Teruntuk
Istriku… Istriku…, engkau adalah satu dari sekian ujian yang harus aku lalui
dengan bermalam-malam munajat, berbulan-bulan renungan, berpuluh-puluh doa,
beribu-ribu aksara …. Maka, ketika kuputuskan untuk memilihmu…, hanya memilihmu
dari sekian akhwat yang ada, itu berarti aku mengharap engkau mau menjadi
parter hidupku, menjadi kakak bagi adik-adikku, adik bagi kakakku, menantu bagi
orangtuaku. Itu berarti, aku mengharapmu mau menemaniku; mengisi dan mewarnai
sisa hidupku, dalam suka-dukaku, berjuang bersama mengarungi bahtera hidup
berumah tangga; melangkahkan kaki bersama untuk ikut andil membaktikan diri
kita untuk umat ini, dengan melahirkan generasi-generasi yang akan memberatkan
bumi ini dengan kalimat “Lâ ilâha illallâh”.
Jatuhnya
pilihanku kepadamu adalah buah dari kemantapan hati dari istikharah panjangku.
“Ya Allah, jika dia baik bagiku, bagi dien, dunia dan akhiratku, maka
takdirkanlah dia untukku; tautkanlah hatinya dengan hatiku, dekatkanlah,
mudahkanlah kemudian berkahilah ya Rabb….” Maka, setelah mendapat kemantapan
hati bahwa engkaulah tulang rusuk yang selama ini aku cari-cari, aku berani
maju untuk mendapatkanmu. Bukan, sama sekali bukan karena apa-apa; bukan karena
kecantikan, kedudukan sosial, apalagi harta yang menjadi sebab aku memilihmu.
Aku memilihmu karena engkaulah jawaban dari istikharahku; Allah memberikan
kemantapan hati bahwa engkaulah bidadariku, di dunia dan akhirat nanti
–insyaAllah. Allah memberikan rasa suka dan cinta tanpa aku tahu sebab apa;
karena aku sama sekali belum mengenalmu, bahkan bertemu pun tidak pernah,
apalagi melihat wajahmu. Aku memberanikan diri taaruf dan menghitbahmu adalah
karena, sekali lagi, aku mendapatkan kemantapan hati dengan jawaban
istikharahku…., terlebih, setelah itu aku tahu bahwa pertanda engkau
benar-benar jodohku adalah kemudahan dalam berproses, dan semakin mendekatkan
diriku kepada Allah; aku mendapatkan keduanya…, dan aku takjub dengan
skenario-Nya; bener-bener indah.
Niatku
menikah pun sudah aku tata; aku ingin melaksanakan perintah Allah, “wa ankihu
l-ayâma minkum wa-shshâlihîna min ‘ibâdikum wa imâ’ikum, in yakûnû fuqarâ’a
yughnihimullâhu min fadhlih, wallâhu wâsi’un ‘alîm” dan juga meneladani sunah
Nabi kita, Muhammad Shallalallahu alaihi wa sallam, “Yâ ma’syara sy-syabâb,
man-istathâ’a minkumu-lbâ’ah fa-lyatazawwaj” yaitu menikah, demi mencari ridha
Allah, dan ingin menjaga iffah; menjaga mata dan apa yang ada di antara dua
paha.
Istriku…,
ketika ijab qabul terlafazhkan, pada saat itu aku sedang mengambil perjanjian
yang berat. Ketika itu Arsy ar Rahman berguncang karena perjanjian yang kuat
dan berat itu; Allah menyebutnya mîtsâqan ghalîzhan, sama sebagaimana Dia
mengambil perjanjian dari para Nabi; Nabi Muhammad, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa
serta nabi-nabi yang lainnya –‘alaihimush shalatu was salam–. Perjanjian itu
berat karena aku mengambil-alih amanah dari pundak ayahmu ke pundakku. Saat
itulah, kita sudah resmi menjadi suami-istri, dan kehidupan dalam hidup berumah
tangga kita mulai…., maka mari bergandengan tangan untuk saling bersinergi,
saling menutupi, saling melengkapi. Allah membahasakannya dengan kekata, “Hunna
libâsun lakum wa antum libâsun lahunna, engkau adalah pakaian bagiku, dan aku
pakaian bagimu”; saling menutupi, melindungi, menjaga, dan memberikan
kehangatan-kesejukan-ketenangan-ketentraman.
Aku
sadar sesadar-sadarnya bahwa aku hanya lelaki biasa yang banyak kekurangannya;
aku tidak sesantun Abu Bakar, setegas Umar, sedermawan Utsman, sebijaksana Ali
apalagi semulia Nabi Muhammad –Shallallâhu ‘alaihi wa sallam; aku hanya lelaki
akhir zaman yang mencintai mereka, dan berusaha meneladaninya….., Maka, bila
aku salah ingatkanlah, bila aku sedih hiburlah, bila aku gelisah tenangkanlah,
bila aku marah redamkanlah, bila aku tidak memahami maumu maka beritahukanlah
aku apa sebenarnya pintamu.…, Aku hanya bisa menasehatkan sebagaimana nasehat
seorang ibu kepada putri tercintanya yang akan hidup bersama suaminya; lelaki
asing yang baru dikenalnya, “Kamu wajib untuk qona’ah, mendengar dan taat,
menjaga diri dan tenang.
Jagalah
cintamu kepadanya, peliharalah harta bendanya. Bantulah pekerjaannya. Kerjakan
apa yang menyenangkannya. Simpanlah rahasianya. Janganlah menentang
perintahnya. Tutuplah cela dan aibnya. Cintailah dia ketika masih muda, dan
juga ketika sudah tua. Jagalah lisanmu dan kokohkanlah keimananmu.” Kalau toh
engkau nanti merasakan lelah-letih dengan semua pekerjaan rumah, ingatlah kisah
Asma’ binti Yazid bin Sakan Rahimahallah; duta para wanita yang mengadukan
kegundahan mereka tentang kelebihan-kelebihan amalan yang hanya dikhususkan
bagi lelaki saja, tidak kepada para wanita; baik tentang jihad, shalat jum’at
dan mengantar jenazah. Asma’, shahabiyah yang dikenal ahli dalam berorasi itu
mendatangi majlis Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai
Rasul Allah, sungguh, aku adalah utusan bagi semua wanita muslimah di
belakangku. Seluruhnya mengatakan sebagaimana yang aku katakan, dan berpendapat
sebagaimana yang aku sampaikan. Sungguh, Allah mengutusmu kepada kaum lelaki
dan kaum wanita, kemudian kami beriman kepadamu dan kepada Rabbmu.” Kemudian
Asma’ melanjutkan kalimat inti dari kegelisahan para wanita, dulu hingga kini,
“Adapaun kami, para wanita, terkurung dan terbatas gerak langkah kami. Kami
menjadi penyangga rumah tangga kaum lelaki, dan kami adalah tempat mereka
menyalurkan syahwatnya. Kami pula yang mengandung anak-anak mereka, akan tetapi
kaum lelaki mendapatkan keutamaan melebihi kami dengan shalat jum’at,
mengantarkan jenazah, dan berjihad. Apabila mereka keluar untuk berjihad, kami-lah
yang menjaga harta mereka dan mendidik anak-anak mereka.” Setelah mengutarakan
itu semua, Asma’ kemudian bertanya, “Lantas, apakah kami, kaum wanita, juga
mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat?”
Coba
baca sekali lagi pertanyaan Asma’ yang begitu mengagumkan, “Lantas, apakah
kami, kaum wanita, juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat?”
Rasulullah tersenyum, dan takjub dengan tanyanya; luar biasa indahnya.
Pertanyaan luar biasa yang terlontar dari segenap kaum wanita karena ingin
mendapatkan pahala berlimpah dari profesi ibu rumah tangga; menjaga dirinya,
harta suaminya dan mendidik anak-anaknya. Rasulullah pun bertanya kepada
segenap shahabat yang mengelilingi majlisnya, “Pernahkah kalian mendengar
pertanyaan tentang agama dari seorang wanita yang lebih baik dari tanyanya?”
semuanya menjawab, “Belum, belum pernah” Beliau kemudian bersabda, “Kembalilah
wahai Asma’ dan beritahukan kepada para wanita yang berada di belakangmu; bahwa
perlakuan baik salah seorang di antara mereka kepada suaminya, upayanya untuk
mendapat keridhaan suaminya, dan ketundukkannya untuk senantiasa mentaati
suami; itu semua dapat mengimbangi seluruh amal yang kamu sebutkan yang
dikerjakan oleh kaum laki-laki.” Subhanallah. Jawaban yang sejuk dan indah.
Mengobati semua kegundahan para wanita, yang iri dengan berbagai pahala yang
diperoleh kaum lelaki. Inilah pahala yang akan diberikan kepada ibu rumah
tangga yang membaktikan dirinya untuk taat kepada suaminya. Sekali lagi, bila
engkau merasakan lelah-letih dengan semua pekerjaan rumah kita nanti, ingatlah
kisah Asma’ ini; betapa mulianya berprofesi sebagai ibu rumah tangga…, karena
sejatinya itulah jihad seorang istri yang sesungguhnya.
Terakhir,
pintaku kepadamu hanya satu; jadilah istri yang shalihah…., wanita yang taat kepada
Allah dan Rasul-Nya –Mencintai Allah Ta’ala dan Rasulullah –Shallallâhu ‘alaihi
wa salla di atas segala-galanya, menutup aurat, tidak berhias dan berperangai
seperti wanita jahiliah, tidak bermusafir atau bersama dengan lelaki ajnabi
kecuali ada bersama mahramnya, sering membantu dalam kebenaran, kebajikan dan
takwa, berbuat baik kepada orangtua, senantiasa bersedekah baik itu dalam
keadaan susah ataupun senang, tidak berkhalwat dengan lelaki ajnabi, dan
bersikap baik terhadap tetangga serta suaminya—, serta taat kepada suami
–Memelihara kewajiban terhadap suami, senantiasa menyenangkan suami, menjaga
kehormatan diri dan harta suaminya semasa suami tiada di rumah, tidak cemberut
di hadapan suami, tidak menolak ajakan suami untuk tidur, tidak keluar tanpa
izin suami, tidak meninggikan suara melebihi suara suami, tidak membantah
suaminya dalam kebenaran, tidak menerima tamu yang dibenci suami dan senantiasa
memelihara diri, kebersihan fisikal dan kecantikannya serta kebersihan
rumahtangga-, dan jadilah kupu-kupu tercantik yang hanya hinggap di hatiku,
selamanya….,