Inilah kisah nikah Mut’ah mantan akhwat syi’ah
Bandung. Semoga akhwat ini adalah pasien trakhir dari perzinahan nikah mut’ah,
semoga kita tidak mengikuti dan dapat diambil hikmah dari kisah nyata berikut.
Untuk
kedua kalinya wanita itu pergi ke dokter Hanung, seorang dokter spesialis kulit
dan kelamin di kota Bandung. Sore itu ia datang sambil membawa hasil
laboraturium seperti yang diperintahkan dokter dua hari sebelumnya.
Sudah
beberapa Minggu dia mengeluh merasa sakit pada waktu buang air kecil (drysuria)
serta mengeluarkan cairan yang berlebihan dari vagina (vagina discharge).
Sore
itu suasana di rumah dokter penuh dengan pasien. Seorang anak tampak menangis
kesakitan karena luka dikakinya, kayaknya dia menderita Pioderma. Disebelahnya
duduk seorang ibu yang sesekali menggaruk badannya karena gatal. Di ujung kursi
tampak seorang remaja putri melamun, merenungkan akne vulgaris (jerawat) yang
ia alami.
Ketika
wanita itu datang ia mendapat nomor terakhir. Ditunggunya satu per satu pasien
yang berobat sampai tiba gilirannya. Ketika gilirannya tiba, dengan mengucap
salam dia memasuki kamar periksa dokter Hanung. Kamar periksa itu cukup luas
dan rapi. Sebuah tempat tidur pasien dengan penutup warna putih. Sebuah meja
dokter yang bersih. Dipojok ruang sebuah wastafel untuk mencuci tangan setelah
memeriksa pasien serta kotak yang berisi obat-obatan.
Sejenak
dokter Hanung menapat pasiennya. Tidak seperti biasa, pasiennya ini adalah
seorang wanita berjilbab rapat. Tidak ada yang kelihatan kecuali sepasang mata
yang menyinarkan wajah duka. Setelah wawancara sebentar (anamnese) dokter
Hanung membuka amplop hasil laboratorium yang dibawa pasiennya.
Dokter
Hanung terkejut melihat hasil laboratorium. Rasanya ada hal yang mustahil. Ada
rasa tidak percaya terhadap hal itu. Bagaimana mungkin orang berjilbab yang
tentu saja menjaga kehormatannya terkena penyakit itu, penyakit yang hanya
mengenai orang yang sering berganti-ganti pasangan seksual.
Dengan
wajah tenang dokter Hanung melakukan anamsese lagi secara cermat.
Dokter
: “Saudari masih kuliah?”
Akhwat
: “Masih Dok”
Dokter
: “Semester berapa?”
Akhwat:
“Semester tujuh Dok”
Dokter
: “Fakultasnya?”
Akwat
: “Sospol”
Dokter
: “Jurusan komunikasi massa ya?”
Kali
ini ganti pasien terkahir itu yang kaget. Dia mengangkat muka dan menatap dokter
Hanung dari balik cadarnya.
Akwat
: “Kok dokter tahu?”
Dikter
: “Aah,…….. tidak, hanya barang kali saja!”
Pembicaraan
antara dokter Hanung dengan pasien terakhirnya itu akhirnya seakan-akan beralih
dari masalah penyakit dan melebar kepada persoalan lain yang sama sekali tidak
ada hubungannya dengan masalah penyakit itu.
Dokter
: “Saudari memang penduduk Bandung ini
atau dari luar kota?”
Pasien
terkahirnya itu tampaknya mulai merasa tidak enak dengan pertanyaan dokter yang
mulai menyimpang dari masalah-masalah medis itu. Dengan jengkel dia menjawab.
Akhwat
: “Ada apa sih Dok …. Kok tanya macam-macam?”
Dokter
: “Aah enggak,… barangkali saja ada
hubungannya dengan penyakit yang saudari derita!”
Pasien
terkahir itu tampaknya semakin jengkel dengan pertanyaan dokter yang
kesana-kemari itu. Dengan agak kesal ia menjawab:
Akhwat
: “Saya dari Pekalongan”
Dokter
: “Kost-nya?”
Akhwat
: “Wisma Fathimah, jalan Alex Kawilarang
63”
Dokter
: “Di kampus sering mengikuti kajian islam yaa”
Akwat
: “Ya, … kadang-kadang Dok!”
Dokter
: “Sering mengikuti kajian Bang Jalal?” Sekali
lagi pasien itu menatap dokter Hanung.
Akhwat
: “Bang Jalal siapa?” Tanyanya dengan
nada agak tinggi.
Dokter
: “Tentu saja Jalaluddin Rahmat! Di
Bandung siapa lagi Bang Jalal selain dia… kalau di Yogya ada Bang Jalal Muksin”
Akhwat:
“Ya,…. kadang-kadang saja saya ikut”
Dokter
: “Di Pekalongan,… (sambil seperti
mengingat-ingat) kenal juga dengan Ahmad Baraqba?”
Pasien
terakhir itu tampak terkejut dengan pertanyaan yang terkahir itu, tetapi dia
segera menjawab
Akhwat
: “Tidak! Siapa yang dokter maksudkan
dengan nama itu dan apa hubungannya dengan penyakit saya?”
Pasien
terakhir itu tampak semakin jengkel dengan pertanyaan-tanyaan dokter yang
semakin tidak mengarah itu. Tetapi justru dokter Hanung manggut-manggut dengan
keterkejutan pasien terakhirnya. Dia menduga bahwa penelitian penyakit
pasiennya itu hampir selesai.
Akhirnya
dengan suara yang penuh dengan tekanan dokter Hanung berkata,
“Begini saudari, saya minta maaf atas
pertanyaan-pertanyaan saya yang ngelantur tadi, sekarang tolong jawab
pertanyaan saya dengan jujur demi untuk therapi penyakit yang saudari derita,…”
Sekarang
ganti pasien terakhir itu yang mengangkat muka mendengar perkataan dokter
Hanung. Dia seakan terbengong dengan pertanyaan apa yang akan di lontarkan oleh
dokter yang memeriksanya kali ini.
Dokter
: “Sebenarnya saya amat terkejut dengan
penyakit yang saudari derita, rasanya tidak mungkin seorang ukhti mengidap
penyakit seperti ini”
Akhwat:
“Sakit apa Dok?”.
Pasien
terakhir itu memotong kalimat dokter Hanung yang belum selesai dengan amat
penasaran.
Dokter
: “Melihat keluhan yang anda rasakan
serta hasil laboratorium semuanya menyokong diagnosis gonore, penyakit yang
disebabkan hubungan seksual”.
Seperti
disambar geledek perempuan berjilbab biru dan berhijab itu, pasien terakhir dokter
Hanung sore itu berteriak,
Akhwat
: “Tidak mungkin!!!”
Dia
lantas terduduk di kursi lemah seakan tak berdaya, mendengar keterangan dokter
Hanung. Pandang matanya kosong seakan kehilangan harapan dan bahkan seperti tidak
punya semangat hidup lagi.
Sementara
itu pembantu dokter Hanung yang biasa mendaftar pasien yang akan berobat tampak
mondar-mandir seperti ingin tahu apa yang terjadi. Tidak seperti biasanya
dokter Hanung memeriksa pasien begitu lama seperti sore ini.
Barangkali
karena dia pasien terakhir sehingga merasa tidak terlalu tergesa-gesa maka
pemeriksaannya berjalan agak lama. Tetapi kemudian dia terkejut mendengar jerit
pasien terakhir itu sehingga ia merasa ingin tahu apa yang terjadi.
Dokter
Hanung dengan pengalamannya selama praktek tidak terlalu kaget dengan reaksi
pasien terakhirnya sore itu. Hanya yang dia tidak habis pikir itu kenapa
perempuan berjilbab rapat itu mengidap penyakit yang biasa menjangkiti
perempuan-perempuan rusak.
Sudah
dua pasien dia temukan akhir-akhir ini yang mengidap penyakit yang sama dan
uniknya sama-sama mengenakan busana muslimah. Hanya saja yang pertama dahulu
tidak mengenakan hijab penutup muka seperti pasien yang terakhirnya sore hari
itu.
Dulu
pasien yang pernah mengidap penyakit yang seperti itu juga menggunakan pakaian
muslimah, ketika didesak akhirnya dia mengatakan bahwa dirinya biasa kawin
mut’ah. Pasiennya yang dahulu itu telah terlibat jauh dengan pola pikir dan
gerakan Syi’ah yang ada di Bandung ini.
Dari
pengalaman itu timbul pikirannya menanyakan macam-macam hal mengenai
tokoh-tokoh Syi’ah yang pernah dia kenal di kota Kembang ini dan juga kebetulan
mempunyai seorang teman dari Pekalongan yang menceritakan perkembangan gerakan
Syi’ah di Pekalongan.
Beliau
bermaksud untuk menyingkap tabir yang menyelimuti rahasia perempuan yang ada
didepannya.
Dokter
: “Bagaimana saudari,… penyakit yang
anda derita ini tidak mengenali kecuali orang-orang yang biasa berganti-ganti
pasangan seks. Rasanya itu tidak mungkin terjadi pada seorang muslimah seperti
diri anda. Kalau itu masa lalu saudari baiklah saya memahami dan semoga dapat
sembuh, bertaubatlah kepada Allah, … atau mungkin ada kemungkinan lain,…?”
Pertanyaan
dokter Hanung itu telah membuat pasien terakhirnya mengangkat muka sejenak,
lalu menunduk lagi seperti tidak memiliki cukup kekuatan lagi untuk
berkata-kata. Dokter Hanung dengan sabar menanti jawaban pasien terakhirnya
sore itu. Beliau beranjak dari kursi memanggil pembantunya agar mengemasi
peralatan untuk segera tutup setelah selesai menangani pasien terakhirnya itu.
Akhwat
: “Saya tidak percaya dengan perkataan
dokter tentang penyakit saya!” katanya terbata-bata.
Dokter
: “Terserah saudari,… tetapi toh anda tidak dapat memungkiri kenyataan yang
anda sandang-kan?”
Akhwat
: “Tetapi bagaimana mungkin mengidap penyakit laknat tersebut sedangkan saya
selalu berada di dalam suasana hidup yang taat kepada hukum Allah?”
Dokter
: “Sayapun berprasangka baik demikian
terhadap diri anda,… tetapi kenyataan yang anda hadapi itu tidak dapat
dipungkiri?”
Sejenak
dokter dan pasien itu terdiam. Ruang periksa itu sepi. Kemudian terdengar suara
dari pintu yang dibuka pembantu dokter yang mengemasi barang-barang peralatan
administrasi pendaftaran pasien. Pembantu dokter itu lantas keluar lagi dengan
wajah penuh dengan tanda tanya mengetahui dokter Hanung yang menunggui pasien
terakhirnya itu.
Dokter
: “Cobalah introspeksi diri lagi,
barangkali ada yang salah,… sebab secara medis tidak mungkin seseorang mengidap
penyakit ini kecuali dari sebab tersebut”.
Akhwat
: “Tidak dokter,… selama ini saya benar-benar hidup secara baik menurut
tuntunan syari’at islam,… saya tetap tidak percaya dengan analisa dokter!”.
Dokter
Hanung mengerutkan keningnya men-dengar jawaban pasien terakhirnya itu.
Dia
tidak merasa sakit hati dengan perkataan pasiennya yang berulang kali
mengatakan tidak percaya dengan analisanya. Untuk apa marah kepada orang sakit.
Paling juga hanya menambah parah penyakitnya saja, dan lagi analisanya toh
tidak menjadi salah hanya karena disalahkan oleh paiennya.
Dengan
penuh kearifan dokter itu bertanya lagi….“Barangkali anda biasa kawin mut’ah?”
Pasien
terakhir itu mengangkat muka.
Akhwat
: “Iya dokter!” “Apa maksud dokter?”
Dokter
: “Itukan berarti anda sering kali ganti pasangan seks secara bebas!”
Akhwat
:“Lho,… tapi itukan benar menurut syari’at Islam Dok!” Pasien terakhir itu
membela diri
Dokter
: “Ooo,… jadi begitu,… kalau dari tadi anda mengatakan begitu saya tidak
bersusah payah mengungkapkan penyakit anda. Tegasnya anda ini pengikut Syi’ah
yang bebas berganti-ganti pasangan mut’ah semau anda. Ya itulah petualangan
seks yang anda lakukan. Hentikan itu kalau anda ingin selamat”.
Akhwat
: “Bagaimana dokter ini, saya kan hidup secara benar menurut syari’at Islam
sesuai dengan keyakinan saya, dokter malah melarang saya dengan dalih-dalih medis”.
Sampai
disini dokter Hanung terdiam.
Sepasang
giginya terkatup rapat dan dari wajahnya terpancar kemarahan yang sangat
terhadap perkataan pasien terakhirnya yang tidak punya aturan itu. Kemudian
keluarlah perkataan yang berat penuh tekanan.
Dokter
: “Terserah apa kata saudari membela diri,…. Anda lanjutkan petualangan seks
anda. Dengan resiko anda akan berkubang dengan penyakit kelamin yang sangat
mengerikan itu, dan sangat boleh jadi pada suatu tingkat nanti anda akan
mengidap penyakit AIDS yang sangat mengerikan itu,…..atau anda hentikan dan
bertaubat kepada Allah dari mengikuti ajaran bejat itu kalau anda menghendaki
kesembuhan”.
Akhwat:
“Ma…maaf Dok, saya telah membuat dokter tersinggung!”
Dokter
Hanung hanya mengangguk menjawab perkataan pasien terakhirnya yang terbata-bata
itu.
“Begini
saudari,…tidak ada gunanya resep saya berikan kepada anda kalau toh tidak
berhenti dari praktek kehidupan yang selama ini anda jalani. Dan semua dokter
yang anda datangi pasti akan bersikap sama,…sebab itu terserah kepada saudari.
Saya tidak bersedia memberikan resep kalau toh anda tidak mau berhenti”.
Akhwat
: “Ba…BBaik Dok,…Insya Allah akan saya hentikan!”
Dokter
Hanung segera menuliskan resep untuk pasien yang terakhirnya itu, kemudian
menyodorkan kepadanya.
Akhwat:
“Berapa Dok?”
Akhwat
: “Tak usahlah,…saya sudah amat
bersyukur kalau anda mau menghentikan cara hidup binatang itu dan kembali
kepada cara hidup yang benar menurut tuntunan yang benar dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Saya relakan itu untuk membeli resep saja”.
Pasien
terakhir dokter Hanung itu tersipu-sipu mendengar jawaban dokter Hanung.
Akhwat
: “Terimah kasih Dok,…permisi!”
Perempuan
itu kembali melangkah satu-satu di peralatan rumah Dokter Hanung. Ia berjalan
keluar teras dekat bougenvil biru yang seakan menyatu dengan warna jilbabnya.
Sampai
digerbang dia menoleh sekali lagi ke teras, kemudian hilang di telan keramaian
kota Bandung yang telah mulai temaran di sore itu.
"Dan tidaklah Kami
menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri." ... (QS. Az-Zukhruf : 43)
Sumber
:
Buku
Mengapa Kita Menolak Syi’ah, Hal.254-256, dikutip dari ASA edisi 5, 1411 H.
haulasyiah.wordpress.com
Tags
Islam
luar biasa dokternya...
BalasHapus