Jika kita tengok sejarah nikah mut’ah pada masa
Rasulullah SAW, di mana ketika itu masyarakat jahiliyah tidak memberikan kepada
wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika itu lebih dianggap
sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa ajaran
Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana
mestinya.
Nikah mut’ah pernah mengkristal sebagai isu sentral dan banyak dilakoni para sahabat. Nikah ini terjadi di medan perang. Kala itu, mayoritas tentara islam adalah golongan pemuda,
yakni pria lajang yang tak sempat mengikat dirinya dengan ikatan benang kasihdi bawah atap pernikahan.
Sebagai manusia biasa, bersama gelora darah jihadnya di padang pasir untuk menancapkan syiar islam, gelora birahi mereka sebagai gejala fitrah insani juga ikut menggejolak menuntut untuk segera dipenuhi. Mereka mencoba memasung
goncangan syahwat itu dengan melakukan puasa. Tetapi karena mereka harus melakukan kontak senjata dengan
tentara musuh, maka puasa bukanlah solusi efektif untuk meredam hasrat jiwa yang menyiksa, karena fisik mereka menjadi
lemah. Kondisiini yang kemudian
mengantar ide disyariatkannya nikah mut’ah atau masyhur disebut“kawin kontrak”.
Pada zaman Rasulullah, saat itu Rasulullah
mengizinkan tentaranya yang terpisah jauh dari istrinya untuk melakukan nikah
mut’ah, dari pada melakukan penyimpangan. Namun kemudian Rasulullah
mengharamkannya ketika melakukan pembebasan kota Mekah pada tahun 8 H / 630 M.
Nikah mut’ah di awal-awal Islam dihukumi
halal lalu dinaskh (dihapus). Nikah ini menjadi haram hingga hari kiamat. Demikianlah
yang menjadi pegangan jumhur (mayoritas) sahabat, tabi’in dan para ulama
madzhab (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 99). Dari Sabroh Al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata.
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِينَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا
حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا.
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah pada saat Fathul Makkah
ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami meninggalkan Makkah, beliau
pun telah melarang kami dari bentuk nikah tersebut.” (HR. Muslim no. 1406)
Diantara perang-perang tersebut adalah perang
Khaibar, Umrah Qadha, perang Authas,Fathul Makkah, Haji Wada’ dan Perang Tabuk.
Di sanalah baginda Nabi memberikeringanan untuk nikah dengan penduduk di tempat
mereka mempertaruhkan nyawauntuk membela agama. Setelah selesai perang,
putuslah tali pernikahan itu karenakontraknya telah habis. (Yasid, 2007)
Hadits
Nabi
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kami untuk mut’ah pada masa penaklukan kota Mekkah, ketika kami
memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliauShallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengharamkannya atas kami ” HR Muslim, 9/159,(1406).
Dari Salamah bin Akwa`Radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan
dalam mut’ah selama tiga hari pada masa perang
Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian beliau melarang
kami”.HR Muslim, 9/157, (1405)
Dalam
riwayat lain dari Sabroh, ia berkata bahwa dia pernah ikut berperang bersama
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam saat penaklukan kota Mekkah. Ia
berkata,
فَأَقَمْنَا بِهَا خَمْسَ عَشْرَةَ - ثَلاَثِينَ بَيْنَ لَيْلَةٍ
وَيَوْمٍ - فَأَذِنَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ
... ثُمَّ اسْتَمْتَعْتُ مِنْهَا فَلَمْ أَخْرُجْ حَتَّى حَرَّمَهَا رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم-.
“Kami
menetap selama 15 hari (kira-kira antara 30 malam atau 30 hari). Awalnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kami untuk melakukan nikah
mut’ah dengan wanita... Kemudian aku melakukan nikah mut’ah (dengan seorang
gadis). Sampai aku keluar Mekkah, turunlah pengharaman nikah mut’ah dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 1406).
Saat
kekhalifahan Ali mulai terdapat perdebatan soal kawin mut'ah antara
Sunni dan Syiah. Sunni mengatakan, kawin mutah telah dilarang oleh Nabi
Muhammad saw pada berbagai kesempatan. Dan menurut Syiah, Nabi juga pernah
memperbolehkannya dalam berbagai kesempatan. Yang telah menjadi kesepakatan
sejarah, Umar bin Khatthab ra. saat menjabat Khalifah telah melarangnya.
Tags
Islam