Sejarah etnis Cina di Indonesia sudah sangat
lama. Menurut Onghokham, salah satu sejarahwan terkemuka Indonesia, masyarakat
Tionghoa bukanlah kelompok yang homogen; mereka begitu beragam hampir seperti
kepulauan Indonesia. Masyarakat etnis Cina di Jawa datang sebagai perorangan,
atau dalam kelompok kecil, mereka tiba di sini sebalum kedatangan bangsa
Eropah. Sebagian besar kaum migran ini menyatu dengan masyarakat lokal sehingga
masyarakat etnis Cina di Jawa sekarang ini tidak lagi bisa berbicara bahasa
Mandarin. Sedangkan, di Kalimantan Barat, di Pulau Kalimantan, dan Pesisir
Timur Sumatera, masyarakat etnis Cina bermigrasi dalam kelompok besar untuk
bekerja di perkebunan dan di tambang timah. Masyarakat etnis Cina di daerah ini
tetap mempertahankan bahasa mereka. Di Sulawesi Utara dan di pulau Maluku
mereka dengan sendirinya berasimilasi dengan masyarakat likal. Selain berasal
dari daerah yang berbeda, masyarakat etnis Cina menganut beragam agama di
Indonesia, Kristen, Kataolik, Buddha, Kong Hu Cu, dan Islam.
Asal muasal kaum minoritas etnis Cina dimulai
jauh sebelum masa pemerintahan kolonial Belanda. Bangsa Belanda dan Cina adalah
bangsa pedagang dan datang kepulauan Indonesia untuk satu tujuan, yaitu
berdagang. Bangsa Cina adalah mitra dagang bangsa Belanda sejak pertama
berdirinya Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) dan keduanya tidak pernah
kehilangan posisi perantara tersebut. Walaupun begitu, bukan berarti bahwa
hubungan keduanya selalu mulus. Sejatinya, pembunuhan massal pertama terhadap
warga etnis Cina terjadi di Batavia (sebutan untuk Jakarta di masa kolonial) pada
tahun 1970, yang dilakukan oleh beberapa orang Belanda yang tinggal di kota.
Setelah peristiwa itu, Belanda memberlakukan kebijakan pemisahan ras yang
resmi.
Warga etnis Cina harus tinggal di pemukiman
yang diperuntukan bagi ras mereka, yang dapat ditemukan di semua kota, dan
mereka diwajibkan mempunyai serat izin untuk melakukan perjalanan ke pemukiman
etnis Cina di kota yang berbeda. Sistem ghetto yang membatasi mobilitas fisik
keturunan etnis Cina ini baru dicabut tahun 1905.
VOC memilah penduduk di kepulauan Indonesia
menjadi tiga kelompok untuk tujuan administrasi yaitu golongan Eropah, golongan
Timur Asing, dan golongan bumiputera. Sistem tersebut merupakan embrio dari apa
yang dikenal sebagai sisten apartheid di Afrika Selatan. Dan sekarang ini
dianggap kelas terendah di dunia kita sekarang. Dengan demikian, suatu
kekeliruan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa sikap pilih kasih Belanda
membantu warga etnis Cina terangkat keposisi ekonomi yang kuat seperti
sekarang.
Sentimen anti etnis Cina yang kuat muncul di
antara para pejabat kolonial Belanda. Hal itu sangat kentara di bawah kebijakan
etnis tahun 1900 yang dibuat untuk mendorong kepentingan penduduk pribumi. Para
pejabat kolonial Belanda secara keliru merasa bahwa mereka harus melindungi
penduduk pribumi terhadap warga etnis Cina yang licik. Namun, hal ini dan
praktek-praktek diskriminatif lainnya tidak berarti bahwa warga ernis Cina
hidup makmur dibawah sistem kolonial.
Kekayaan secara tradisional dikumpulkan
melalui pemerintah di kepulauan Indonesia. Pada abad ke-19, warga etnis Cina
diberi keistimewaan untuk menanam dan memperdagangkan candu (opium) dan
menjalankan usaha rumah gadai sebagai imbalan atas pembayaran pajak yang besar
yang harus pribumi. Perkebunan umumnya dikuasai oleh para kepala desa yang
sebagian diwariskan pemiliknya biasanya. Pedagang besar karena status
kedekatannya dengan pemerintah berarti bahwa mereka beserta agennya dapat
pengecualian dari pembatasan perjalanan yang dikenakan kepada anggota
masyarakat etnis Cina. Sistem ini mendorong perkembangan kapitalisme etnis
Cina.
Warga etnis Cina sebagai mitra dagang Belanda
terkena Undang-Undang kepemilikan dan usaha Belanda. Dari awal abad ke-20
mereka juga terkena Undang-undang keluarga Belanda. Undang-undang ini memberi
warga etnic Cina keamanan pada transaksi dagang mereka yang mana hal ini tidak
didapat di bawah undang-undang adat yang diterapkan oleh para petinggi dan
pengusaha Indonesia saat itu. Perlindungan yang diberikan oleh Undang-undang
Barat dan posisi mereka sebagai padagang menempatkan kelompok etnis Cina jauh
dari jangkauan sentimen keji dari para pejabat Belanda yang konon lebih buruk
daripada antietnis Cina yang dilakukan oleh pemerintah kolonial lain di zaman
itu seperti Inggris dan Prancis. Sering dikatakan bahwa negara-negara yang baru
merdeka menceminkan masa lalu penjajah terakhir mereka, yang agaknya cukup menjelaskan
sentimen anti-etnis Cina yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah Indonesia
sekarang ini.
Kebijakan anti-etnis Cina dari penjajah
membangkitkan apa yang dinamai “gerakan etnis Cina“ di Jawa yang bertujuan
mambebaskan masyarakat etnis Cina dengan tuntutan bahwa pembatasan terhadap
gerakan anggota komunitas mereka dihapuskan, kesetaraan penuh di hadapan hukum
dan pembentukan sekolah untuk etnis Cina.Gerakan tersebut merupakan gerakan
emansipasi pertama yang dihadapi oleh Belanda dari subjek jajahannya. Gerakan
tersebut tidak bersifat anti-penjajahan. Gerakan tersebut hanya mencari hak-hak
bagi kelompok etnis Cina di Hindia Belanda dan bukan berbicara atas nama
kelompok Bumiputera atau kelompok etnis lainnya dimana pun, gerakan politik dan
sosial cenderung untuk mempertahankan sifat segregasi dari masyarakat penjajah
yang menciptakan mereka, menyeruakan satu kelompok etnis saja sampai tahun
1900, sebagaian besar tuntutan warga etnis Cina dipenuhi dan sekolah Tionghoa –Belanda
(HFC) diluncurkan oleh pemerintah kolonial Belanda, bahkan beselum sekolah
Bumiputera- Belanda (HIS) diluncurkan.
Ketika pemerintah mencabut larangan
perjalanan yang membatasi warga etnis Cina pada 1905, masyarakat usaha etnis
Cina keluar dari ghetto mereka dan semakin berkompetisi dengan kelompok
wirausaha dari etnis Jawa. Serikat Dagang Islam (1909) dibentuk sebagai
tanggapan tantangan terhadap perkembangan ini, dan berlanjut menjadi gerakan massa sosial dan politik pertama di
Hindia Belanda. Kerusuhan anti-etnis Cina yang terjadi pada tahun 1918 di
Kudus, Jawa Tengah, mendapat dukungan penuh dari kaum borjuis Jawa dan Islam.
Pemicunya adalah arak-arakan warga ernis Cina yang menyinggung kaum Muslim,
namun peristiwa tersebut terjadi berlatar persaingan kelas menengah yang sedang
terjadi.
Semua partai politik Indonesia juga eksklusif
hanya mengakui warga Indonesia. Bahkan, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
didirikan oleh Soekarno pada tahun 1926 mengakui warga etnis Cina hanya sebagai
pengamat. Pengecualian terhadap eksklusivitas ini adalah Perhimpunan Hindia
yang diprakarsai oleh Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Ki Hajar
Dewantara yang menerima kelompok etnis lainnya sebagai anggota. Sebagai
anggapan atas tidak diikutsertakan dalam percaturan kekuatan politik, para
profesional etnis Cina yang mendukung Indonesia membentuk partai Tionghoa
Indonesia (PTI) pada tahun 1930.
Dalam arti yang luas, itulah situasi ketika
pasukan Kekaisaran Jepang menginvasi Indonesia pada tahun 1942 dalam Perang
Dunia ke II. Baru setelah invasi Jepang kekerasan massa anti-etnis Cina meletus
untuk kedua kalinya. Daerah yang paling terkena adalah pesisir utara Jawa
dimana sasarannya terutama rumah dan toko milik warga etnis Cina kaya. Sejarah
Indonesia sejak Perang Dunia ke II penuh dengan kekerasan debandingkan dengan
negara-negara tetangga dekatnya seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan
Filipina. Tetapi, selama masa revolusi menentang Belanda, tidak semua kekerasan
ditujukan kepada warga etnis Cina. Sasarannya mencakup ras Eurosia, Maluku, dan
elit tradisional. Satu-satunya abti etnis Cina yang mencolok selama masa
revolusi terjadi di Tangerang, barat Jakarta.
Tahun 1950-an menyaksikan diperkenalkan kebijakan
yang diskriminatif terhadap warga etnis Cina, termasuk “kebijakan benteng” yang
mencoba mendorong naiknya kelas usaha Indonesia, yang kemudian melarang
perdagangan dan pemukiman etnis Cina asing di pedesaan. Selama awal tahun
1960-an, keadaan ekonomi negeri sangat memburuk dan warga etnis Cina menjadi
pion dalam permainan catur politik Perang Dingin. Beberapa kerusuhan di kota
dengan sasaran warga etnis Cina terjadi pada masa ketidakpastian tahun
1965/1966, meskipun kebanyakan kekerasan tersebut ditujukan kepada para
tersangka anggota komunis.
Serangan dan serangan balasan dari pasukan
pro dan antikomunis menimbulkan pergolakan sosial dan politik yang serius di
Indonesia, yang oleh banyak ahli dari luar negeri disalahtafsirkan sebagai
pembantaian sebagai warga etnis Cina. Kesalahpahaman ini mungkin muncul sebagai
akibat pengenaan larangan terhadap banyak aspek kehidupan dan budaya warga
etnis Cina yang dikeluarkan oleh pemerintah pada waktu yang hampir bersamaan.
Di antara aspek budaya etnis Cina yang dinyatakan ilegal adalah drama (bukan
film), perayaan umum, dan memperlihatkan huruf Tionghoa. Gerakan mendorong
warga etnis Cina untuk menggunakan nama lokal juga diluncurkan bersamaan dengan
pengekangan kebudayaan etnis Cina.
Di bawah pemerintahan rezim Orde Baru,
ketegangan antara warga etnis Cina dan wargan Indonesia asli tumbuh akibat
jurang yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin di Indonesia, birokrat
pemerintah, militer dan polisi bergaji rendah. Selain itu, di saat masyarakat
Indonesia semakin dekat ke agama Islam, warga etnis Cina mencari ketenangan
spritual ke agama Kristen dan Buddha. Peristiwa kekerasan selama pemerintahan
Orde Baru bersifat rasial dan agama.
Onghokham juga mengatakan bahwa kerusuhan
anti-etnis Cina baru-baru ini di Jakarta terjadi akibat kecemburuan dan
sentiment ras. Masyarakat etnis Cina menunjukan kreatifitas mereka dan mencapai
kebehasilan ekonomi, meskipun posisi mereka di masyarakat kurang populer. Fakta
keunggulan di bidang ekonomi ini adalah menjamurnya toko-toko milik warga etnis
Cina di sepanjang jalan-jalan utama di semua kota di Indonesia.
Tags
Negara-Negara