Sejarah Majelis Ulama Indonesia sudah dikenal
sejak berdirinya tanggal 26 Juli 1975. MUI (Majelis Ulama Indonesia) merupakan
satu-satunya Ormas Islamyang tidak jelas statusnya, apakah statusnya sebagai
ormas murni, lembaga negaraatau semi-negara? Ketidakjelasan ini sangat terkait
dengan sejarah kelahiran MUIdan bagaimana Ormas tersebut bersinggungan dengan
kepentingan sosial-politikrezim Orde Baru yang membidani kelahirannya.
Secara legal, MUI berdiri pada 26 Juli 1975
di Jakarta dalam rangkaianacara Musyawarah Nasional ke-1 Majelis Ulama
se-Indonesia. Acara tersebutberlangsung selama 21-27 Juli 1975 di Balai Sidang
Senayan Jakarta. Secara normatif, kelahiran MUI merepresentasikan keinginan
pemerintah untuk menyatukan umat Islam. Di satu sisi, posisi ulama juga
dianggap sebagai kekuatan yang bisa menjadi faktor kunci penyelesaian berbagai
problem yang sedang dihadapi bangsa Indonesia.
Meskipun demikian, semua memahami bahwa
kelahiran MUI tidak pernah bisa dilepaskan dengan kepentingan dan agenda-agenda
politik Orde Baru saat itu. Setidaknya argumentasi ini dibenarkan oleh pidato
Soeharto sendiri pada pembukaan acara Musyawarah Nasional Ulama se-Indonesia.
Ada beberapa poin penting yang disampaikan oleh Soeharto pada saat itu terkait
dengan bagaimanaMUI harus berkiprah.
Pertama,
MUI harus mampu mewujudkan dirinya sebagai penerjemah konsep dan aktivitas
pembangunan nasional dan daerah kepada rakyat. Kedua, MUI harus mampu menjadi motor menggerakkan dan mengarahkan
masyarakat dalam proses pembangunan. Ketiga,
MUI harus bisa menjadi mediator antara pemerintah dan ulama. Keempat, ulama yang berkiprah di MUI dipandang
sebagai pejabat pemerintah yang bertindak sebagai pelindung, dan tidak boleh
beraktifitas di bidang politik.
Soeharto sangat menyadari peran sentral ulama
dalam masyarakat Indonesia. Bila ada organisasi ulama yang bisa dirangkul dan
dimainkan untuk agenda-agenda politik Orde Baru, maka ini tidak sekadar
kekuatan Islam yang bisa dirangkul, tetapi juga legitimasi rezim Orde Baru
dalam menjalankan agenda-agenda politiknya. Menurut Ahmad Zainul Hamdi, Pokok
pikiran pidato Soeharto di atas, cukup merepresentasikan bagaimana tujuan
politik pendirian MUI oleh rezim Orde Baru. “Rambu-rambu (dalam pidato
Soeharto) memberi gambaran awal tentang tujuan politis pendirian MUI, yaitu
untuk menetralisir ancaman politik umat Islam dan legitimasi keagamaan bagi
kebijakan-kebijakan rezim”.
Hamdi tentu tidak sendirian, M.B. Hooker juga
membenarkan pandangan tersebut. Profesor yang sangat konsen pada persoalan
sistem hukum di Asia Tenggara ini berpandangan bahwa, setidaknya sejak periode 1975 sampai awal 1990-an, fungsi utama
MUI tidak bergeser dari apa yang sudah dicanangkan oleh Soeharto. MUI tetap
menjadi lembaga semi-negara yang difungsikan untukmendukung dan menjustifikasi
berbagai kebijakan dan program pemerintahan Orde Baru. Selain Hooker, M. Atho
Mudzhar juga memiliki pendapat yang sama soal MUI. Menurut Mudzhar, sejak
berdiri peran MUI lebih banyak dijadikan sebagai legitimasi bagi
kebijakan-kebijakan resmi pemerintahan Orde Baru. Dalam sejarahnya, MUI tidak
pernah berdaya menenolak tekanan pemerintah. Mudzhar mengusung beberapa contoh
kasus yang menegaskan situasi MUI dalam tekanan pemerintahan Orde Baru
tersebut.
Kasus yang paling populer ada usaha MUI dalam
meredam gejolak Ulama terakit dengan penggunaan IUD (Intra Uterine Device)
sebagai teknologi yang menopang program Keluarga Berencana (KB). Sebagai
catatan, sejak pemerintahan Orde Baru mengeluarkan kebijakan KB, secara
mayoritas ulama menentang keras kebijakan tersebut karena dianggap—secara
hipotetikal—merugikan umat Islam. Pada 1971, sejumlah ulama mengeluarkan fatwa
haram penggunaan IUD haram karena pemasangannya dilakukan dengan membuka aurat perempuan.
Fatwa para ulama tersebut dikuatkan oleh fatwa MUI tahun 1979 tentang
pengharaman Vasektomi dan Tubektomi dalam Program KB.
Fatwa haram penggunaan IUD, Vasektomi, maupun
Tubektomi tentu menjadi preseden buruk bagi kesuksesan program pembangunanisme
secara keseluruhan. Atas dasar ini pula pemerintah berusaha keras mempersuasi
ulama agar mencabut fatwa tersebut. Langkah pemerintah tergolong sukses. Pada Konferensi
Nasional Ulama di Jakarta pada 1983, MUI akhirnya benar-benar merevisi fatwa
haram penggunaan IUD. Kasus ini memberikan gambaran yangmemadai bagaimana
hegemoni pemerintahan Orde Baru dengan mudah menetralisasi pandangan-pandangan
keagamaan MUI. Pada saat bersamaan, dengan mencabut fatwa keagamaan tentang
penggunaan teknologi KB, MUI sebenarnya sedang memberikan menjustifikasi bagi
program-program pemerintah Orde Baru.
Kasus lain yang tidak kalah populer adalah
sikap MUI terhadap penyelenggaraan judi lotere (Porkas) atau kemudian berubah menjadi
Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Baik Porkas maupun SDSB merupakan model
perjudian yang disponsori pemerintah Orde Baru untuk menggalang dana olah raga.
Betapapun mayoritas umat Islam menjadi costumer model judi tersebut, akan
tetapi sikap resmi umat Islam memprotes, bahkan menolak model-model judi
tersebut. Suara resmi umat Islam mengharamkan judi tersebut.
Berhadapan dengan resistensi umat Islam
tersebut, kebijakan resmi MUI hanyalah memilih diam diantara polemik yang
sedang berkembang. Sebaliknya, MUI malah membuat saluran lain untuk
melegitimasi judi Porkas. Misalnya, Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat pada masa itu,
Ibrahim Hosen, secara eksplisit menjelaskan pandangannya tentang halalnya
Porkas. Menurut ulama pakar perbandingan mazhab tersebut, Porkas tidak bisa
disamakan dengan judi dan karena itu tidak dapat diberi status haram. Meski
sikap keagamaan tersebut ditegaskan sebagai pendapat pribadi Ibrahim Hosen,
akan tetapi memperhatikan posisinya sebagai ketua Komisi Fatwa MUI, masyarakat
tetap dengan mudah menyimpulkan bahwa sikap Ibrahim Hosen merupakan sikap resmi
MUI.
Di awal dekade 1990-an, terjadi gelombang
aksi mahasiswa menentang judi SDSB. Aksi tersebut berjalan massif dan sempat
menggoncang pemerintahan Orde Baru. MUI tidak punya pilihan kecuali merespon
desakan masyarakat tersebut dengan fatwa resmi. Dan baru pada 23 November 1991,
MUI mengeluarkan fatwa bahwa judi lotere (SDSB) banyak mudharatnya dan hukumnya
haram.
Dua kasus tersebut cukup menggambarkan
bagaimana peran dan fungsi MUI benar-benar dikendalikan oleh kepentingan
politik Orde Baru. Pemerhati semisal Hooker dan Mudzhar cenderung memandang MUI
tidak berdaya menghadapi tekanan pemerintah Orde Baru, sehingga peran dan
fungsi keagamaannya direduksi menjadi pemberi legitimasi keagamaan terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah. Menurut Ahmad Zainul Hamdi, konformitas MUI terhadap kebijakan
pemerintah sebagaimana tampak pada dua kasus di atas, cenderung dilakukan
dengan dua pola. Pertama, MUI mengembangkan pola diamatau bersikap abstain
dalam sebuah kasus yang dilematis seperti judi lotere. Sikap diam atau abstain
MUI dalam kasus-kasus krusial dapat diterjemahkan sebagai dukungan pasif MUI
terhadap kebijakan bermasalah. Kedua, MUI memberi fatwa yang bersifat
supportive terhadap kebijakan pemerintah.
Demikianlah gambaran umum MUI yang senantiasa
tunduk terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru. Selama periode ini, citra MUI
tidak pernah lepas dari kebijakan-kebijakan resmi pemerintah. Sebagai lembaga
keagamaan, MUI merupakan lembaga yang dirawat oleh Orde Baru untuk kepentingan penyuksesan
program-program pembangunanisme-nya.
Tags
Islam