Judul
aslinya: Nazhar, Bukan Sekedar Ta’aruf
oleh
Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna. 06/10/2012
Engkaulah
itu minyak atar
Meskipun
masih tersimpan
Dalam
kuntum yang akan mekar
-Iqbal,
Javid Namah-
“Seandainya
kami bisa membelikan janggut untuk Qais dengan harta kami”, kata orang-orang
Anshar, “Niscaya akan kami lakukan.” Semua sifat dan jiwa kepemimpinan memang
ada pada pemuda ini. Nasabnya juga terkemuka lagi mulia. Kecuali, ya itu tadi.
Janggut. Salah satu simbol kejantanan dalam kaumnya yang sayangnya tak dimilikinya.
Wajahnya licin dan bersih.
Namanya
Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Ayahnya, Sa’d ibn ‘Ubadah, pemimpin suku Khazraj di
Madinah. Rasulullah menyebut keluarga ini sebagai limpahan kedermawanan. Ketika
para muhajirin datang, masing-masing orang Anshar membawa satu atau dua orang
yang telah dipersaudarakan dengan mereka ke rumahnya untuk ditanggung
kehidupannya. Kecuali Sa’d ibn ‘Ubadah. Dia membawa 80 orang muhajirin ke
rumahnya!
Saat
masuk Islam, Sa’d ibn ‘Ubadah menyerahkan sang putera kepada Rasulullah.
“Inilah khadam anda wahai Nabi Allah”, ujar Sa’d. Tapi menurut Anas ibn Malik,
Qais lebih pas disebut ajudan Sang Nabi. Dan air cucuran atap jatuhnya ke
pelimbahan juga. Dalam pergaulannya di kalangan pemuda, Qais sangat royal
seperti bapaknya di kalangan tua-tua. Tak terhitung lagi sedekah dan dermanya.
Tak pernah ditagihnya piutang-piutangnya. Tak pernah diambilnya jika orang mengembalikan
pinjaman padanya.
Kedermawanan
Qais begitu masyhur di kalangan muhajirin hingga menjadi bahan perbincangan.
Sampai-sampai suatu hari Abu Bakr Ash Shiddiq dan ‘Umar ibn Al Khaththab
berbicara tentangnya dan berujar, “Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan
kedermawanannya, bisa-bisa habis licinlah harta orangtuanya!”
Pembicaraan
ini sampai juga ke telinga sang ayah, Sa’d ibn ‘Ubadah. Apa komentarnya?
Menarik sekali. “Aduhai siapa yang dapat membela diriku terhadap Abu Bakr dan
‘Umar?!”, serunya. “Mereka telah mengajari anakku untuk kikir dengan memperalat
namaku!” Mendengarnya para sahabat pun tertawa. Lalu Abu Bakr dan ‘Umar meminta
maaf padanya.
Ah,
Qais dan Sa’d. Ayah dan anak ini sebaris di jalan cinta para pejuang. Tak ada
bedanya.
♥♥♥
Inilah
salah satu ciri yang menonjol dari zaman yang mulia itu. Pewarisan karakter
yang sangat kental dari para ayah kepada para anak. Seperti dari Sa’d ibn
’Ubadah kepada Qais yang telah kita bicarakan. Di belakang nama orang Arab
selalu terderet nama ayah-ayah mereka. Mungkin salah satu hikmahnya adalah
identifikasi. Tak cuma identifikasi keturunan siapa. Tapi juga wataknya. Kalau
kau ingat bapaknya dulu punya suatu sifat mulia, demikian pula kurang lebih
anaknya.
Itulah
zaman di mana orangtua benar-benar dituakan oleh anaknya, dan mereka
mendapatkan pendidikannya di madrasah yang tanpa libur dan tanpa jeda. Di
rumahnya. Tempat di mana mereka belajar bukan hanya dari apa yang terucap, tapi
apa yang dilakukan oleh ayah bundanya. Orangtua adalah guru yang
sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati karena integritas di hadapan
anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua perilakunya membanggakan untuk
dijadikan identitas.
Maka
jadilah masyarakat itu masyarakat yang punya tingkat saling percaya amat
tinggi. Kalau kau mau menikahi Hafshah, tak perlu berkenalan dengan Hafshah.
Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang lebih ya seperti bapaknya.
Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu engkau mengenal ’Aisyah. Coba
perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh dengannya. Maka dalam gelar pun
mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil Ash
Shiddiqah binti Ash Shiddiq.
Dari
sinilah saya berargumen pada sebuah seminar pernikahan yang membuat para
pesertanya nyaris tersedak. Ada yang memberi pernyataan, ”Di dalam Islam kan
tidak ada pacaran, yang ada ta’aruf.” Kata saya, ”Ta’aruf? Tidak ada dalilnya.
Tidak ada asal dan contohnya dari Rasulullah maupun para shahabat. Ini istilah
umum yang dipaksakan menjadi istilah khusus pernikahan. Sedihnya lagi, ada yang
menyalahgunakannya. Mengganti istilah, dengan hakikat dan isi yang nyaris sama
dengan pacaran. Na’udzu billaahi min dzalik.”
Maafkan
sekiranya saya berlebihan. Tapi begitulah. Kata ta’aruf artinya ’saling
mengenal’ hanya kita temukan dalam Al Quran dalam konteks yang umum.
”Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(Al Hujuraat 13)
♥♥♥
Tetapi
tentu saja sebuah pernikahan yang dimulai dengan hanya mengandalkan rasa saling
percaya di dalam suatu masyarakat menjadi penuh resiko di kelak kemudian hari.
Apalagi hari ini, ketika kita mudah oleng, tak teguh berpijak pada wahyu dan
nurani. Beberapa halaman lewat, pada tajuk Berkelana dalam Pilihan kita sudah
menyimak kisah Habibah binti Sahl yang akhirnya memilih mengajukan pisah dari
suaminya, Tsabit ibn Qais. Mengapa? Habibah mengukur kekuatan dirinya yang ia
rasa takkan sanggup bersabar atas kondisi suaminya yang menurutnya, ”Paling
hitam kulitnya, pendek tubuhnya, dan paling jelek wajahnya.”
Ya,
masalahnya adalah Habibah belum pernah melihat calon suaminya itu. Belum
pernah. Sama sekali belum pernah. Mereka baru bertemu setelah akad diikatkan
oleh walinya. Sebelum berjumpa, dalam diri Habibah muncul harapan sewajarnya
akan seorang suami. Dan harapan itu, karena ketidaksiapannya, karena ia belum
pernah melihat sebelumnya, menjadi tinggi melangit dan tak tergapai oleh
kenyataan. Ia dilanda kekecewaan. Mungkin kisahnya akan lain jika Habibah telah
melihat calon suaminya sebelum pernikahan terjadi. Ia punya waktu untuk
menimbang. Ia punya waktu untuk bersiap. Ia punya waktu untuk, kata Sang Nabi,
”Menemukan sesuatu yang menarik hati pada dirinya.”
Dalam
riwayat Imam Abu Dawud, Jabir ibn ’Abdillah mendengar RasulullahShallallaahu
’Alaihi wa Sallam bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian hendak meminang
seorang perempuan, jika mampu hendaklah ia melihatnya terlebih dahulu untuk
menemukan daya tarik yang membawanya menuju pernikahan.” Maka ketika Jabir
hendak meminang, ia rahasiakan maksudnya, dan ia melihat kepada wanita Bani
Salamah yang hendak dinikahinya. Ia menemukannya. Hal-hal yang menarik hati
pada wanita itu, yang mebuatnya memantapkan hati untuk menikahi.
Al
Mughirah ibn Syu’bah Radhiyallaahu ’Anhu, sahabat Rasulullah yang masyhur
karena kehidupan rumahtangganya yang sering dilanda prahara sejak zaman
jahiliah, suatu hari ingin meminang seorang shahabiyah, seorang wanita
shalihah. Maka Sang Nabi pun berkata padanya, ”Lihatlah dulu kepadanya, suapaya
kehidupan kalian berdua kelak lebih langgeng.”
Subhanallah,
inilah pernikahan terakhir Al Mughirah yang lestari hingga akhir hayatnya.
Padahal sebelumnya entah berapa puluh wanita yang pernah menemani hari-harinya.
Penuh dinamika dalam nikah dan cerai. Itu di antaranya disebabkan ia tak pernah
melihat calon isterinya sebelum mereka menikah. Maka dengan menjalani sunnah
Sang Nabi, Al Mughirah mendapatkan doa beliau, mendapatkan ikatan hati yang
langgeng dan mesra. Demikian disampaikan kepada kita oleh Imam An Nasa’i, Ibnu
Majah, dan At Tirmidzi.
Dari
mereka kita belajar bahwa syari’at mengajari kita untuk nazhar. Melihat.
Melihat untuk menemukan sesuatu yang membuat kita melangkah lebih jauh ke jalan
yang diridhai Allah. Melihat untuk menemukan sebuah ketertarikan. Itu saja.
Bukan mencari aib. Bukan menyelidiki cela. Bukan mendetailkan data-data.
Lihatlah kepadanya. Itu saja. Tentu dengan mestarikan prasangka baik kita
kepada Allah, kepada diri, dan kepada sesama.
Di
jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar; berbaik sangka
kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang
menarik. Bukan sebaliknya..
KELUARKAN_KUCING_DARI_KARUNGNYA
jangan
kau kira cinta datang
dari
keakraban dan pendekatan yang tekun
cinta
adalah putera dari kecocokan jiwa
dan
jikalau itu tiada
cinta
takkan pernah tercipta,
dalam
hitungan tahun, bahkan millenia
--Kahlil
Gibran--
Jika
nazhar telah kita lakukan, sungguh kita telah mengeluarkan kucing dari
karungnya. Tak lagi membeli kucing dalam karung. Karena kucing juga tak suka
dimasukkan dalam karung. Karena kita juga tak ingin menikah dengan kucing.
Tapi
nazhar itu cukuplah sedikit saja.
Adalah
Malcolm Gladwell, wartawan The New Yorker yang setelah sukses dengan buku
Tipping Point-nya, lalu berkelana penjuru Amerika untuk menulis dan merilis
buku barunya, Blink: The Power of Thinking without Thinking. Buku tentang
berfikir tanpa berfikir. Buku tentang dua detik pertama yang menentukan. Yang
dengan pertimbangan dua detik itu, keputusan yang dihasilkan seringkali jauh
lebih baik dari riset yang menjelimet. Dalam bukunya, Gladwell membentangkan
puluhan riset yang kuat validitasnya dari berbagai ilmuwan terkemuka untuk
menjabarkan tesisnya.
Dua
detik pertama mencerap dengan indera itu menentukan. Mahapenting.
Sejalan
dengan riset-riset yang dibabarkan Malcolm Gladwell, Kazuo Murakami, ahli
genetika peraih Max Planck Award 1990 itu berkisah bahwa para ilmuwan yang
begitu tekun belajar untuk menguasai disiplin ilmunya hingga ke taraf ahli,
acapkali tak pernah menghasilkan penemuan besar. Justru ilmuwan yang ‘tak
banyak tahu’ seringkali menghasilkan dobrakan-dobrakan mengejutkan. Penemuan
akbar.
“Mengapa
terlalu banyak tahu terkadang menghalangi kita?”, kata Murakami dalam buku The
Divine Message of The DNA. “Sebenarnya bukan informasi itu sendiri yang pada
dasarnya buruk; tetapi mengetahui lebih banyak daripada orang lain dapat
membuai kita untuk mempercayai bahwa keputusan kita lebih baik.”
Padahal
seringkali dengan banyaknya informasi membanjir, kemampuan otak kita untuk
memilah mana informasi yang berguna dan mana yang tak bermakna menjadi menurun.
Otak kita bingung menentukan prioritas. Fakta yang kita anggap penting ternyata
sampah. Sebaliknya, hal kecil yang kita remehkan justru bisa jadi adalah kunci
dari semuanya. Maka, merujuk pada Gladwell dan Murakami, kita memang tak perlu
tahu banyak hal. Cukup mengetahui yang penting saja.
Begitu
juga tentang calon isteri, calon suami, calon pasangan kita. Kita tak perlu
tahu terlalu banyak. Cukup yang penting saja.
Alkisah,
seorang lelaki hendak menikah. Maka satu hal saja yang ia persyaratkan untuk
calon isterinya; memiliki tiga kelompok binaan pengajian yang kompak padu.
Ketika mereka bertemu untuk nazhar sekaligus merencanakan pinangan, sang wanita
berkata, “Maaf, saya tidak bisa memasak.” Ini ujian Allah, batin si lelaki.
Bukankah dia hanya meminta yang memiliki binaan pengajian? Mengapa harus mundur,
ketika sang calon tak bias memasak?
“Insyaallah
di Jogja banyak rumah makan”, begitu jawabnya sambil menundukkan senyum.
“Dan
saya juga tidak terbiasa mencuci.”
Kali
ini senyumnya ditahan lebih dalam. Kebangetan juga sih. Tapi ia tahu, ini
ujian. Maka katanya, “Insyaallah di Jogja banyak laundry.”
Ia,
sang lelaki tahu apa yang penting. Kejujuran. Keterbukaan. Itu sudah
ditunjukkan oleh sang wanita dengan sangat jelas, sangat ksatria. Ia berani
mengakui tak bisa memasak dan tak bisa mencuci. Tanpa diminta. Dua hal yang
kadang membuat lelaki rewel. Tetapi dia adalah lelaki yang berupaya selalu
memiliki visi dan misi. Maka dia mendapatkan sesuatu yang berharga; seorang
wanita yang memiliki tiga kelompok binaan kompak padu. Dan itu sangat berarti
bagi visi dan misinya dalam membangun keluarga. Selebihnya, siapa juga yang
mencari tukang cuci dan tukang masak? Yang dia cari adalah seorang isteri,
bukan kedua macam profesi itu.
Dan
tahukah anda? Setelah pernikahan berjalan beberapa waktu, ketika merasa diterima
apa adanya oleh suami tercinta, sang isteripun mencoba memasak. Ternyata ia
pandai. Hanya selama ini ia tak pernah mencoba. Masakannya lezat, jauh melebihi
harapan sederhana sang suami. Begitu juga dalam hal-hal lain. Banyak kejutan
yang diterima sang suami. Jauh melebihi harapan-harapannya. Dulu, dia memang
tak terlalu banyak tahu tentang calon isterinya. Ia cukup mengetahui yang
terpenting saja.
Dua
detik itu sangat menentukan. Mungkin karena dalam dua detik itulah ruh saling
mengenal. Mereka saling mengirim sandi. Jika sandi dikenali, mereka akan
bersepakat, tanpa banyak tanya, tanpa banyak bicara. Karena sesudah itu adalah
saatnya bekerja mewujudkan tujuan bersama. Segera. Jangan ditunda-tunda
“Ruh-ruh itu ibarat
prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal diantara mereka
pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal diantara
mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah.” (HR Al Bukhari [3336] secara
mu’allaq dari ’Aisyah, dan Muslim [2638], dari Abu Hurairah)
Ruh
itu seperti tentara. Ada sandi di antara mereka. Jika sandi telah dikenali, tak
perlu banyak lagi yang diketahui. Cukup itu saja. Mereka akan bersepakat.
Mereka adalah sekawan dan sepihak. Mereka akan bergerak untuk satu tujuan yang
diyakini. Jadi apakah yang menjadi sandi di antara para ruh? Iman. Tentu saja.
Kadar-kadarnya akan menerbitkan gelombang dalam frekuensi yang sama. Jika tak
serupa, jika sandinya tak diterima, ia telah berbeda dan sejak awal tak hendak
menyatu.
”Iman”,
kata Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil Quran, ”Adalah persepsi baru terhadap
alam, apresiasi baru terhadap keindahan, dan kehidupan di muka bumi, di atas
pentas ciptaan Allah, sepanjang malam dan siang. Dan inilah yang diperbuat
keimanan. Membuka mata dan hati. Menumbuhkan kepekaan. Menyirai kejelitaan,
keserasian, dan kesempurnaan.” Maka biarlah dia yang menjadi ratu penentu, di
dua detik pertama nazhar kita.
Di
jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar; berbaik sangka
kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal
yang menarik. Bukan sebaliknya. Di jalan cinta para pejuang, yang terpenting
bukanlah seberapa banyak engkau tahu, tapi bahwa engkau mengetahui yang memang
bermakna bagimu. Dan bahwa Allah selalu bersamamu.
kecocokan
jiwa memang tak selalu sama rumusnya
ada
dua sungai besar yang bertemu dan bermuara di laut yang satu; itu kesamaan
ada
panas dan dingin bertemu untuk mencapai kehangatan; itu keseimbangan
ada
hujan lebat berjumpa tanah subur, lalu menumbuhkan taman; itu kegenapan
tapi
satu hal tetap sama
mereka
cocok karena bersama bertasbih memuji Allah
seperti
segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, ruku’ pada keagunganNya
Slam
Cinta,.Baraakallahu Fiikum
Tags
Islam