Lebih dari 2.000 tahun yang lalu, Sang Buddha menganggap penderitaan sebagai sifat keberadaan. Tetapi baginya, pencapaian nirwana bukan hanya sekedar istirahat dari siklus penderitaan ini, tetapi juga kembali ke kebahagiaan sejati. Walaupun itu bukan tujuan meditasi secara langsung, kebahagiaan pasti merupakan konsekuensi penting, dan topik kritis dalam filsafat Buddha (Gaskins, M1999). Di sepanjang waktu dan budaya, generasi orang dengan cara mereka sendiri tercermin pada pertanyaan tentang kebahagiaan. Selama itu telah direnungkan, mungkin mengejutkan bahwa studi ilmiah tentang kebahagiaan, atau subjektif well-being (SWB; E. Diener, 1984) telah maju baru-baru ini.
Salah satu tantangannya adalah mendefinisikan
kebahagiaan dengan cara yang memungkinkannya diukur. Mengingat bahwa konsep
kebahagiaan dapat bervariasi di berbagai masyarakat, sejumlah pertanyaan muncul
tentang bagaimana budaya memengaruhi gagasan dan pengalaman kebahagiaan. Apakah
struktur dan isi SWB berbeda? Apakah budaya tertentu menekankan beberapa
komponen lebih dari yang lain? Apakah korelasi dan penyebab kebahagiaan serupa
di seluruh budaya? Apakah orang bereaksi berbeda terhadap pengalaman well-being
(mis., Ketika mereka merasakan pengaruh yang menyenangkan)?
Seperti yang telah dipelajari selama dua dekade
terakhir, SWB sering melibatkan emosi yang menyenangkan, emosi yang tidak
menyenangkan yang jarang (LS). Dua komponen pertama adalah afektif; yang
terakhir adalah evaluasi kognitif. Ketiga komponen ini bukan satu-satunya unsur
SWB. Kebahagiaan juga bisa dikatakan terdiri dari dimensi lain, seperti makna
dan tujuan hidup. Namun, dalam ulasan ini kami fokus pada LS, pengaruh yang
menyenangkan, dan pengaruh yang tidak menyenangkan, sebagian karena konstruk
ini telah diteliti lebih sering lintas budaya. Selain itu, komponen-komponen
SWB ini adalah titik fokus utama yang memungkinkan tingkat presisi tertentu
dalam mengukur konsep kebahagiaan umum yang lebih kabur (fuzzier).
MENGAPA BELAJAR
SWB LINTAS BUDAYA?
Studi lintas budaya SWB adalah salah satu indikator
kualitas hidup dalam masyarakat. Pernah dianggap tabu untuk menyarankan bahwa
masyarakat dapat dievaluasi sama sekali (Shweder, 2000). Menilai aspek budaya
apa pun berarti mengabaikan nilai dan integritasnya. Namun, bentuk relativisme
budaya yang ekstrem ini telah memberi jalan pada pandangan bahwa meskipun
seseorang harus berhati-hati dalam membandingkan dan mengevaluasi, masyarakat
mungkin berbeda dalam variabel seperti kesehatan dan kepuasan yang diinginkan
dalam kebanyakan budaya. Memang benar bahwa beberapa indikator kualitas hidup
dapat memaksakan nilai-nilai tentang kehidupan yang baik yang tidak dimiliki
oleh semua orang. Namun, bahkan jika SWB dibingkai secara internal sehubungan
dengan masing-masing budaya, masyarakat masih dapat dievaluasi dalam hal
seberapa baik mereka berhasil sesuai dengan kriteria internal ini.
Penelitian budaya dan SWB juga dapat menjelaskan proses
emosional dasar. Dalam mengukur SWB di berbagai masyarakat, para peneliti telah
berhadapan dengan isu-isu mengenai universalitas emosi, dan bagaimana
representasi emosi dalam memori dipengaruhi oleh norma-norma budaya. Lapangan
juga bisa menambah pemahaman kita tentang budaya. Sebagai contoh, bagaimana
perbedaan budaya dalam sosialisasi mereka tentang pengaruh menyenangkan dan
tidak menyenangkan, dan bagaimana emosi berkontribusi pada penguatan
nilai-nilai dan praktik budaya? Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan
perspektif budaya-psikologis. Dengan demikian, topik tersebut sangat penting
baik secara teori maupun terapan.