Sistem merupakan jalinan dari beberapa unsur
yang menjadi satu fungsi. Sistem pemidanaan memegang posisi strategis dalam
upaya untuk menanggulangi tindak pidana yang terjadi. Sistem pemidanaan adalah
suatu aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan
pemidanaan. Apabila pengertian sistem pemidanaan diartikan secara luas sebagai
suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah
dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan
perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau
dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum)
pidana. Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana
subtantif, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat
sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa
pemidanaan tidak dapat terlepas dari jenis-jenis pidana yang diatur dalam hukum positif suatu
negara. Pemidanaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat yang teratur terhadap
pelaku kejahatan dapat berbentuk menyingkirkan atau melumpuhkan para pelaku
tindak pidana, sehingga pelaku tersebut tidak lagi menggangu di masa yang akan
datang.
Cara menyingkirkan dapat dilakukan
bermacam-macam yaitu berupa pidana mati, pembuangan, pengiriman keseberang
lautan dan sampai pemenjaraan. Secara berangsurangsur ada kecenderungan cara
pemidanaan itu mengalami pergeseran dari waktu ke waktu.
Pada zaman kerajaan majapahit dikenal sistem
pemidanaan berupa; pidana pokok yang meliputi pidana mati, pidana potong
anggota badan bagi yang bersalah, denda, ganti kerugian, atau pangligawa atau
putukucawa. Dan juga dikenal pidana tambahan yang meliputi tebusan, penyitaan
dan patibajambi (uang pembeli obat) . Dalam kitab perundang -undangan Majapahit
sama sekali tidak mengenal pidana penjara dan pidana kurungan. Dengan demikian
tiap-tiap orang yang bersalah harus menjalani salah satu dari empat pidana
pokok di atas.
Berbeda dengan keadaan Majapahit, untuk
keadaan sekarang sistem pemidanaan telah mengalami banyak perubahan-perubahan
yang berupa penyempurnaan dari sistem yang telah lalu. Tidak telepas pula
dengan keadaan di Indonesia, sistem pemidanaan yang ada berlaku hingga sekarang
masih mengacu pada K.U.H.Pidana yang merupakan warisan Kolonial Belanda. Dari
sistem ini yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut
banyak menimbulkan permasalahan, diantaranya mengenai relevansinya sistem
pemidanaan yang dipakai dewasa ini dengan keadaan dan aspirasi bangsa
Indonesia.
Sistem Pemidanaan Di dalam
K.U.H.Pidana
Jenis-jenis
pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tercantum dalam Pasal 10. Pasal
ini sebagai dasar bagi hakim dalam menjatuhkan pidana.
Pasal
ini menyebutkan ada 2 (dua) jenis pidana yaitu:
Jenis
pidana pokok meliputi;
- Pidana mati
- Pidana penjara
- Pidana kurungan
- Pidana denda
jenis
pidana tambahan meliputi;
- Pencabutan hak – hak tertentu
- Perampasan barang – barang tertentu
- Pengumuman putusan hakim
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa pidana mati masih tercantum didalam K.U.H.Pidana. Pada setiap delik yang
diancam dengan pidana mati selalu tercantum alternatif pidana seumur hidup atau
pidana penjara sementara dua puluh tahun, jadi hakim dapat memilih antara tiga
kemungkinan tersebut melihat bentuk delik itu, maka pidana mati hanya
dijatuhkan terhadap delik yang benar dianggap berat saja, dalam hal pidana mati
yang dijatuhkan terpidana dapat mengajukan grasi kepada Presiden, apabila
terpidana tidak memohon grasi kepada presiden berarti Presiden menyetujui eksekusi
pidana mati tersebut.
Menurut Pasal 11 K.U.H.Pidana, pidana mati
dijalankan dengan cara menjerat ditiang gantungan pada leher terpidana,
kemudian algojo menjatuhkan papan tempat
terpidana berdiri. Akan tetapi sejak penjajahan Jepang di Indonesia, melalui
Stablaad 1945 Nomor 123, pidana mati dijalankan dengan jalan menembak mati
terpidana, hal ini kemudian diperkuat dengan Undang-undang Nomor 2/PNPS/Tahun
1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 83, (ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 5
Tahun 1969) yang menetapkan bahwa pelaksanaan
pidana mati dirubah dengan cara ditembak mati.
Mekanisme
pelaksanaan pidana mati sebagaimana ditetapkan di dalam pasal 2 – 16 UU No.
2/PNPS/1964, adalah sebagai berikut:
- Dalam jangka waktu tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pidana mati itu dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana berkeinginan untuk mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau jaksa tersebut
- Apabila terpidana merupakan seorang wanita yang sedang hamil, maka pelaksanaan dari pidana mati harus ditunda hingga anak yang dikandungnya itu telah lahir
- Tempat pelaksanaan pidana mati itu ditentukan oleh Menteri Kehakiman, yakni di daerah hukum dari pengadilan tingkat pertama yang telah memutuskan pidana mati yang bersangkutan
- Kepala Polis dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan dari pidana mati tersebut setelah mendengar nasehat dari jaksa tinggi atau dari jaksa yang telah melakukan penuntutan pidana mati pada peradilan tingkat pertama
- Pelaksanaan pidana mati itu dilakukan oleh suatu regu penembak polisi di bawah pimpinan dari seorang perwira polisi
- Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira yang ditunjuk) harus menghadiri pelaksanaan dari pidana mati itu, sedang pembela dari terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan dari terpidana dapat menghadirinya
- Pelaksanaan dari pidana mati itu tidak boleh dilakukan di muka umum
- Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga atau kepada sahabatsahabat terpidana, dan harus dicegah pelaksanaan dari penguburan yang bersifat demonstratif, kecuali demi kepentingan umum maka jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan dapat menentukan lain
- Setelah pelaksanaan dari pidana mati itu selesai dikerjakan, maka jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara mengenai pelaksanaan pidana mati tersebut, dimana isi dari berita acara tersebut kemudian harus dicantumkan di dalam surat keputusan dari Pengadilan yang bersangkutan
Dengan demikian, bahwa sistem pemidanaan yang
tercantum dalam K.U.H pidana mengenal dua macam sistem yaitu, sistem pemidanaan
alternatif dan sistem pemidanaan tunggal. Alternatif artinya bahwa hakim dalam memutuskan
perkara boleh memilah dalam menjatuhkan putusannya, sedangkan sistem pemidanaan
tunggal diartikan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusannya harus sesuai dengan
rumusan yang terdapat dalam Pasal tersebut.
Penjatuhan pidana mati menurut pemidanaan
dalam K.U.H pidana, selalu dialternatifkan dengan jenis pidana lainnya yaitu
pidana penjara, baik pidana penjara seumur hidup maupun pidana penjara
selama-lamanya 20 tahun (pidana penjara sementara waktu 20 tahun), hal ini dapat
dilihat dalam perumusan Pasal 340 K.U.H Pidana tentang pembunuhan berencana.
Sistem pemidanaan yang bersifat tunggal
sebagaimana di anut K.U.H Pidana dapat dilihat dalam pasal 489 ayat (1) Buku ke
III K.U.H Pidana tentang pelanggaran terhadap keamanan umum bagi orang dan
barang.
Sistem Pemidanaan di Luar
Kitab Undang-undang Pidana
Untuk sistem pemidanaan yang terdapat di luar
Undang-undang Hukum Pidana, juga menganut sistem pemidanaan alternatif dan
sistem pemidaan kumulatif, ini bisa dilihat dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor
11 Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi. Adapun selain
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1963 yang menganut sistem pemidanaan alternatif
dan kumulatif, yaitu Undang-undang No 3 tahun 1971 tentang pemberantasan korupsi,
khususnya Pasal 28 (alternatif dan kumulatif), 29, 30, 31, dan 32 (kumulatif
dan alternatif), Undang-undang Nomor 7/drt/Tahun 1955 tentang penyusutan,
penuntutan, dan peradilan tindak pidana ekonomi, misalnya Pasal 6 yang
mengadakan sistem kumulatif. Untuk Undang-undang Nomor 12/drt/Tahun 1951
tentang senjata api, yaitu Pasal 1 ayat (1) (alternatif) dan Pasal 2 (tunggal).
Sistem Pemidanaan Menurut
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Baru Tahun 2006
Sistem pemidanaan yang digunakan dalam konsep
atau rancangan K.U.H Pidana Baru terdiri dari dua jenis yaitu jenis pidana dan
tindakan, hal ini tertuang dalam Pasal 65- 101 Rancangan K.U.H Pidana Baru
tahun 2006, masing-masing jenis sanksi ini terdiri dari:
Pidana
pokok diatur dalam pasal 65 dimana disebutkan:
- Pidana penjara
- Pidana tutupan
- Pidana pengawasan
- Pidana denda; dan pidana kerja sosial
Pidana
tambahan diatur dalam pasal 67 antara lain:
- Pencabutan hak-hak tertentu
- Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan
- Pengumuman putusan hakim
- Pembayaran ganti kerugian
- Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pidana mati ditempatkan sebagai pidana pokok
yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif (diatur dalam
pasal 66).
Tindakan
(pasal 101) terdiri dari:
Setiap
orang yang memenuhi ketentuan sebagaimana disebutkan dalam pasal 40 dan pasal
41 mengenai setiap orang yang tidak atau kurang mampu bertanggung jawab dapat
dikenakan tindakan tanpa dijatuhi pidana pokok, berupa:
- Perawatan dirumah sakit jiwa
- Penyerahan kepada pemerintah
- Penyerahan kepada seseorang.
Tindakan
yang dapat dijatuhkan bersama pidana pokok berupa:
- Pencabutan surat ijin mengemudi
- Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
- Perbaikan akibat tindak pidana
- Latihan kerja
- Rehabilitasi; dan/atau
- Perawatan di lembaga.
Kemudian penjelasan dari Pasal 60, mengatakan
bahwa hakim dapat menjatuhkan jenis-jenis pidana yang tercantum dalam Pasal
tersebut, sehingga hakim tidak terlalu rumit untuk memilih. Terhadap tindak
pidana yang dirumuskan dalam buku ke II yang diancamkan hanyalah tiga jenis
pidana; pidana penjara, pidana denda dan pidana mati. Pidana tutupan dan
pengawasan sebenarnya merupakan suatu cara pelaksanaan pidana sebagai
alternatif dari pidana penjara. Pidana mati dicantumkan dalam ayat tersendiri
untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar istimewa jika dibandingkan
dengan jenis-jenis pidana yang lain, pidana mati di pandang paling berat.
Di samping jenis-jenis sanksi yang
dikemukakan di atas, Rancangan K.U.H Pidana Baru tahun 2006 merencanakan juga
jenis-jenis sanksi khusus untuk anak yang terdiri dari pidana pokok, pidana
tambahan dan tindakan. Untuk anak tidak ada pidana mati dan pidana seumur
hidup. Apabila dilihat dari pengelompokan jenis sanksi menurut konsep di atas,
ada kesamaan dengan K.U.H Pidana (W.V.S)
yang agak berbeda hanya jenisnya.
Jenis pidana tambahan dan tindakan di dalam
konsep mengenal penambahan/perluasan, yang agak menonjol dari penambahan
tersebut ialah dirumuskan secara eksplisit jenis pidana tambahan berupa
pemenuhan kewajiban adat.
Dilihat dari sudut ini dapat dikatakan bahwa
sistem sanksi menurut Rancangan K.U.H Pidana Baru tahun 2006 terdiri dari
sanksi formal (sanksi yang sudah disebutkan secara konkret dan eksplisit
menurut undang-undang hukum) dan sanksi informal (sanksi yang hidup menurut
hukum tertulis yang jenisnya tidak tegas disebutkan dalam undang-undang).
Adanya jenis sanksi informal ini karena Rancangan K.U.H Pidana Baru tahun 2006
mengakui adanya tindak pidana menurut hukum adat yang tidak ada tandingnya
dalam K.U.H Pidana.
Untuk delik yang secara formal sudah diatur
secara tegas di dalam K.U.H Pidana, tersedia formal sedangkan untuk delik
menurut hukum adat tersedia sanksi informal. Dalam Rancangan K.U.H Pidana Baru
tahun 2006 tidak lagi membedakan jenis tindak pidana yang berupa kejahatan dan
pelanggaran, akan tetapi mengklasifikasikan tindak pidana yang sifat/bobotnya
dipandang sangat ringan, berat dan sangat serius. Untuk delik yang sangat
ringan hanya diancam dengan pidana denda (alternatif), untuk delik yang
dipandang berat diancam dengan pidana penjara saja (perumusan tunggal) atau
dalam keadaan khusus dapat juga diancam dengan pidana mati yang dialternatifkan
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara dalam waktu tertentu.
Rancangan K.U.H Pidana Baru tahun 2006, di
samping menganut sistem yang terdapat di dalam dan di luar K.U.H Pidana yang
berlaku sekarang, juga menganut “Double Track Sistem” artinya hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap perbuatan yang diancam pidana dapat menjatuhkan
dua jenis sanksi sekaligus, yaitu jenis sanksi pidana dan tindakan misalnya
hakim dalam putusannya menjatuhkan pidana denda bersama-sama dengan penjatuhan
tindakan berupa pencabutan surat ijin mengemudi (SIM).
Tags
Hukum