Carut marut BPJS Kesehatan, tidak lepas dari dari defisit keuangan yang
di alami BPJS Kesehatan. Perlu kita mengurai lebih dahulu, mulai dari awal tahun
2014, tepatnya 1 Januari 2014.
BPJS Kesehatan, merupakan amanat Undang-Undang No. 40 tahun 2004, Tentang
Jaminan Sosial Nasional. Untuk lebih memahami perudang-undang yang menjadi
dasar Lahirnya BPJS Kesehatan, bisa di lihat disini…
Dengan Undang-undang itu, kemudian hari lahirlah BPJS Kesehatan , dengan
Peraturan Presiden No 12. Tahun 2013,
Tentang Jaminan Kesehatan. Dalam peraturan Presiden ini mengamanatkan bahwa
pertanggal 1 Januari 2014, merupakan tahap awal integrasi sistem Jaminan
Kesehatan, menjadi BPJS Kesehatan, yang sebelumnya di kelolah beberapa
instansi. Seperti JPK Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Askes (Asuransi
Kesehatan), Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) milik Pemerintah Daerah
dll.
Dilihat dari penyelenggaranya, sebenarnya, BPJS Kesehatan merupakan nama
baru dari Askes, karena perangkat dan sistem adalah perangkat Askes, walaupun
menyesuaikan dengan amanat undang-undang. Jika Askes berubah menjadi BPJS
Kesehatan, Jamsostek berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
Askes yang bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan, memang sangat
kewalahan dengan adanya penggabungan ini. Bayangkan, Askes yang awalnya hanya
penyelenggara jaminan kesehatan untuk Pegawai Negeri dan Keluarganya, dengan
adanya amanat Undang-Undang, harus mengurus seluruh warga Negara Indonesia
dalam BPJS Kesehatan.
Disinilah yang menjadi awal masalah carut marut Pelayanan Kesehatan
tersebut. Mulai dari:
Penggabungan data
Integrasi data Peserta Askes, data peserta JPK Jamsostek, Data Peserta
Jamkesmas milik Pemerintah Daerah. Untuk mengurus ini saja, setahu saya, sampai
awal 2015, baru ada titik terang. Walaupun perbaikan data dan sistem masih
terus dilakukan hingga sekarang. Hingga sekarang (2018), Integrasi data saya
anggap sudah selesai, dengan nilai 85, kategori berhasil. Walaupun masih ada
masyarakat yang bergabung dengan BPJS Kesehatan (sesuai amanat Undang-Undang,
Jaminan Sosial Semesta), tetapi itu adalah masalah klasik yang perlu waktu
untuk menyelesaikannya.
Pembayaran Iuran
Masalah ini, adalah masalah utama saat ini. Sampai September 2018, BPJS
Kesehatan Defisit 80 T. Masalah defisit ini pula, yang membuat kegelisahan di
masyarakat, karena BPJS Kesehatan mengambil kebijakan mengurangi Layanan
Kesehatan, padahal sangat diperlukan masyarakat.
Pada dasarnya, kepertaan BPJS Kesehatan di bagi golongan:
- Peserta Penerima Upah dan keluarganya (Iuran 5% dari upah)
- Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja. Saat ini (September 2018) iurannya disesuaikan kelas Perawatan. Kelas 1 Rp 25.500, Kelas II Rp 51.000, & Kelas III Rp 80.000. Dengan hitungan perorang
- Peserta Penerima Bantuan Iuran. Bantuan dari Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dilihat dari Pembayaran Iuran, sebenarnya tidak terlihat ada masalah disini,
tapi kok bisa Defisit? Saya berasumsi bahwa masalahnya ada di Peserta Penerima
Iuran (PBI). Pemerintah Pusat maupun daerah belum memiliki alokasi Dana Khusus,
sesuai dengan jumlah PBI. Jadi seakan-akan BPJS Kesehatan di minta mengelolah
dana iuran peserta yang ada (Peserta Penerima Upah dan Peserta Mandiri) untuk
menutupi Peserta Penerima Bantuan Iuran. Padahal seharusnya, PBI adalah
tanggungjawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sesuai dengan janji-janji
kampanye mereka.
Layanan
Jika kita membandingkan layanan BPJS Kesehatan dengan layanan kesehatan
sebelum adanya BPJS Kesehatan (Sebelum Januari 2014), saya yang sebelumnya
menggunakan JPK Jamsostek, agak lebih senang dan lebih memilih JPK Jamsostek.
Apalagi jika dibandingkan BPJS Kesehatan yang sekarang, beberapa layanan BPJS
kesehatan di kurangi, saya bahkan berniat keluar menjadi peserta BPJS
Kesehatan. Ini karena ketidakpuasan layanan yang diberikan BPJS Kesehatan.
Hanya masalahnya, sekali jadi peserta BPJS Kesehatan, maka akan menjadi peserta
seumur hidup alias tidak bisa keluar. Jebakan Bat man. Asuransi kesehatan di
monopoli oleh penyelenggara yang tidak memberikan layanan yang memuaskan.
Sungguh menyakitkan.
Yang lebih lucunya lagi adalah, pertanggal 3 Nopember 2014, Presiden Joko
Widodo meluncurkan KIS (Kartu Indonesia Sehat), yang diperuntukkan untuk
pelayanan masyarakat tidak mampu. Kalau dilihat peruntukkannya, berarti untuk
Untuk peserta Penerima Bantuan Iuran.
Kita sebagai masyarakat belum tahu, seberapa besar komitment pemerintah,
melalui agenda KIS membantu BPJS Kesehatan. Karena sampai September 2018, BPJS
Kesehatan kesulitan keuangan, dan pemerintah seakan-akan kebingungan mau
mencari dananya dari mana. Padahal itu adalah Janji sewaktu Kampanye 2014. Menunjukkan
tidak ada perhatian dan alokasi dana Khusus untuk Program tersebut.
Yang nyata-nyata adalah perubahan Nama dari BPJS Kesehatan menjadi KIS,
yang seakan dipaksakan. Yang dibutuhkan masyarakat bukan perubahan nama BPJS
Kesehatan menjadi KIS, tetapi komitmen pemerintah memberikan layanan kesehatan
kepada masyarakat. Toh BPJS Kesehatan sudah ada sebelum era Presiden Jokowi.
Tags
BPJS Kesehatan