Pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah
salah satu fungsi pokok rumah sakit. Rumah sakit adalah pelayanan kesehatan
tingkat dua (Secondary Health Services) sehingga pelayanannya bersifat lanjutan
(rujukan dari Puskesmas, dsb), dan diperlukan tenaga spesialis. Rumah sakit
memberikan pelayanan kesehatan perorangan. Pelayanan jamkesmas menempatkan pesertanya
di ruang inap kelas III. Asumsi masyarakat adalah peserta jamkesmas
dianaktirikan dalam pelayanan di rumah sakit. Hal tersebut di atas sebenarnya
tidak benar karena sasaran pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah setiap
orang mendapat pelayanan medik yang bermutu. Setiap orang, tanpa memandang
latar belakang, status sosial ekonomi. Jika pada kenyataannya terjadi
diskriminasi terhadap peserta jamkesmas, maka hal ini adalah penyimpangan.
Pelayanan jamkesmas di rumah sakit bisa optimal jika semua tenaga kesehatan di
rumah sakit memenuhi standar yang telah ditetapkan, termasuk aspek kepuasan
pasien.
Hal yang perlu diperhatikan dalam rangka
merealisasikan hal ini adalah adanya perumusan kebijakan yang disusun dengan
partisipasi peserta jamkesmas itu sendiri serta adanya mekanisme pengendalian
dan pengawasan dan evaluasi serta follow up. Perumusan kebijakan dengan
partisipasi pengguna jamkesmas misalnya terjadi masalah dengan pasien yang
tidak bisa tidur di ruang kelas III karena alasan tertentu yang logis dan tidak
dibuat-buat.
Padahal hak jamkesmas adalah ruang kelas III.
Maka kebijakan rumah sakit seyogyanya diputuskan tidak sepihak, melainkan
bersama pasien. Demikian juga administrasi jamkesmas, hendaknya mekanisme
pengurusan pembayaran dengan jamkesmas dibicarakan dengan penggunanya. Maka di
sini kita perlu perwakilan dari pengguna jamkesmas dalam penentuan kebijakan
bersama rumah sakit. Perlu ada organisasi yang mengakomodasi suara pengguna jamkesmas.
Pengendalian dan pengawasan pelayanan jamkesmas di rumah sakit berguna untuk
mengetahui sejauh mana hak pengguna jamkesmas dipenuhi (terutama dari segi
keramahtamahan petugas). Pengawasan juga bisa berupa penulusuran apakah para
pengguna jamkesmas yang telah pulang dari rumah sakit benar-benar kembali untuk
kontrol sesuai surat kontrol entah itu di puskesmas atau kembali ke rumah
sakit. Kemudian evaluasi harus diiringi dengan tindak lanjut dalam rangka
merespon hasil evaluasi tersebut.
Rumah sakit sendiri sering kali terbentur
pada keterbatasan seperti kekurangan sarana prasarana, kekurangan dokter
spesialis. Oleh karena itu pelayanan jamkesmas di rumah sakit dipengaruhi pula
oleh mutu rumah sakit tersebut. Untuk itu, cakupan derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya bukan semata tercover dalam seratus persen cakupan penduduk
miskin (jamkesmas) yang terlayani. Terlayaninya pasien dengan jamkesmas perlu
dievaluasi dengan sejauh mana standar pelayanan diberikan oleh rumah sakit.
Tuntutan masyarakat adalah optimalnya
pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit. Demikian pula pelayanan yang
diberikan kepada pengguna jamkesmas harus optimal dari segi mutu. Pada dasarnya
pengguna jamkesmas bukannya gratis, akan tetapi mereka membayar melalui PT
Askes Indonesia.
Perlu sekali memanusiakan para pengguna
jamkesmas jika masih ada petugas kesehatan yang menganggap rendah pengguna
jamkesmas. Rumah sakit juga harus memikirkan aspek efisiensi, standar, dan kualitas
pelayanan kesehatan agar kenaikan biaya pelayanan kesehatan dapat dikendalikan
sehingga premi tidak meningkat tahun demi tahun, yang akan memberatkan
masyarakat Contoh penggunaan yang tidak efisien adalah pembelian cairan infus.
Misalnya seorang pasien diresepi tiga flatboat infus dan ternyata yang terpakai
hanya dua. Sisa satu yang tidak terpakai kadang terbengkalai begitu saja di
kamar pasien kemudian dibuang oleh petugas kebersihan. Kasus serupa misalnya
ketika perawat mengetahui kondisi pasien sudah membaik atau boleh pulang,
cairan infuse yang habis tetap diteruskan sehingga kemudian ketika saatnya
pulang infuse dihentikan/di lepas dalam keadaan baru terpakai sedikit (sisa
yang dibuang sedemikian banyak/ hampir masih tiga perempat).
Rumah sakit sebagai penyedia layanan
kesehatan meliputi dimensi peningkatan, pencegahan, pengobatan, dan
pemeliharaan kesehatan. Yang terjadi terhadap pengguna jamkesmas pada umumnya
adalah belum optimalnya perawatan yang diterima dan minusnya aspek pencegahan
dan peningkatan kesehatan. Diharapkan rumah sakit berperan dalam upaya pencegahan
penyakit dan peningkatan kesehatan pasien. Misalnya dengan konsultasi kesehatan
bagi pasien pemegang jamkesmas atau tindakan yang memegang prinsip sterilitas
agar mencegah timbulnya penyakit yang lebih parah.
Kepuasan pasien jamkesmas di rumah sakit akan
turut meningkatkan mutu rumah sakit tersebut. Sebab kepuasan klien adalah
keberhasilan pelayanan kesehatan. Optimalisasi pelayanan kesehatan para pasien jamkesmas
akan mendorong kemajuan suatu rumah sakit. Peningkatan derajat kesehatan orang
miskin secara tidak langsung memberi jalan untuk mempertinggi produktivitas
mereka sehingga pada akhirnya tercapai kemandirian dalam pembiayaan dan
kesadaran kesehatan. Dampaknya bagi rumah sakit adalah semakin tingginya
kemampuan membayar masyarakat sehingga dapat mensejahterakan petugas kesehatan
di rumah sakit. Dampak lainnya adalah citra positif yang akan menumbuhkan
kepercayaan masyarakat bahwa rumah sakit negeri bukan rumah sakit tidak
bermutu. Dampak secara tidak langsung dari kesadaran untuk hidup sehat dari
pasien jamkesmas adalah tingginya upaya kesehatan yang dilakukan masyarakat.
Ini artinya keberhasilan rumah sakit dalam meningkatkan akses dan
keterjangkauan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan serta peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan perorangan.
Demikianlah pengoptimalan pelayanan kesehatan
di rumah sakit bagi pasien jamkesmas akan meningkatkan mutu rumah sakit
tersebut sekaligus mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.
Definisi Pelayanan Kesehatan
Mutu pelayanan adalah suatu pelayanan yang
diberikan kepada pasien oleh tenaga kesehatan secara professional dengan
empati, respek serta tanggap akan kebutuhan pasien untuk meningkatkan derajat
kesehatan pasien sesuai dengan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan standar yang
berlaku. Sedangkan kepuasan adalah suatu keadaan dimana keinginan, harapan dan
kebutuhan terpenuhi. Dengan memberikan pelayanan yang bermutu dapat
meningkatkan kepuasan pelanggan.
Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan adalah salah satu unsur
penting dalam organisasi jasa. Hal ini disebabkan oleh kualitas pelayanan
merupakan salah satu alat yang digunakan untuk mengukur kinerja organisasi jasa
(Hope dan Muhlemann, 1997). Oleh karena itu, kualitas pelayanan harus mendapat
perhatian yang serius dari manajemen organisasi jasa. Untuk menetapkan kualitas
pelayanan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi jasa, terlebih dahulu
organisasi tersebut harus mempunyai tujuan yang jelas.
Berbagai definisi diberikan para ahli
terhadap kualitas pelayanan. Parasuraman et. al (1988) mengartikan kualitas
sebagai suatu bentuk sikap, berhubungan namun tidak sama dengan kepuasan, yang
merupakan hasil dari perbandingan antara harapan dengan kinerja aktual. Namun
kualitas pelayanan dan kepuasan dibentuk dari hal yang berbeda. Selanjutnya
disebutkan bahwa pengertian yang paling umum dari perbedaan kualitas pelayanan
dan kepuasan adalah bahwa kualitas pelayanan merupakan satu bentuk sikap,
penilaian dilakukan dalam waktu lama, sementara kepuasan merupakan ukuran dari transaksi
yang spesifik. Perbedaan antara kualitas pelayanan dan kepuasan mengarah pada
cara diskonfirmasi yang dioperasionalkan. Dalam mengukur kualitas pelayanan
yang dibandingkan adalah apa yang seharusnya didapatkan, sementara dalam
mengukur kepuasan yang diperbandingkan adalah apa yang pelanggan mungkin
dapatkan (Parasuraman, et al., 1998).
Menurut Ovreveit (dalam Ester Saranga, 2000)
kualitas dalam jasa kesehatan terdiri dari kualitas konsumen (yang berkaitan
dengan apakah pelayanan yang diberikan sesuai dengan yang dikehendaki pasien),
kualitas professional (yang berkaitan apakah pelayanan yang diberikan memenuhi kebutuhan
pasien sesuai dengan yng didiagnosa oleh para professional), dan kualitas
manajemen (yang berkaitan dengan apakah jasa yang diberikan dilakukan tanpa
pemborosan dan kesalahan, pada harga yang terjangkau, dan memenuhi
peraturan-peraturan resmi dan peraturan lainnya).
Dari berbagai pendapat tentang kualitas
pelayanan di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi kualitas pelayanan secara
umum adalah bahwa kualitas harus memenuhi harapan-harapan pelanggan dan
memuaskan kebutuhan mereka. Namun demikian meskipun definisi ini berorientasi
pada konsumen, tidak berarti bahwa dalam menentukan kualitas pelayanan penyedia
jasa harus menuruti semua keinginan konsumen. Dengan kata lain, dalam menetapkan
kualitas pelayanan, perusahaan harus mempertimbangkan selain untuk memenuhi
harapanharapan pelanggan, juga tersedianya sumberdaya dalam perusahaan.
Penilaian Kualitas Pelayanan
Banyak penelitian yang telah dilakukan oleh
para ahli dalam upaya untuk menemukan definisis penilaian kualitas.
Parasuraman, at al.(1985;1988) mendefinisikan penilaian kualitas pelayanan
sebagai pertimbangan global atau sikap yang berhubungan dengan keunggulan
(superiority) dari suatu pelayanan (jasa). Dengan kata lain, penilaian kualitas
pelayanan adalah sama dengan sikap individu secara umum terhadap kinerja
perusahaan. Selanjutnya mereka menambahkan bahwa penilaian kualitas pelayanan
adalah tingkat dan arah perbedaan antara persepsi dan harapan pelanggan.
Penilaian kualitas pelayanan didasarkan pada lima dimensi kualitas yaitu
tangibility, reliability, responsiveness, assurance dan emphety. Tangibility,
meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi.
Reliability, yaitu kemampuan perusahan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan
dengan tepat waktu dan memuaskan. Responsiveness, yaitu kemampuan para staf
untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
Assurance, mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang
dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Dan terakhir
Emphety, mencakup kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami
kebutuhan para pelanggan.
Parasuraman, Berry, dan Zeithalm (1985),
mendefinisikan kualitas pelayanan (perceived service quality) sebagai
perbandingan antara harapan dan persepsi pelanggan terhadap pelayanan yang
diberikan. Definisi ini telah diterima dan digunakan secara luas dan umum.
Menurut
Parasuraman et. Al (1988), ada lima gap yang memungkinkan kegagalan penyampaian
jasa.
- Gap antara harapan konsumen dan persepsi manajemen. Gap ini muncul apabila manajemen tidak merasakan atau mengetahui dengan tepat apa yang diinginkan oleh para pelanggannya.
- Gap antara persepsi manajemen dan spesifikasi kualitas jasa. Gap ini bisa terjadi apabila manajemen mungkin mampu merasakan atau mengetahui secara tepat apa yang dibutuhkan pelanggannya, tetapi tidak menyusun standar kerja yang harus dicapai.
- Gap antara spesifikakasi kualitas penyampaian jasa. Hal ini bisa terjadi apabila standar standar yang ditetapkan manajemen saling bertentangan sehingga tidak dapat dicapai. Misalnya karyawan diminta untuk harus meluangkan waktu mendengarkan keluhan pelanggan dan melayani mereka dengan cepat.
- Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal. Gap ini bisa terjadi apabila apa yang dikomunikasikan (dipromosikan) perusahaan kepada pihak luar berbeda dengan kondisi nyata yang dijumpai pelanggan pada perusahaan tersebut.
- Gap antara jasa yang dipersepsikan dan jasa yang diharapkan. Gap ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja perusahaan dengan cara yang berbeda dan salah dalam mempersepsikan kualitas jasa tersebut.
Tags
Rumah Sakit