Subjek Hukum Hak Asasi Manusia terdiri dari beberapa
kelompok. Siapakah yang menjadi subjek
hukum internasional? Suatu subjek hukum adalah sebuah entitas (seorang individu
secara fisik, sekelompok orang, sebuah perusahaan atau organisasi) yang
memiliki hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada prinsipnya,
suatu subjek hukum internasional dapat menerapkan haknya atau mengajukan
perkara ke hadapan pengadilan internasional, ia juga dapat mengikatkan dirinya
dengan subyek hukum lainnya melalui perjanjian, dan subyek hukum lainnya dapat
melakukan kontrol (dalam konteks dan tingkatan tertentu) terhadap bagaimana sebuah
subyek hukum melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya. Negara merupakan
fokus utama hukum internasional. Organisasi internasional seperti PBB dan juga
individu dapat menjadi subjek hukum internasional. Peraturan yang sama juga berlaku
bagi hukum hak asasi manusia internasional, karena dasar dari hukum hak asasi manusia
internasional adalah hukum internasional.
Aktor Negara – Pemangku Kewajiban
Negara merupakan subjek utama hukum internasional dan
dengan demikian juga merupakan subjek hukum hak asasi manusia. Definisi negara
tidak berubah dan selalu diidentifikasi sama dalam berbagai produk hukum
internasional serta mempunyai empat karakteristik yaitu (1) populasi tetap; (2)
wilayah yang tetap; (3) pemerintahan; (4) kemampuan untuk melakukan hubungan
dengan negara-negara lain. Suatu negara
yang menjadi anggota suatu komunitas internasional memperoleh apa yang disebut
sebagai international personality. Subjek-subjek hukum tidak memiliki hak dan
kewajiban yang sama secara otomatis. Hak dan kewajiban internasional melibatkan
dan mensyaratkan adanya status sebagai international personality, tetapi
mendapatkan status international personality tidak secara otomatis berarti
mendapatkan hak dan kewajiban secara keseluruhan.
Dalam konteks hak
asasi manusia, negara menjadi subyek hukum utama, karena negara merupakan
entitas utama yang bertanggung jawab melindungi, menegakkan, dan memajukan hak
asasi manusia, setidaknya untuk waga negaranya masing-masing. Ironisnya,
sejarah mencatat pelanggaran hak asasi manusia biasanya justru dilakukan oleh
negara, baik secara langsung melalui tindakan-tindakan yang termasuk
pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga negaranya atau warga negara lain,
maupun secara tidak langsung melalui kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik
baik di level nasional maupun internasional yang berdampak pada tidak
dipenuhinya atau ditiadakannya hak asasi manusia warga negaranya atau warga
negara lain.
Dalam pemahaman
umum dalam hukum kebiasaan internasional, sebuah negara dianggap melakukan
pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human rights) jika (1)
negara tidak berupaya melindungi atau justru meniadakan hak-hak warganya yang
digolongkan sebagai non-derogable rights; atau (2) negara yang bersangkutan
membiarkan terjadinya atau justru melakukan melalui aparat-aparatnya tindak
kejahatan internasional (international crimes) atau kejahatan serius (serious crimes)
yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang;
dan atau negara tersebut gagal atau tidak mau menuntut pertanggungjawaban dari
para aparat negara pelaku tindak kejahatan tersebut.
Selain karena power-relations seperti dijelaskan di
atas, negara juga merupakan international person yang menjadi pihak dari
berbagai perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia, baik yang berupa
kovenan, konvensi, statuta, atau bentuk perjanjian lainnya, beserta segala
wewenang dan tanggung jawab yang melekat padanya sebagai Negara Pihak dari
perjanjian tersebut.
Selain negara, organisasi internasional seperti PBB, NATO,
Komisi Eropa, ASEAN, dan lainnya, dalam perkembangan kontemporer hukum
internasional juga seringkali dianggap sebagai subyek hukum internasional dan
hukum hak asasi manusia internasional, dan diletakkan sebagai aktor negara
(state-actors). Hal ini terutama, selain karena alasan bahwa organisasi
internasional beranggotakan negara-negara, adalah karena perkembangan dalam
hukum hak asasi manusia internasional dengan bermunculannya berbagai mekanisme
hak asasi manusia baik di tingkat internasional maupun regional yang secara
politis dan administratif berada di bawah atau dibentuk melalui organisasi
internasional tersebut.
Bagi sebuah organisasi internasional, bukan hanya
organisasi tersebut yang menjadi subjek hukum internasional, para anggotanyapun
demikian. Ini berarti bahwa secara teoritis suatu tindak pelanggaran
internasional yang dilakukan oleh negara anggota suatu organisasi internasional
dapat menimbulkan pertanggungjawaban bagi organisasi dan negara itu sendiri.
Suatu organisasi internasional bertanggungjawab atas tindakan pelanggaran
internasional yang dilakukan oleh negara anggota apabila organisasi tersebut
menyetujui suatu keputusan yang mengikat negara anggota untuk melakukan
tindakan semacam itu, atau organisasi tersebut atau memberi kewenangan pada
negara anggota untuk melakukannya. Ada ketidakjelasan dalam beberapa hal, seperti
pembagian tanggungjawab antara organisasi internasional dengan para negara anggotanya.
Diperlukan analisis lebih lanjut yang mempertimbangkan isi, sifat, dan keadaan
tindakan yang dilakukan oleh negara anggota, serta peraturan organisasi internasional.
Aktor Non-Negara – Pemangku
Kewajiban
Pada awalnya, hukum internasional merupakan hukum
antar-negara. Namun tidak boleh dilupakan, bagaimanapun juga masalah
perlindungan hak asasi manusia bukan lagi merupakan objek dari kebijakan negara
berdaulat. Oleh karena itu, masalah tersebut harus dipertimbangkan oleh negara
dan lembaga internasional lainnya dalam batasan kewenangan lembaga
internasional. Tetapi, bahkan kemunculan organisasi antar-negara dan beragam
kesatuan yang menyerupai negara (seperti Vatikan, sovereign order, dll), dan
gerakan pembebasan nasional telah mengubah “kemurnian” karakter norma hukum internasional
antar-negara. Adalah mungkin untuk mendefinisikan seseorang atau suatu kesatuan
di luar negara yang memiliki hak dan kewajiban yang timbul dari norma hukum
internasional sebagai suatu subjek hukum internasional.
Dalam kasus ini, skala subjek hukum internasional
menjadi lebih luas. Sebagai contoh, hak dan kewajiban berdasarkan hukum
internasional terbentuk bukan hanya oleh organisasi antar negara saja, tetapi
juga oleh organ-organ mereka dan juga pejabat-pejabat yang bertanggungjawab,
dan juga oleh sejumlah organisasi ekonomi internasional dan organisasi
non-pemerintah. Walaupun mereka tidak berperan serta secara langsung dalam
pembentukan norma hukum internasional dan dalam menjamin pemenuhannya (walaupun
tentu saja mereka dapat berperan serta secara tidak langsung, baik dalam
membentuk hukum internasional, seperti Komisi Hukum Internasional atau dalam
menjamin penegakan prinsip dan norma hukum internasional, Amnesti Internasional
sebagai contohnya), mereka juga tetap memiliki hak dan kewajiban yang secara
langsung timbul dari norma hukum internasional walaupun dibatasi oleh ruang lingkup
yang ada.
Korporasi Multinasional (Multinational Corporations)
Perkembangan institusi internasional pasca Perang Dunia
II sangat luar biasa pesatnya, terutama di bidang yang berkaitan dengan
ekonomi. Perkembangan ini mencakup pembentukan World Bank, IMF, GATT/WTO yang
merupakan pengganti bagi kegagalan sewaktu mencoba mendirikan Organisasi
Perdagangan Internasional, dan organisasi internasional lainnya serta ide
seperti Marshall Plan. Periode yang ini juga mencakup pembentukan PBB dan
sejumlah organisasi internasional lainnya dan pengembangan sejumlah perjanjian
mengenai hak asasi manusia yang keseluruhannya merupakan suatu paradigma subjek
hukum internasional. Di negara-negara asing, sebagian orang berpendapat bahwa
perusahaan transnasional juga merupakan subjek hukum internasional, dan dasar
utamanya adalah ketentuan dalam Code of Conduct for Transnational Corporations.
Perlu dicatat bahwa perlindungan, penegakan, dan
pemajuan hak asasi manusia terkait erat dengan kebijakan di bidang ekonomi dan
politik, khususnya dalam suatu negara. Dewasa ini, seringkali kebijakan
tersebut tidak sepenuhnya dibuat oleh negara, melainkan dibuat bersama atau
atas instruksi lembaga dana internasional dan kepentingan investasi perusahaan
multinasional, terutama di negara-negara berkembang. Atas dasar inilah, muncul
anggapan bahwa kebijakan ekonomi politik yang melanggar atau meniadakan
penegakan hak asasi manusia tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara,
tetapi juga tanggung jawab kekuatan ekonomi politik semacam lembaga dana
internasional dan khususnya perusahaan multinasional.
Selain itu, dalam konteks relasi kekuasaan, beberapa
perusahaan multinasional dianggap mempunyai “kekuasaan” yang melebihi negara,
sehingga mempunyai potensi sebagai pelanggar hak asasi manusia secara langsung
(karena seringkali mereka mempunyai juga kekuatan keamanan setara kekuatan
militer), maupun secara tidak langsung melalui kebijakan suatu negara yang
mengupayakan kepentingan investasi dari perusahaan multinasional tersebut.
Kelompok Bersenjata
Selain lembaga dana internasional dan perusahaan
multinasional, perkembangan hukum humaniter juga memberikan sumbangan pada
meluasnya subyek hukum hak asasi manusia internasional. Maraknya konflik baik
internasional maupun domestik yang tidak hanya melibatkan aktor negara juga
meletakkan aktor-aktor non-negara yang terlibat konflik bersenjata sebagai
subyek dalam hukum hak asasi manusia internasional mengingat potensi mereka
sebagai pelindung sekaligus sebagai pelanggar hak asasi manusia.
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa, misalnya,
memberikan pengakuan pada entitas-entitas non-negara ini. Meskipun dinyatakan
bahwa pengakuan perlindungan hanya diberikan pada organisasi atau individu yang
bertindak atas nama negara atau entitas lain yang diakui sebagai subyek hukum internasional, dalam konteks konflik bersenjata
antara suatu negara dengan gerakan pembebasan, kelompok perlawanan yang bersenjata
dapat dikategorikan sebagai entitas yang setara dengan negara dan oleh karenanya
dianggap sebagai subyek dalam hukum hak asasi manusia internasional karena
mereka juga berpotensi melakukan
pelanggaran hak asasi manusia baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Gerakan perlawanan atau pembebasan yang bersenjata
seperti Tamil Elam, MNLF, atau Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dianggap subyek
hukum. Pengakuan ini dipertegas dengan dilibatkannya mereka sebagai kelompok
secara langsung dalam upaya-upaya dialog perdamaian dengan negara berdaulat
yang mereka “gugat”. Dan kenyataan ini oleh banyak ahli hukum internasional
berarti secara implisit, kelompok-kelompok bersenjata ini diakui sebagai
international personality. Dalam perkembangan lebih lanjut bahkan ada wacana
yang lebih ekstrim di mana kelompok-kelompok teroris yang diakui keberadaannya
secara internasional juga dianggap memiliki
international personality dan oleh karenanya merupakan subyek hukum
internasional dan hukum hak asasi manusia internasional.
Individu
Selain
itu, mekanisme penegakan hukum hak asasi internasional juga meletakkan individu
sebagai subyek hukum, tidak hanya sebagai pemilik hak tapi juga pemikul
tanggung jawab, melalui sebuah konsep yang disebut sebagai individual criminal responsibility, serta
konsep command responsibility. Kedua konsep ini pertama kali diperkenalkan pada
Pangadilan Internasional di Nuremberg dan Tokyo yang mengadili para penjahat
Perang Dunia kedua. Selanjutnya Statuta ICTY (International Criminal Tribunal
for former Yugoslavia) memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan konsep individual criminal responsibility dan command responsibility yang menegaskan mereka
yang dianggap bertanggung jawab pidana secara individu tidak hanya orang yang
melakukan tapi juga yang memerintahkan melakukan tindak kejahatan.73 ICTY
(International Criminal Tribunal for former Yugoslavia)pula yang memperkenalkan
praktek penerapan command responsibility dalam pengadilan pidana.
Aktor Non-Negara – Pemangku Hak
Selain subyek hukum hak asasi manusia sebagai pemilik
wewenang dan tanggung jawab, pemilik hak juga dianggap sebagai subyek dalam
hukum hak asasi manusia internasional. Yang termasuk pemilik hak di sini tentu
saja adalah individu, dan kelompok-kelompok individu, khususnya yang
dikategorikan sebagai kelompok rentan pelanggaran hak asasi manusia.
Individu
Dalam perkembangan wacana mengenai subyek hukum
internasional dewasa ini, terdapat kecenderungan untuk bergeser dari hukum
internasional yang berorientasi pada negara. Negara-negara telah mulai
menciptakan norma-norma yang lebih ditujukan bagi kesatuan dan individu lainnya
untuk mengatur pola hubungannya: legal person, termasuk perusahaan pada
umumnya, organisasi non-pemerintah internasional, individu-individu yang
bertanggungjawab dalam suatu organisasi internasional dan individu itu sendiri.
Dan walaupun norma-norma yang bertujuan untuk menegaskan kedudukan hukum dari
individu dan legal person, tidak diterapkan secara langsung pada mereka
melainkan merupakan sebuah transkripsi yang membutuhkan implementasi melalui
norma hukum domestik, individu mulai memiliki hubungan langsung dengan hukum
internasional.
Level hukum hak asasi manusia internasional sekarang ini
dapat dianggap sebagai periode transisi yang mengarah pada suatu ketertiban
hukum dunia baru di mana individu akan mengambil peranan yang lebih penting
sebagai subjek hak-hak, tanggungjawab dan tugas internasional. Laporan Special
Rapporteur di sesi ke empat puluh dari Sub Komisi Pencegahan Diskriminasi dan
Perlindungan terhadap Minoritas yang menunjukkan bahwa dari sisi teoritis dan
khususnya dari sisi praktis, individu merupakan pemikul hak dan tanggungjawab
internasional, bahwa dia memiliki kapasitas prosedural terbatas yang diatur
langsung oleh hukum internasional, dan bahwa individu harus dianggap setidaknya
sejajar dengan negara sebagai subjek hukum internasional kontemporer.
Beberapa perjanjian hak asasi manusia memberi kesempatan
kepada individu untuk mengajukan pengaduan secara langsung ke hadapan
badan-badan internasional, beberapa perjanjian lain, seperti Konvensi Genosida
dan Konvensi tentang Penghapusan dan Hukuman Terhadap Kejahatan Apartheid,
menetapkan tanggung jawab individu terhadap para pejabat negara untuk
pelaksanaan hak asasi manusia yang dilindungi oleh konvensi-konvensi tersebut,
sekaligus menetapkan prosedur di mana tanggung jawab ini dapat diberlakukan
secara langsung oleh negara-negara pihak terhadap individu-individu tersebut.
Kelompok Lain
Selain individu, generasi ketiga hak asasi manusia juga
memperkenalkan apa yang disebut sebagai hak kelompok, yang pada awalnya hanya
bersifat afirmatif terhadap pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya, namun pada
perkembangannya juga meliputi hak sipil dan politik karena kedua “jenis” hak
tersebut memang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Yang dimaksud sebagai
kelompok di sini memang bersifat progresif, mengikuti perkembangan wacana hukum
hak asasi manusia internasional. Tetapi setidaknya ada tiga kelompok utama yang
diakui sebagai subyek hukum hak asasi manusia internasional, yaitu indigenous people, refugees, dan minorities.
Berbagai perjanjian internasional hak asasi manusia,
serta keputusan-keputusan penting pengadilan, juga adanya mekanisme khusus
dalam PBB baik yang berupa komite,
special rapporteur, working
groups, maupun independent experts
menguatkan keberadaan tiga kelompok ini sebagai subyek dalam hukum hak asasi
manusia internasional.
Tags
HAM
Min, bisa gak dikasi referensi...?
BalasHapus