Ada beberapa teori gerakan sosial. Gerakan
sosial merupakan bentuk aktivisme yang khas dari masyarakat sipil (Diano &
Porta, 2006). Sebagai bentuk aktivisme yang khas, didefinisikan sebagai sebentuk
aksi kolektif dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan
politik tertentu, dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat
oleh aktor-aktor yang diikat oleh rasa solidaritas dan identitas kolektif yang
kuat melebihi bentuk-bentuk ikatan dalam koalisi dan kampanye bersama. Ciri
lain dalam gerakan sosial adalah tujuannya yang bukan untuk mencapai kekuasaan,
sekalipun dalam beberapa hal gerakan sosial ditujukan untuk mengganti rezim
rezim yang berkuasa. Ini berbeda dengan gerakan politik yang umumnya ditujukan
untuk merebut kekuasaan baik yang dilakukan dengan cara damai atau lewat
kekerasan. Ikatan gerakan sosial adalah pada cita-citanya tentang perubahan.
Selain definisi yang diberikan Diani dan Porta (2006), McCarthy & Zald (2003)
mendefinisikan gerakan sosial sebagai seperangkat opini dan kepercayaan
(opinion and belieft) dalam suatu kelompok masyarakat yang mencerminkan
preferensi bagi perubahan pada sebagian elemen struktur sosial dan atau
distribusi kemanfaatan dalam tatanan masyarakat yang lebih luas.
Tilly dan Wood (1999) mendefinisikan sebagai ’perlawanan
yang terus menerus atas nama kelompok yang dirugikan terhadap pemegang kekuasaan
melalui berbagai ragam protes publik, termasuk tindakan-tindakan di luar jalur partisipasi
politik formal yang diatur oleh hukum dan perundangan, untuk menunjukkan bahwa
kelompok tersebut solid, berkomitmen, serta mewakili jumlah yang significant. Protes
ini bisa berlangsung panjang, naik turun, koalisi tidak harus permanen, dan
kadang kala berlangsung ketegangan antar pelaku gerakan sosial. Namun demikian
ikatan sosial politiknya bisa terus berlangsung sampai tujuan gerakan tercapai.
Dalam definisi tersebut, gerakan sosial tidak
hanya melibatkan aksi kolektif terhadap suatu masalah bersama namun juga dengan
jelas mengidentifikasi target aksi tersebut dan mengartikulasikan dalam konteks
sosial maupun politik tertentu. Aksi kolektif bisa berasosiasi dengan gerakan
sosial selama dianggap sebagai perlawanan terhadap perilaku atau legitimasi
aktor politik maupun sosial tertentu dan tidak ditujukan bagi masalahmasalah
yang tidak disebabkan secara langsung oleh manusia.
Gerakan sosial tidak dapat direpresentasikan
oleh suatu organisasi tertentu. Oleh karenanya pelaku gerakan sosial tidak
tunggal. Gerakan sosial direpresentasikan oleh citacita yang akan diusung, oleh
karena itu gerakan sosial memiliki ciri inklusif, tidak didominasi dan
direpresentasikan oleh satu atau dua organisasi. Karena ciri yang inklusif dimana
setiap pihak yang setuju dengan cita-cita gerakan dapat terlibat dalam gerakan,
maka sebuah gerakan sosial sesungguhnya merupakan pertukaran berbagai pihak
yang bersedia bekerja untuk perubahan. Sebagai sebuah proses, gerakan sosial
melibatkan pertukaran sumber daya yang berkesinambungan bagi pencapaian tujuan
bersama di antara beragam aktor individu maupun kelembagaan mandiri.
Strategi, koordinasi dan pengaturan peran
dalam aksi kolektif ditentukan dari negosiasi yang terus menerus diantara
aktor-aktor yang terlibat diikat oleh identitas kolektif. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Habermas, Offe maupun Melucci, gerakan sosial adalah ”ruang
antara” yang menjembatani masyarakat sipil dan negara (Canel, 1997).
Gerakan sosial adalah ruang antara pasifisme publik
dengan pembusukan negara (abuse of power) . Dengan sendirinya gerakan sosial mengambil
tanggung jawab publik atas peran-peran yang seharusnya dijalankan oleh negara
seperti jaminan keamanan, jaminan kesejahteraan, partisipasi yang lebih luas
dan lain sebagainya. Melalui ruang tersebut gerakan sosial mampu mempolitisasi
civil society tanpa harus mereproduksi kontrol, regulasi, dan intervensi
seperti yang dilakukan oleh negara. Dalam pandangan Canel (1997), proses
politisasi dalam ruang antara telah memampukan gerakan sosial untuk
menyampaikan pesan mereka kepada masyarakat secara keseluruhan dan kepada aktor
politik di luar MS.
Pengertian umum gerakan sosial adalah
tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan yang dilakukan oleh suatu
kelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu
perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan
lembaga masyarakat yang ada. Gerakan sosial umumnya lahir dari situasi yang
dianggap tidak adil sehingga diperlukan sejumlah tindakan untuk merubahnya.
Gerakan sosial secara sederhana dimaknai sebagai gerakan yang lahir dari dan
atas prakarsa masyarakat dalam menuntut perubahan institusi, kebijakan atau
struktur kekuasaan. Dalam konteks ini gerakan sosial memandang bahwa ketiga hal
diatas tidak sesuai dengan kehendak mayoritas. Gerakan sosial merupakan upaya
kolektif untuk mengejar kepentingan bersama diluar lingkup lembaga –lembaga
yang sudah mapan.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, kita
dapat menarik kesimpulan mengenai cirri pokok gerakan sosial dengan
membandingkan orientasi pokoknya, pertama, gerakan sosial melibatkan tantangan
kolektif, yakni upaya-upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan di dalam
arasemen-arasemen kelembagaan. Tantangan ini bisa berpusat pada kebijakan
publik atau ditujukan untuk mengawali perubahan yang lebih luas dalam struktur lembaga
sosial politik, kesejahteraan, atau berkaitan dengan hak-hak warga negara.
Kedua, gerakan sosial biasanya memiliki corak politik. Ini terutama berkaitan
dengan tujuan yang hendak dicapai oleh gerakan sosial, yang secara spesifik
biasanya berkaitan dengan distribusi kekuasaan. Secara singkat gerakan sosial
memiliki ciri yaitu (1) lahirnya kekerasan atau protes baru dengan semangat
muda yang dibentuk secara independen, (2) bertambahnya jumlah (dan peserta)
aksi protes yang mendukung gerakan dan umumnya berlangsung secara cepat, (3)
kebangkitan opini, (4) seluruh kekuatan ditujukan kepada lembaga sentral (5)
gerakan sosial merupakan usaha untuk melahirkan perubahan struktur pada
lembaga-lembaga sentral.
Gidden (1993) menyatakan bahwa gerakan sosial
adalah upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama; atau gerakan
mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar
lingkup lembaga-lembaga yang sudah mapan.
Pengertian yang sama diutarakan Tarrow (1998)
yang menempatkan gerakan sosial sebagai politik perlawanan yang terjadi ketika
rakyat biasa --- yang bergabung dalam kelompok masyarakat yang lebih
berpengaruh – menggalang kekuatan untuk melawan elit, pemegang otoritas, dan
pihak-pihak lawan lainnya. Ketika perlawanan ini didukung oleh jaringan sosial
yang kuat, dan digaungkan oleh resonansi kultural dan simbol-simbol aksi, maka
politik perlawanan mengarah ke interaksi yang berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan,
dan hasilnya adalah gerakan social. Menurut Tarrow (1998), tindakan yang mendasari
politik perlawanan adalah aksi kolektif yang melawan. Tindakan kolektif bisa mengambil
banyak bentuk, yang singkat maupun yang berkelanjutan, terlembagakan ataupun
cepat bubar, membosankan atau dramatis. Umumnya tindakan kolektif berlangsung
dalam institusi ketika orang yang bergabung di dalamnya bertindak untuk mencapai
tujuan bersama. Aksi kolektif memiliki nuansa penentangan ketika aksi itu dilakukan
oleh orang-orang yang kurang memiliki akses ke institusi-institusi untuk mengajukan
klaim baru atau klaim yang tidak dapat diterima oleh pemegang otoritas atau pihak-pihak
yang ditentang lainnya. Aksi kolektif yang melawan merupakan basis dari gerakan
social , karena aksi itu seringkali merupakan satu-satunya sumber daya yang dimiliki
oleh orang-orang yang berada diluar struktur. Pada dataran teoritis, hal itulah
yang telah melahirkan berbagai teori tentang gerakan social, seperti teori
tindakan kolektif (collective action /behavior), teori ‘nilai tambah’ (value
added), teori mobilisasi sumber daya (resource mobilization), teori proses
politik (political process), dan teori gerakan social baru (new social
movement).
Gejolak sosial menurut Smelser, dinamakan
collective behavior, adalah mobilisasi atas dasar suatu belief , keyakinan,
yang mendefinisikan kembali gerakan sosial. Dalam pandangan Smelser(1962),
gejolak sosial dapat terjadi apabila terdapat sejumlah determinan atau
necessary conditions yang berturut-turut terdiri atas hal-hal sebagai: (1)
kekondusifan struktural (structural conduciveness), yaitu kondusif atau tidaknya
struktur sosial budaya masyarakat terhadap gejolak sosial, (2) ketegangan struktural
yang timbul , misalnya berupa ancaman atau deprivasi ekonomi, (3) penyebaran keyakinan
yang dianut, (4) faktor pencetus berupa sesuatu yang dramatik. Krisis keuangan misalnya,
dapat diartikan sebagai deprivasi ekonomi yang melahirkan ketegangan struktural
dan dapat pula menjadi faktor pencetus terjadinya gejolak sosial. Setelak
gejolak sosial muncul sebagai akibat berbagai faktor diatas, (5) mobilisasi
untuk mengadakan aksi berkembang menjadi gerakan sosial. Situasi dapat dimulai
dengan agitasi untuk reform. (6) pengorganisasian kontrol sosial yang mencegah,
mengganggu, membelokkan , merintangi gejolak tersebut.
Menurut Gamson (1992), sebuah kerangka aksi
kolektif adalah ”seperangkat keyakinan dan pemaknaan yang berorientasi pada
tindakan, yang memberi aspirasi dan melegitimasi berbagai kegiatan dan kampanye
gerakan sosial”. Gamson membedakan tiga komponen kerangka aksi kolektif (1)
rasa ketidakadilan, (2) elemen identitas, dan (3) faktor agensi. Rasa
ketidakadilan muncul dari kegusaran moral yang berhubungan dengan kekecewaan,
seperti ketidakadilan ekonomi, pemberian fasilitas kepada sekelompok orang, dan
lain sebagainya. Kegusaran moral ini seringkali berhubungan dengan ketidaksetaraan
yang tidak memiliki legitimasi –yaitu perlakuan yang tidak simbang terhadap
individu atau kelompok yang dipersepsikan sebagai ketidakadilan (Folger, 1986;
Major, 1994).
Pengindentifikasian ”mereka” (penguasa,
kelompok elite) yang dianggap bertanggungjawab atas sebuah situasi negatif
menyiratkan adanya ”kita” sebagai lawannya. Rasa ketidakadilan atau rasa
berindentitas merupakan kondisi yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam
gerakan, tetapi merasakan ketidakpuasan bersama dan menemukan penguasa yang
dapat dipersalahkan semata-mata tidak cukup dapat mendorong orang untuk
melibatkan diri dalam lapangan aksi kolektif. Individu harus menjadi yakin
bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mengubah kondisi mereka.
Salah satu faktor penentu keberhasilan gerakan
sosial terletak pada tujuan gerakan social diterima oleh seluruh aktor gerakan
(Gamson, 1996) keberhasilan gerakan sosial terletak pada bagaimana aktor-aktor
gerakan memformulasikan tujuannya sehingga diterima secara luas. Keberhasilan
gerakan sosial diantaranya ditentukan oleh sejauh mana khalayak mempunyai
pandangan yang sama atas suatu isu, musuh bersama atau tujuan bersama. Gerakan
sosial bukan hanya membutuhkan bingkai bagaimana setiap aktor harus bertindak,
melainkan juga bingkai apa yang sedang dihadapi. Keberhasilan dari suatu gerakan
sosial tergantung pada bagaimana keberhasilan kelompok dalam mendefinisikan frame/bingkai
atas apa apa yang harus dilakukan bersama (David A. Snow, 1986). Gamson menyimpulkan
bahwa wacana media adalah sumber informasi penting yang dapat diambil orang
ketika mereka mencoba mencari penjelasan atas isu-isu yang mereka bicarakan.
Gerakan sosial membutuhkan partisipasi yang
luas dari para pendukungnya. Menurut Klandermans (2005) terdapat empat langkah
menuju partisipasi dalam gerakan sosial. (1) potensi mobilisasi. Untuk
menciptakan potensi mobilisasi, suatu gerakan harus mendapatkan simpati dari
beberapa kelompok. Seperti yang telah kita ketahui potensi mobilisasi mengacu
kepada para anggota masyarakat, yang secara potensial dapat dimobilisasi dengan
suatu cara tertentu oleh gerakan sosial, termasuk di dalamnya adalah semua
orang yang mempunyai sikap positif terhadap gerakan; tidak terbatas pada kelompok-kelompok
yang kepentingannya dipertahankan atau diwakili oleh gerakan. Bahkan
orang-orang yang tidak mendapatkan mafaat langsung dari gerakan sosial pu dapat
bersimpati kepada gerakan, sehingga bisa menjadi calon potensial untuk
dimobilisasi. (2) Jaringan perekrutan dan potensi mobilisasi. Seberapapun besar
potensi mobilisasi sebuah gerakan, bila gerakan tersebut kurang memiliki
jaringan perekruitan untuk aksi, maka gerakan tidak akan efektif. Untuk
membentuk dan mengaktifkan jaringan perekrutan, suatu gerakan harus mempu
menyatukan kekuatan dengan organisasi-organisasi lain dan menjalin hubungan
dengan jaringan formal maupun informal yang telah ada, selain itu gerakan harus
mampu mengembangkan organisasinya sendiri baik lokal maupun nasional. (Wilson
dan Orum, 1976; Farree dan Miller, 1985). Jaringan perekrutan gerakan sosial menentukan
upaya-upaya jangkauan mobilisasinya. Semakin luas jaringan dan semakin erat
hubungannya dengan organisasi-organisasi dan jaringan-jaringan lain, maka
semaki banyak pula orang akan berada dalam barisan gerakan (McAdam &
Pulsen, 1993). (3) Motivasi untuk terlibat dalam gerakan. Untuk menstimulasi
motivasi, suatu gerakan harus mempengaruhi keuntungan dan kerugian jika
seseorang terlibat dalam gerakan sosial. Jika keutungan yang diperoleh dalam
gerakan sosial lebih besar dari kerugian, kemungkinan untuk berpartisipasi juga
semakin besar. Partisipasi dalam gerakan sosial berupa keterlibatan kongkret
dan spesifik seperti mengikuti rapat umum atau demonstrasi, menyumbangkan
sejumlah uang, bergabung dalam barisan pemogokan, dan lain sebagainya. Kita
tidak dapat mengasumsikan bahwa seseorang yang telah berpartisipasi dalam
sebuah gerakan yang spesifik, kemudian akan ikut berpartisipasi dengan gerakan lain.
(4) Penghalang berpartisipasi. Motivasi menunjukkan kesediaan untuk
berpartisipasi, tetapi itu saja tidak cukup. Kesediaan itu hanya akan berubah
menjadi partisipasi sejauh niat itu dapat dilaksanakan. Tetapi penghalang dapat
diatasi bila orang benar-benar termotivasi
dalam gerakan. Dengan demikian seseorang akan berpartisipasi atau tidak tergantung
pada bagaimana cara dia merespon penghalangnya.
Jadi gerakan sosial di tahap akhir harus
menerapkan salah satu atau kedua strategi berikut, yaitu (a) mempertahankan atau
menguatkan motivasi dan (b) menyingkirkan penghalang. Kladermans (2005) memberikan
gambaran sebagai berikut mengenai keputusan apakah seseorang akan melibatkan
diri (berpartisipasi) dalam gerakan atau tidak.
Seorang berpartisipasi dalam suatu gerakan
berarti terlibat dalam sebuah kegiatan seperti mogok, demontrasi, menghadiri pertemuan,
dan lain sebagainya. Dengan demikian setiap orang atau kelompok dalam sebuah
gerakan dapat mengambil keputusan untuk berpartisipasi terus atau menghentikan
partisipasinya. Model ini mengkombinasikan teori nilai harapan dan teori aksi
kolektif (Klandermans, 2005). Menurut teori nilai harapan, perilaku individu
atau kelompok merupakan fungsi nilai dari hasil yang diharapkan. Semakin besar
kemungkinan suatu perilaku untuk menghasilkan hasil yang spesifik , dan semakin
tinggi penilaian terhadap hasil tersebut, maka kemungkinan besar juga kemungkinan
untuk terlibat dalam gerakan sosial.
Dalam gerakan sosial, inti teori aksi
kolektif adalah perbedaaan antara insentif kolektif dan insentif selektif
(Oliver, 1980). Insentif kolektif dihubungkan dengan pencapaian tujuan
kolektif. Sebaliknya insentif selektif hanya mempengaruhi orang-orang yang
berpartisipasi dalam suatu aksi kolektif. Untuk melibatkan diri dalam suatu
gerakan sosial membutuhkan ketersediaan insentif kolektif maupun selektif.
Hanya sebagian kecil orang yang mau berpatisipasi hanya untuk alasan
mendapatkan insentif selektif semata. Pun, banyak kelompok atau orang tidak
siap untuk berpartisipasi di dalam suatu kegiatan yang tidak menyediakan apapun
selain insentif kolektif, meskipun bersimpati terhadap tujuan gerakan sosial.
Oleh karena itu, sebuah kampanye yang bertujuan meyakinkan orang untuk
berpartisipasi dalam sebuah gerakan sosial tidak hanya menekankan nilai tentang
tujuan aksi tersebut dan mengontrol insentif selektif, kampanye juga harus
mampu meyakinkan para aktor bahwa cukup banyak yang terlibat dalam gerakan
sosial. Disinilah relevansi teori Gamson mengenai framing dimana media memiliki
peran dalam menebarkan keyakinan mengenai tujuan gerakan.