Konsep
Emotional Quotient (EQ) Daniel Goleman dalam Pandangan Islam . Paradigma
kecerdasan modern secara periodik mengalami progresifitas yang cukup
menggembirakan. Di awal abad 20 ditemukan konsep kecerdasan intelektual
(Intelectual Question) yaitu bahwa kecerdasan seseorang bisa dilihat dari hasil
tes atau yang di kenal dengan istilah School Aptitude Test (SAT) dan
menghasilkan kesimpulan bahwa Tinggi rendahnya IQ menentukan cerah buramnya
masa depan seseorang. Namun paradigma ini nampaknya harus tergeser ketika fakta
menunjukkan bahwa IQ tinggi ternyata bukan jaminan bahwa seseorang bisa
bersikap dan bertindak secara cerdas.
IQ merupakan kecerdasan umum yang bersifat
mendasar. Kesuksesan disini dapat diartikan dengan kesuksesan hidup. Dengan
logika bahwa orang pintar akan sukses dalam hidupnya, padahal belum tentu
karena kesuksesan juga harus diimbangi dengan bekerja keras serta berusaha. Mungkin
seseorang itu pandai dalam studinya, tetapi belum tentu pandai dalam hubungan
dengan sesamanya (disebut dengan aspek afektif atau perasaan), bagaimana dia
menjalin, memahami orang lain, bagaimana dia bersikap. Dengan demikian akan
muncul lagi yang namanya EQ (emotional quotient). (Iswara, 2003)
Semakin canggihnya modus kriminalitas yang
melibatkan orang-orang ber-IQ tinggi adalah bukti runtuhnya teori IQ sebagai
paradigma menilai kecerdasan seseorang apalagi sebagai landasan analisa masa
depan. Kemudian muncul teori Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient) yang mengacu
pada kesadaran diri untuk memahami dan mengendalikan emosi. Kemampuan memahami
dan mengendalikan emosi akan sangat menentukan berfungsi dan tidaknya
Intelectual Question. Sebagaimana seorang pandai cerdik, berpendidikan tinggi
terbukti membunuh karena tak kuasa menahan emosi amarahnya. Belum usai
kekaguman terhadap temuan EQ kini muncul kecerdasan yang ketiga yaitu
kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient) dengan basis utama adalah kesadaran
jiwa (The Soul conciusness) untuk mendengarkan suara hati nurani bahkan dikatakan
sebagai The Ultimate Intellegence. (Fauzi, 2004)
Kajian ini membawa berita gembira di kalangan
pendidik Islam. Artinya dengan demikian, bahwa seharusnya sistem pendidikan di
negara kita menekankan juga unsur spiritual. Tidak semata-mata kajian yang
mengasah otak tapi juga emosi dan spiritual. (Syukur, 2004)
Istilah ketiga ini dipopulerkan oleh pasangan
suami istri (psikolog) Zohar dan Ian Marshall (2000). Teori tentang kecerdasan
diatas adalah baru bagi dunia modern dan sekaligus kebutuhan mendesak bagi
masyarakat modern yang mengalami Split Personality. Namun tidak bagi Islam.
Sebab ketiga kecerdasan (IQ, EQ dan SQ) merupakan bagian dari khazanah lama yang
terpendam. Seorang guru besar bidang Psikologi di Universitas Kairo Mesir,
Najati (2002) mengatakan bahwa masalah EQ dan SQ menjadi bagian tak terpisahkan
dari ajaran Islam.
Merujuk pada sebuah hadits Nabi Muhammad SAW
bahwa “orang yang cerdas adalah orang yang menghinakan dirinya dan beramal demi
hidup setelah mati. Sedangkan orang bodoh adalah yang mengikuti hawa nafsunya
dan banyak berangan-angan kepada Allah” ini menunjukan bahwa sebuah interaksi
sosial (horizontal) harus dibangun dengan tetap melekatkan dimensi ketuhanan
(vertikal). Sehingga kecerdasan seseorang pada akhirnya ditentukan oleh
kemampuannya untuk mengambil keputusan secara tepat, cepat dan akurat. Secara
emosional, hal ini berarti kemampuan untuk memaknai tindakan yang akan, sedang
dan yang telah diambil. Makna dari sebuah tindakan secara mendasar berhubungan
dengan kemampuan menentukan definisi kebutuhan. Secara umum manusia memiliki
dua kebutuhan yaitu kebutuhan fisiologis dan kebutuhan ruh atau jiwa. Dua kebutuhan
inilah yang merupakan bangunan insan kamil.
Terwujudnya keseimbangan antara fisik dan ruh
pada manusia merupakan keniscayaan untuk mencapai kepribadian harmonis yang menikmati
kesehatan jiwa, yaitu jiwa yang oleh al-Quran dinamakan sebagai jiwa yang
tenang (Nafsu Al Muthma’innah). Pemilik jiwa yang tenang akan mampu
memperhatikan kebutuhan fisiologis dengan jalan yang halal serta memenuhi
kebutuhan ruh dengan berpegang teguh pada tauhid, mendekatkan diri pada Allah
dengan amal shaleh baik vertikal maupun horisontal serta mampu melepaskan diri
dari jebak bujuk rayu Syaithan. Untuk mencapai kecerdasan hakiki, hidup bersama
dan berdasar fithrah dengan tingkat tawazunitas pemenuhan kebutuhan fisiologis
dan spiritual adalah kemutlakan. Seseorang dituntut selalu dapat mengendalikan
kesadaran fisiologisnya, yaitu penguasaan dan kontrol terhadap motif-morif
dasar manusia. Islam tidak berkehendak untuk mengebiri motif dasar manusia, Islam
hanya mengajak untuk mengatur dan mengontrol pemenuhannya, mengarahkannya
dengan bimbingan yang benar serta memperhatikan kemaslahatan individu dan
masyarakat. Begitu juga kecerdasan ruhani adalah mengikatkan diri dengan sang
Khaliq dan membiarkannya bertahta dalam hati. (Fauzi, 2004)
Kekuatan spiritual adalah personifikasi dari
kebersihan hati dan keyakinan yang kuat akan suprioritas Allah atas hamba-Nya.
Dengan perjanjian primordial (Tauhid) dan ketaatan akan perintah serta
kesanggupan untuk menjauhi larangannya merupakan jalan lempang menuju jiwa yang
bertaqwa. Jiwa yang mampu menghadapi ujian, kuat menahan rasa sakit, tidak
takut akan kematian dan tabah menapaki terjal dan curamnya jalan perjuangan
hidup. Inilah jiwa yang tidak lagi memandang berdasar mata telanjang melainkan
dengan mata hati dan mampu melihat dibalik penampakan. Jiwa yang tercerahkan
karena kerelaan untuk menemui dirinya dan Tuhannya. Pada akhirnya proses kecerdasan
emosi yang didapat karena keberhasilan melepaskan diri dari jebakan setan dan
kecerdasan sosial ketika menjalin hubungan sosial dengan ketulusan cinta bukan
berdasar balas jasa berpuncak pada satu titik tertinggi yaitu kecerdasan
spiritual dan damai bersama ridha Allah. Maka ketika prilaku merupakan refleksi
dari keberimanan, maka sikap ikhlas dan kebergantungan pada Allah akan menyertainya.
Lebih dari itu keberimanan akan menyucikan
jiwa dari kegelisahan, merangsang ketenangan dari kegundahan dan menyingkap
kedamaian dari kecemasan. Kepribadian yang harmonis dan paduan dari tiga
kecerdasan dalam formatnya yang paling sempurna ada pada diri Rasulullah Saw.
Beliau hidup dengan ketulusan dan kelemah-lembutan, ketegasan dibalik kesantunan,
ketulusan dalam kesucian dan keakraban dalam keseharian merupakan panorama akhlaq
yang terpuji. Inilah yang seharusnya menjadi arah dan orientasi dari setiap
pendidikan dan proses dalam kehidupan ini.
Karena itulah, dalam konteks emosi, agar tak
terjerumus pada sikap tak terpuji, lagi-lagi kita menaruh agenda penting:
bagaimanakah membawa kecerdasan kepada emosi; dan sebaliknya, memasukkan emosi
ke wilayah kecerdasan?
Sebenarnya, dengan paradigma kecerdasan
emosional (EQ), emosi kita hendak dikendali, disadari, dikelola, dimotivasi,
dan bahkan diarahkan kepada kecerdasan: Pertama, melalui pengenalan diri
terhadap emosi kita terlebih dahulu. Ajaran filusuf Socrates “kenalilah dirimu”
jelas menunjukkan inti kecerdasan emosional pada diri kita. Dan jangan kaget
jika ada hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya: “barang siapa yang mengenali
dirinya (emosi, pen.), maka ia benar-benar mengenali Tuhannya”, sebenarnya juga
bisa merujuk pada segi kecerdasan emosional. (Sukidi, 2002: 44)
Kedua, emosi tertentu saja tidak cukup sekedar
untuk dikenali, tetapi lebih lanjut perlu juga disadari eksistensi kehadirannya
dalam mempengaruhi kehidupan emosional. Goleman sendiri menggunakan wacana
kesadaran diri (self-awarenes) untuk memberikan porsi perhatian pikiran
terhadap situasi dan kondisi emosi, sementara itu ahli-ahli psikologi
menggunakan istilah yang sedikit agak rumit, yakni metakognisi untuk menyebut
kesadaran tentang proses berpikir dan metamood untuk melukiskan adanya
kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. (Sukidi, 2002)
Memang, dengan menyadari sesadar-sadarnya
kehadiran eksistensi emosi ini, kita tak lagi dikuasai atau diperbudak oleh
emosi (nafsu) kita, tetapi justru sebaliknya inilah poin Ketiga, kita
diharapkan lebih bisa mengelola, menguasai, dan bahkan mengendalikan emosi,
yang menurut kearifan orang Yunani kuno diberi nama sophrosyne, yakni
“hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan; keseimbangan dan kebijaksanaan
emosi yang terkendali”. Banyak ajaran agama juga mengajarkan agar bisa mengendalikan
emosi,. Istilahnya orang-orang Romawi dan gereja Kristen kuno adalah
temperentia (“kendali diri”), yakni kearifan diri untuk mengendalikan emosi.
(Sukidi, 2002)
Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan
bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara
selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang
manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar
mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya
dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan
sehari-hari.
John Mayer, seorang psikolog dari University
of New Hampshire, mendefinisikan EQ secara lebih sederhana. Menurut Mayer, EQ
adalah kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan cara mengendalikan emosi
diri sendiri. Sementara Goleman mendefinisikan EQ secara lebih luas, termasuk
optimisme, kesadaran, motivasi, empati dan kompetensi dalam melakukan hubungan
sosial. Bagi Mayer, traits (kecenderungan) tersebut lebih merupakan
kecenderungan kepribadian. Hal tersebut juga didukung oleh Edward Gordon, yang
mengatakan bahwa EQ lebih banyak berhubungan dengan kepribadian dan mood
(suasana hati) yang tidak dapat diubah. Menurut Gordon, perbaikan kemampuan
analisis dan kemampuan kognitif, adalah cara terbaik untuk meningkatkan kinerja
para pekerja.
Menanggapi kritikan tersebut, Goleman
mengatakan bahwa kemampuan kognitif mengantarkan seseorang ke "pintu gerbang
suatu perusahaan", tetapi kemampuan emosional membantu seseorang untuk
mengembangkan diri setelah diterima bekerja dalam sebuah perusahaan. Harvard
itu mengkirik kecerdasan EQ. Menurut keduanya-berdasarkan analisis selama
beberapa tahun- mereka menemukan kecerdasan baru yang namanya spiritual. Hal
ini diperkuat lagi dengan kajian Michael Persinger serta temuan dari Prof. V.S.
Ramachandran yang menunjukkan dalam diri manusia ada alat yang bisa merasakan
nuansa mistik. Alat itu dinamakan god spot. Oleh Marshall dan Zohar, alat
tersebut lebih dimaknai secara material. Dan keduanya menolak kecerdasan
spiritual dikaitkan dengan agama tertentu. (e-Psikologi.com, 2000)
Stein dan Howard E. Book, (2002: 37-39)
menyebutkan, bahwa kecerdasan emosional bukanlah prestasi yang berhubungan
dengan jenis kinerja tertentu, seperti rapor sekolah. EQ bukanlah minat
terhadap suatu bidang pekerjaan tertentu, yang memusatkan alamiah atau
kegemaran seseorang terhadap bidang pekerjaan tertentu dan EQ bukan pula kepribadian,
yakni serangkaian sifat unik yang membantu membentuk sifat seseorang, daya
tahan dan kemandirian dalam berfikir, merasakan dan berperilaku. Kepribadian
merupakan konsep yang seringkali dicampurkan dengan EQ. Padahal keduanya
memiliki perbedaan yang mendasar.
Kecerdasan emosional mencakup ketrampilan
yang dinamis jangka pendek yang srategis yang dapat diotak-atik sesuai dengan
tuntutan keadaan. Oleh karena itu, EQ dapat dikembangkan melalui pendidikan,
pelatihan dan pengalaman.
Selanjutnya Howes dan Herald (1999)
mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat
seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa
emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang
tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan
emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri
sendiri dan orang lain. Goleman (1997), mengatakan bahwa koordinasi suasana
hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai
menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati,
orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih
mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih
lanjut
Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan
dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta
mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan
emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Tags
Emosi Manusia