Ini adalah sebuah kisah Pencarian Ras Manusia Berekor di
Hutan Kalimantan. “Pada Minggu, 20 Juli 1879, saya memulai perjalanan dari
Samarinda dengan dua perahu ke Tangaroeng (Tenggarong),” ungkap seorang lelaki
muda di buku catatannya, “jaraknya sekitar 30 mil perjalanan lewat sungai.”
Lelaki itu adalah Carl Alfred Bock, naturalis dan
pelancong kelahiran Kopenhagen, Denmark. Meskipun lahir di Denmark, Bock
mengikuti kewarganegaraan orang tuanya, Norwegia. Dia pernah melakukan
perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan selama enam
bulan. Ketika itu usianya masih 30 tahun.
Carl Alfred Bock, naturalis dan pelancong Norwegia
kelahiran Kopenhagen, Denmark. Dia pernah melakukan perjalanan ke pedalaman
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan pada 1879. Sebelum berjejak di
Kalimantan, dia telah menjelajah di pedalaman Sumatra pada 1878. Lukisan karya
Hans Christian Olsen.
Misinya di Kalimantan merupakan titah dari Gubernur
Jenderal Johan van Lansberge untuk melaporkan keberadaan suku-suku Dayak dan
menghimpun spesimen sejarah alam untuk beberapa museum di Belanda.
Hasil penjelajahannya di
Samarinda-Tenggarong-Banjarmasin dan pedalaman Kalimantan, Bock menulis buku
berjudul The Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881, lengkap dengan 37
litografi dan ilustrasi.
Dalam bukunya yang sensasional itu dia berkisah tentang
peradaban Dayak dan kanibalisme antar-suku.
“Bock memberi kita informasi yang padat tentang suku
Dayak dari Kalimantan Selatan,” ungkap Alfred Russel Wallace, seorang naturalis
dan penjelajah asal Inggris, beberapa bulan setelah buku itu terbit.
“Kesan umum dari deskripsinya yang didukung potret
kehidupan menunjukkan adanya kesamaan nan indah antara semua suku di pulau
besar ini, baik dalam karakteristik fisik dan mental,” demikian ungkap Wallace,
“meskipun ada banyak spesialisasi dalam kebiasaan.”
Bock dalam catatannya telah berjumpa Dayak Long Wai,
Dayak Long Wahou, Dayak Modang, Dayak Punan, “Orang Bukkit” dari Amontai, dan
Dayak Tring.
Dia juga menuturkan upayanya dalam menyingkap kisah lama
dari warga setempat tentang manusia berekor.
Seorang abdi kepercayaan dari Sultan Kutai A.M. Sulaiman
bersaksi pernah menjumpai sosok itu dan menjulukinya dengan “Orang boentoet”.
“Saya berhasil menyelesaikan perjalanan ini, saya
menjelajahi rute dari Tangaroeng ke Bandjermasin, sejauh 700 mil, melewati
serangkaian bahaya dan kesukaran di suku Dayak,” ungkap Carl Bock.
Keingintahuan Carl Alfred Bock soal ‘rantai kerabat yang
hilang’ itu nyaris membuat perseteruan dua kesultanan. Benarkah manusia berekor
itu ada?
Pencarian Ras Manusia Berekor di
Kalimantan
Sembari menikmati durian dalam jamuan makan malam di
atas rakit, Carl Bock berbincang dengan Sultan Aji Muhammad Sulaiman dan
kerabatnya tentang keberadaan ras manusia berekor. Konon, mereka menghuni
permukiman Kesultanan Pasir dan tepian Sungai Teweh.
Percakapan itu membuat Bock berpikir tentang keberadaan
“tautan kerabat yang hilang” yang disuarakan pendukung teori Darwin.
Tjiropon, seorang abdi kepercayaan Sultan, meyakinkan
Bock di depan Sultan dan para Pangeran. Sang abdi itu beberapa tahun silam
pernah menjumpai sosok manusia berekor di Pasir, dan menjulukinya dengan
“Orang-boentoet”.
Menyeberang Sungai Benangan di pedalaman Kalimantan.
Litografi oleh C.F. Kelley berdasar lukisan karya Carl Bock. Bock menjelajahi
Kalimantan timur dan selatan, dari Kutai ke Banjarmasin. Tentang pengalamannya,
dia menulis sebuah buku “The Head Hunters of Borneo” yang terbit pada 1881.
Sang abdi bahkan mampu melukiskan sosok manusia berekor
dengan kata-kata. Kepala suku mereka, ujarnya, berpenampilan sangat luar biasa,
berambut putih, dan bermata putih.
Mereka memiliki ekor sekitar lima hingga sepuluh
sentimeter. Uniknya, mereka harus membuat lubang di lantai rumah untuk tempat
ekor, sehingga mereka dapat duduk nyaman.
Sultan Kutai pun turut takjub dengan kisah abdinya. Dia
pun memberangkatkan Tjiropon bersama sebuah surat yang memohon Sultan Pasir
untuk mengirimkan sepasang manusia berekor.
Sejatinya Bock sedikit ragu soal mitos manusia berekor
di pedalaman Kalimantan.
Namun demikian, dia setuju untuk tetap berupaya mencari
“tautan kerabat yang hilang” itu.
Bahkan, dia pernah menjanjikan kepada Tjiropon uang
sejumlah 500 gulden apabila berhasil membawa sepasang manusia langka itu.
Beberapa hari berlalu tanpa kabar. Bock melanjutkan
perjalanan dari Tenggarong ke Banjarmasin. Ketika Bock berada di kota itu,
Tjiropon menjumpainya.
Wajah sang abdi itu kecewa sambil berkata bahwa dia
telah menyampaikan surat itu kepada Sultan Pasir, namun tidak mampu membawa ras
manusia berekor pesanan Bock.
Tjiropon pun memberikan penjelasan yang berbelit-belit.
Akhirnya, Residen Banjarmasin pun bersedia membantu Bock. Dia mengirim surat
kepada Sultan Pasir yang isinya menanyakan sekali lagi soal keberadaan manusia
berekor di wilayahnya.
Hampir sebulan berlalu, surat balasan dari Sultan Pasir
sampai juga ke tangan Residen Banjarmasin. Tampaknya ada salah paham: “Orang-boentoet
Sultan di Pasir” adalah sebutan para pengawal pribadi Sultan Pasir.
Pantaslah Sultan Pasir marah besar hingga mengancam
perlawanan terhadap Sultan Kutai dan mengusir Tjiropon.
Akibatnya, menurut Bock, mereka mendirikan kubu
pertahanan dan bersiap berperang melawan Kesultanan Kutai. “Jika Sultan Kutai
menginginkan Orang-boentoet saya,” ujar Sultan Pasir, “Biarkan dia ambil
sendiri.”
Meskipun demikian, Tjiropon tetap bersikukuh dengan
pendiriannya bahwa manusia berekor itu nyata adanya. “Demi Allah saya pernah
melihat Orang-bontoet beberapa waktu silam, dan berbicara kepada mereka ,
tetapi saya tidak bisa melihat mereka saat ini!” ungkapnya seperti yang dicatat
Bock.
Carl Alfred Bock merupakan naturalis dan pelancong
berkebangsaan Norwegia. Bock melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur
dan Kalimantan Selatan pada 1879. Ketika itu usianya masih 30 tahun.
Misinya di Kalimantan merupakan titah dari Gubernur
Jenderal Johan van Lansberge. Dia melaporkan kepada Gubernur tentang peradaban
suku-suku Dayak. Tak hanya itu, dia juga menghimpun spesimen sejarah alam untuk
beberapa museum di Belanda.
Dari penjelajahannya di Samarinda-Tenggarong-Banjarmasin
dan pedalaman Kalimantan, Bock menulis buku berjudul Head Hunters of Borneo
yang terbit pada 1881.
Kisah lucu dan sungguh-sungguh terjadi dari pedalaman
Kalimantan ini ternyata menarik perhatian Alfred Russel Wallace. Sang
penjelajah sohor asal Inggris itu mengungkapkan, “Satu-satunya episode lucu
dalam buku ini adalah upaya sungguh-sungguh untuk menemukan kisah ‘manusia
berekor’ yang kerap dibicarakan di Kalimantan.”
Apakah ras manusia berekor itu benar-benar ada di hutan
Kalimantan? Entahlah. Bock tak pernah tertarik lagi menyelisik sosok misterius
itu. Dia pun menyebut peristiwa pencarian ras manusia berekor di Kalimantan
sebagai “kekeliruan yang menggelikan”.