Ada beberapa metode penetapan harga. Secara
garis besar metode penetapan harga dapat dikelompokkan menjadi empat kategori
utama yaitu: metode penetapan harga berdasarkan permintaan, berdasarkan biaya, bersarkan
laba dan berdasarkan persaingan (Kotler & Amstrong, 2001).
Berikut metode penetapan harga menurut Kotler
& Amstrong (2001):
Metode Penetapan Harga
Berdasarkan Permintaan
Metode
ini lebih menekankan faktor-faktor yang mempengaruhi selera dan preferensi pelanggan daripada faktor-faktor
seperti biaya, laba dan persaingan. Permintaan pelanggan sendiri berdasarkan
pada berbagai pertimbangan diantaranya adalah:
- Kemampuan pelanggan untuk membeli (daya beli)
- Kemampuan pelanggan untuk membeli
- Posisi suatu produk dalam gaya hidup pelanggan, yakni menyangkut apakah produk tersebut merupakan simbol status atau hanya produk yang digunakan sehari-hari.
- Manfaat yang diberikan produk tersebut kepada pelanggan
- Harga produk
- Pasar potensial bagi produk tersebut.
- Sifat persaingan non-harga
- Perilaku konsumen secara umum.
- Segmen-segmen dalam pasar.
Paling sedikit ada tujuh metode penetapan
harga yang termasuk dalam metode penetapan harga berdasarkan permintaan, yaitu skiming pricing, penetration pricing,
prestige pricing, price lining pricing, odd-even pricing, demand-backward
pricing and bundle pricing.
Skiming pricing. Strategi ini diterapkan
dengan jalan menetapkan harga tinggi bagi suatu produk baru atau inovatif
selama tahap perkenalan, kemudian menurunkan harga tersebut pada saat persaingan mulai ketat. Strategi
ini baru bisa berjalan dengan baik bila konsumen tidak sensitif terhadap harga,
tetapi lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan kualitas, inovasi dan
kemampuan produk tersebut dalam memuaskan kebutuhannya. Bila segmen pasar yang
tidak sensitive terhadap harga ini telah terpuaskan (dilayani dengan baik),
maka perusahaan akan menurunkan harganya untuk menarik segmen pasar lainnya
yakni segmen yang lebih sensitif terhadap harga modifikasi produk.
Penetration pricing. Dalam
strategi ini perusahaan berusaha memperkenalkan suatu produk baru dengan harga
rendah dengan harapan akan dapat memperoleh volume penjualan yang besar dalam
waktu yang relatif singkat. Selain itu strategi ini juga bertujuan untuk
mencapai skala ekonomis dan mengurangi minat dan kemampuan pesaing, karena
harga yang rendah menyebabkan marjin yang diperoleh tiap perusahaan menjadi
terbatas.
Prestige pricing. Harga
dapat digunakan oleh pelanggan sebagai ukuran kualitas atau prestise suatu barang/jasa. Dengan
demikian bila harga diturunkan sampai tingkat tertentu, maka permintaan
terhadap produk tersebut akan turun. Prestige
pricing merupakan strategi menetapkan tingkat harga yang tinggi sehingga
konsumen yang peduli dengan statusnya akan tertarik dengan produk dan kemudian membelinya.
Produk-produk yang sering dikaitkan dengan prestige
pricing antara lain permata, berlian, parfum, poerselin, limoosin, jaket
kulit dan lainnya. Produk-produk tersebut malah akan sulit laku bila dijual
dengan harga murah.
Price-lining pricing. Digunakan
apabila perusahaan menjual produk lebih dari satu jenis. Harga untuk lini
produk tersebut bisa bervariasi dan diterapkan pada tingkat harga tertentu yang
berbeda. Misalnya harga lini produk kamar hotel untuk room rate pada tahun 1998
ditetapkan pada tingkat harga standar Rp 65.000,- sampai dengan super deluxe Rp
100.000,-
Odd-even pricing. Bila
kita masuk ke supermarket sering kali kita menemui barang yang ditawarkan
dengan harga yang ganjil, misalnya Rp 2.975,- dan Rp 9.975,- . pertanyaan yang
bisa muncul adalah bukankah harga-harga tersebut sebenarnya sama Rp 3000,- dan
Rp 10.000,- ? Apalagi saat ini sulit untuk mencari uang kembalian Rp5,- dan Rp25,-
bahkan sering sekali diganti dengan permen. Harga-harga tersebut ditetapkan
dengan metode odd-even pricing yakni
harga yang besarnya mendekati jumlah genap tertentu. Masih banyak kelompok
kosumen yang menganggap bahwa harga Rp 9.975,- masih dibawah Rp10.000,- artinya
bila dibayar dengan Rp10.000,- masih ada kembalian.
Demand-backward pricing. Perusahaan
memperkirakan suatu tingakat harga yang bersedia dibayar oleh konsumen untuk
produk-produknya yang relative mahal seperti halnya shopping good. Kemudian perusahaan yang bersangkutan menentukan
marjin yang harus dibayarkan kepada wholesaler
dan retailer. Setelah itu barulah
harga jualnya dapat ditentukan. Jadi proses ini belajar kebelakang sehingga
istilahnya disebut demand-backward pricing.
Berdasarakan suatu target harga tertentu, kemudian perusahan menyesuaikan
kualitas komponen-komponen produknya. Dengan kata lain, produk didesain
sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi target harga yang ditetapkan.
Bundle-pricing.
Merupakan strategi pemasaran dua atau lebuh produk dalam satu harga paket.
Misalnya agen perjalanan menawarkan paket liburan yang menyangkut transportasi,
akomodasi dan kosumsi. Bundle-pricing
didasarkan pada pandangan bahwa konsumen lebih menghargai nilai paket tertentu
secara keseluruhan dari pada nilai masing-masing item secara individual.
Strategi ini memberikan manfaat besar bagi pembeli dan penjual. Pembeli dapat
menghemat biaya total sedangkan penjual dapat
menekan biaya pemasaran.
Metode Penetapan Harga
Berdasarkan Biaya
Dalam metode ini faktor penentu harga yang
utama adalah aspek penawaran atau biaya, bukan aspek permintaan. Harga
ditentukan berdasarkan biaya produksi dan pemasaran yang ditambah dengan jumlah
tertentu sehingga dapat menutupi biaya-biaya langsung, overhead dan laba.
Standart markup pricing.
Dalam standart markup pricing harga ditentukan dengan jalan menambahkan
persentase tertentu dari biaya pada semua item dalam suatu kelas produk. Metode
ini banyak diterapkan di supermarket dan toko-toko eceran yang menawarkan banyak
lini produk. Persentase markup
bervariasi bsarnya, tergantung pada toko eceran (pakaian, grosir, atau
furniture ) dan jenis produk yang dijual. Biasanya produk-produk perputarannya
tinggi dikenakan markup yang lebih
kecil dibandingkan produk-produk yang tingkat perputarannya rendah.
Cost plus percentage of cost pricing.
Banyak perusahaan manufaktur, arsitektural dan kontruksi yang menggunakan
berbagai variasi standart markup pricing. Dalam cost
plus percentage of cost pricing, perusahaan menambahkan persentase tertentu
terhadap biaya produksi atau kontruksi. Metode ini sering kali digunakan untuk
menentukan harga suatu item atau hanya beberapa item. Misalnya suatu perusahaan
arsitektur menetapkan tarif sebesar 15%
dari biaya kontruksi sebuah rumah sebesar Rp 100.000.000,- dan tariff arsitek
15% dari biaya kontruksi (Rp 15.000.000,-) maka harga akhirnya sebesar Rp
115.000.000,-
Cost
plus fixed fee pricing. Metode ini banyak
diterapkan pada produk-produk yang sifatnya sangat teknikal seperti sewa mobil,
pesawat atau satelit. Dalam strategi ini pemasok atau produsen akan mendapatkan
ganti atas semua biaya yang dikeluarkan, berapapun besarnya, tetapi produsen
tersebut hanya memperoleh bayaran tertentu sebagai laba yang besarnya
tergantung pada biaya final proyek tersebut yang disepakati bersama. Misalnya
Singapura menyepakati untuk membayar PT. Satelit Indonesia seharga biaya
peluncuran satelit SSI dan pembayaran
(fee) sebesar 200 milyar rupiah. Bila kemudian biaya peluncuran membengkak
hingga mencapai tiga trilyun rupiah, maka pembayaran yang diterima PT. Satelit
X sebesar 200 milyar rupiah.
Experience curve pricing.
Metode ini dikembangkan atas dasar konsep efek belajar (learning effect) yang menyatakan bahwa unit biaya barang dan jasa akan
menurun antara 10% hingga 30% untuk peningkatan sebesar dua kali lipat pada
pengalaman perusahaan tersebut dinyatakan dalam volume produksi dan penjualan.
Berdasarkan konsep ini biaya rata-rata per unit dapat diperkirakan secar
matematis, misalnya perusahaan meramalkan biayanya akan menurun sebesar 15%
setiap kali terjadi peningkatan volume produksi sebesar dua kali lipat. Dengan
demikian biaya produksi dan penjualan unit ke 100 akan sebesar 85% dari biaya
unit ke 50 dan seterusnya. Strategi ini banyak diterapkan pada
perusahaan-perusahaan elektronik, misalnya tape recorder, laser disk, compact
disk dan sebagainya.
Metode Penetapan Harga Berdasarkan Laba
Metode ini berusaha menyeimbangkan penetapan
biaya dalam penetapan harganya. Upaya ini dapat dilakukan atas dasar target
volume laba spesifik atau dinyatakan dalam bentuk persentase terhadap penjualan
atau investasi.
Target profit pricing.
Target profit pricing umunya berupa ketetapan atas besarnya target laba tahunan
yang dinyatakan secara spesifik.
Target return on sales pricing.
Dalam metode ini, perusahaan menetapkan tingkat harga tertentu yang dapat
menghasilkan laba dalam persentase tertentu terhadap volume penjualan. Biasanya
metode ini banyak digunakan oleh jaringan-jaringan supermarket.
Target return on investment pricing.
Dalam metode ini perusahaan menetapkan besarnya suatu target ROI tahunan.
Kemudian harga ditentukan agar dapat mencapai target ROI tersebut.
Metode Penetapan Harga
Berdasarkan Pesaing
Selain berdasarkan pertimbangan biaya,
permintaan atau laba, hara juga dapat ditetapkan atas dasar persaingan, yaitu
menurut apa yang dilakukan pesaing. Metode penetaan harga berbasis persaingan
terdiiri atas empat macam yaitu Custmary
pricing, above , at, or below market pricing , loss leader pricing dan
sealed leader pricing.
Customary pricing. Metode ini digunakan untuk
produk yang harganya ditentukan oleh faktor-faktor seperti tradisi, saluran
distribusi yang terstandarisasi, atau faktor persaingan lainnya. Penetapan
harga yang dilakukan berpegang teguh pada tingkat harga tradisional. Perusahaan
berusaha untuk tidak mengubah harga diluar batas-batas yang diterima. Untuk itu
perusahaan menyesuaikan ukuran dan isi produk guna mempertahanan harga.
Above , at, or below market pricing. Umumnya
sangat sulit untuk mengidentifikasi harga pasar spesifik untuk suatu produk
atau kelas produk tertentu. Oleh karena itu sering kali ada perusahaan yang
menggunakan pendekatan subjektif dalam memperkirakan harga pesaing atau harga
pasar. Berdasarkan patokan subjektif tersebut, kemudian perusahaan secara
cermat memilih strategi penetapan harga yang berada diatas, sama, atau dibawah
harga pasar.
loss leader pricing.
Kadangkala untuk keperluan promosi khusus, ada perusahaan yang menjual suatu
produk dibawah biaya produksinya. Tujuannya bukan untuk meningkatkan penjualan
produk yang bersangkutan, tetapi untuk menarik konsumen khususnya yang ber-markup tinggi. Jadi suatu produk
dijadikan semacam penglaris agar produk lainnya laku. Produk penglaris tersebut
biasanya dipromosikan dengan dasar persediaan terbatas “ selama persediaan
masih ada” atau ” hanya untuk 100 pelanggan pertama”. Penetapan harga penglaris
(loss leader pricing) merupakan alat
untuk mempromosikan pengecer dan bukan produknya, sehingga ada pula produsen
yang tidak sukabila produk-produknya dijadikan penglaris.
Sealed
leader pricing. Metode ini menggunakan sistem penawaran
harga dan biasanya melibatkan agen pembelian. Jadi bila ada perusahaan atau
lembaga yang ingin membeli suatu produk, maka yang bersangkutan menggunakan
jasa agen pembelian untuk menyampaikan spesifikasi produk yang dibutuhkan kepda
calon produsen diminta untuk menyampaikan harga penawarannya untuk kuantitas
yang dibutuhkan. Harga penawaran tersebut harus diajukan untuk jangka waktu
tertentu, kemudian diadakan semacam lelang untuk menentukan penawaran terendah
yang memenuhi syarat untuk melaksanakan kontrak pembelian.
Tags
Ekonomi