Ada beberapa sistem pembuktian dalam KUHAP. Dalam
Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang–kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu pidana benar–benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah mealkukannya.”
Kalau dibandingkan bunyi Pasal 183 KUHAP
dengan Pasal 294 HIR, hampir bersamaan bunyi dan maksud yang terkandung di
dalamnya yang berbunyi: “tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seseorang pun
jika hakim tidak yakin kesalahan terdakwa dengan upaya bukti menurut undang–undang
bahwa telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa tertuduhlah yang salah melakukan
perbuatan itu.”
Dari bunyi Pasal tersebut, baik yang termuat
pada Pasal 183 KUHAP maupun yang dirumuskan dalam Pasal 294 HIR, sama–sama
menganut “sistem pembuktian menurut undang–undang secara negatif “. Perbedaan
antara keduanya, hanya terletak pada penekanannya saja. Pada Pasal 183 KUHAP
syarat “ pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah .“ lebih ditekankan
dalam perumusannya. Hal ini dapat dibaca dalam kalimat : ketentuan pembuktian
yang memadai untuk menjatuhakan pidana kepada seorang terdakwa “ sekurang–kurangya
dua alat bukti yang sah.”
Dengan
demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana pada seorang terdakwa, harus:
- Kesalahannya terbukti dengan sekurang–kurangnya dua alat bukti yang sah.
- Dan atas keterbuktian dengan sekurang–kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim “memperoleh keyakinan“ bahwa tindak pidana benar–benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah mealkukannya.
Lalu bagaimanakah pelaksanaan sistem
pembuktian menurut undang–undang secara negative dalam kehidupan penegakan
hokum di Indonesia? Menurut pengalaman dan pengamatan, Andi Hamzah baik dimasa
HIR maupun setelah KUHAP berlaku, penghayatan penerapan sistem pembuktian itu
sendiri, tanpa mengurangi segala macam keluhan, pengunjingan dan kenyataan yang
dijumpai. Sehubungan dengan pembahasan sistem pembuktian, dimana di dalam sistem
pembuktian negatif ini terkandung suatu prinsip yaitu “batas minimum pembuktian“.
Azas minimum pembuktian ini merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus
dipenuhi membuktikan kesalahan terdakwa. Dimana azas minimum pembuktian ialah
suatu prinsip yang harus dipedimani dalam menilai cukup atau tidaknya alat
bukti membuktikan salah atau tidaknya terdakwa. Artinya sampai “batas minimum
pembuktian“ mana yang dapat dinilai cukup membuktikan kesalahn terdakwa.
Untuk menjelaskan masalah ini titik tolak
berpijak berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP. Meneliti bunyi Pasal 183 KUHAP
tersebut, dikemukanlah kalimat : “dengan sekurang–kurangnya dua alat bukti yang
sah“ maksudnya untuk menjatuhkan pidana kepada seirang terdakwa baru boleh
dilakukan oleh seorang hakim apabila kesalahan terdakwa telah dapat dibuktikan “dengan
sekurang – kurangnya dua alat bukti.”
Jadi
“minimum pembuktian“ yang dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa agar
kepadanya dapat dijatuhkan pidana, harus dengan sekurang–kurangnya dua alat
bukti yang sah yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah disebutkan
secara rinci atau “limitative“ alat bukti yang sah menurut undang–undang yaitu:
- Keterangan saksi.
- Keterangan ahli.
- Surat.
- Petunjuk.
- Keterangan terdakwa.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1)
undang–undang menentukan lima jenis alat bukti yang sah. Diluar ini tidak dapat
dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Jika ketentuan Pasal 183 dihubungkan
dengan jenis alat bukti yang itu terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman pidana,
apabila kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua alat bukti yang
disebut dalam Pasal 184 ayat (1). Kalau begitu, minimum pembuktian yang dapat
dinilai cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa, “sekurang-kurangnya“
atau “palng sedikit“ dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah.
Untuk Indonesia yang sekarang ternyata telah
dipertahankan oleh KUHAP Wirjono Prodjodikoro dalam buku yang berjudul Hukum
Acara Pidana di Indonesia berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasarkan
undang–undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama
memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa
untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana
orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah
jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada
patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.
Namun pada prakteknya keyakinan kehakiman
yang paling dominan dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Terutama
bagi seorang hakim yang tidak berhati–hati, atau hakim yang kurang tangguh
benteng iman dan moralnya, gampang sekali memanfaatkan system pembuktian ini
yang suatu imbalan yang diberikan terdakwa. Akan tetapi, kita sadar dimanakah
dijumpai didunia ini suatu system yang sempurna tanpa cacat? Bagaimanapun baik
atau buruknya suatu system, semuanya sangat tergantung kepada manusia yang
berada dibelakang system yang bersangkutan.
Tags
Hukum