Rivera.
Pertemuan konseptual didasarkan pada perspektif 'ilmu manusia' dari kelompok
Duquesne, dan juga dipengaruhi oleh metode 'teori medan' dari psikolog sosial
Jerman Kurt Lewin (de Rivera, 1976). Tujuan utama pertemuan konseptual adalah
menghasilkan sebuah 'peta pengalaman pribadi'. Inti metode ini adalah
perjumpaan antara penyidik dan orang yang telah setuju untuk bertindak sebagai
mitra penelitian. Penyelidik telah memutuskan untuk mempelajari beberapa aspek
pengalaman manusia, dan telah melakukan beberapa refleksi pendahuluan mengenai
pengalaman pribadinya mengenai topik tersebut, serta membaca literatur ilmiah
dan fiktif yang relevan.
Mitra penelitian diundang untuk menceritakan contoh
spesifik dari apa pun yang sedang dipelajari. Penyidik dapat mengajukan
pertanyaan fasilitasi untuk membantu pasangan menarik berbagai aspek
pengalaman, dan berusaha untuk memastikan bahwa dia sepenuhnya menghargai
keunikan pengalaman pribadi informan. Setelah tahap ini, penyidik berbagi
dengan rekannya gagasan abstrak tentang sifat dari fenomena tersebut, memeriksa
gagasan-gagasan ini telah dipahami, dan meminta rekan kerja seberapa baik
kerangka kerja ini sesuai dengan pengalaman konkret spesifik yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Komponen koseptual dalam fenomenologi transcendental dari
Husserl terdiri dari:
Kesengajaan
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran
terhadap suatu objek (sesuatu) yang menurut Husserl, objek atau sesuatu
tersebut bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata seperti sebongkah kayu yang
dibentuk dengan tujuan tertentu dan kita namakan dengan kursi. Objek yang tidak
nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang
abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait
dengan kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman
tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan
harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap bola akan menentukan
kesengajaan untuk menonton pertandingan sepak bola.
Noema dan noises
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan
atau intentionality. Intentionality adalah maksud memahami sesuatu, dimana
setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Jika akan
memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif fenomena (noema)
artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau
sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif
(noesis) adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa,
mendengar, memikirkan dan menilai ide.
Terdapat kaitan yang erat antara noema dan noesis
meskipun keduanya sangat berbeda makna. Noema akan membawa pemikiran kita
kepada noesis. Tidak akan ada noesis jika kita tidak mengawalinya dengan noema.
Begini mudahnya, kita tidak akan tahu tentang bagaimana rasanya menikmati buah
durian (noesis karena ada aspek merasakan, sebagai sesuatu atau objek yang
abstrak) jika kita sendiri belum mengetahui seperti apa wujud durian (noema
karena berkaitan dengan wujud, sebagai sesuatu atau objek yang nyata).
Intuisi
Intuisi yang masuk dalam unit analisis Husserl ini
dipengaruhi oleh intuisi menurut Descrates yakni kemampuan membedakan “yang
murni” dan yang diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata
alasannya). Intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi
Husserl, intuisilah yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya
fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam
diri individu secara mental (transenden).
Intersubjektif
Makna ini
dijabarkan oleh Schutz. Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep
‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’. Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan
antara dua atau lebih orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku
yang membentuk makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan
berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama
dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan
intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and
shared).
Referensi:
Heath, H. and Cowley, S.
2004. Developing a Grounded Theory
Approach: A Comparison of Glaser and Strauss. International Journal of
Nursing Studies, 41, 141–150
Maksum, Ali. 2011. Pengantar Filsafat; dari Masa klasik
hingga Postmodernisme. Yogyakarta.
Ar-ruzz Media
Moleong, Lexy J, Dr. Metodologi Penelitian Kualitatif. 1993.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
McLoad, John. 2001. Qualitative Research in Counseling and
Psychotherapy. Sage Publication. Hal 70 – 89
Muhadjir, N. 2002. Filsafat Ilmu: Positivisme, Postpositivisme,
dan Postmodernisme. Yogyakarta: Reka
Sarasin
Lathief, Sufaat, I., 2010. Psikololgi Fenomenologi Eksistensialisme.
Pustaka Pujangga.
Robert.C. Solomon. 1981. Sartre on Emotions dalam The Philosophy of
Jean Paul-Sartre, The Library of Living Philosophers. Volume XVI