Fungsi-fungsi EQ menurut konsep Daniel
Goleman dalam Pandangan Islam yang
diuraikan sebagai berikut:
Kesadaran diri
Mengetahui apa yang dirasakan pada suatu
saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri;
memilik tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang
kuat. (Goleman, 2003)
Kesadaran diri emosional sangat penting untuk
mencapai keberhasilan apapun peran kita. Kesadaran diri adalah pondasi penting
bagi kecerdasan emosional karena orang tidak akan bisa mengubah hal yang tidak
disadari, dan kesadaran diri adalah langkah awal untuk mengubah perilaku yang
dapat membuat kita dikucilkan.
Untuk melakukannya, kita harus menyadari dulu
perasaan kita dan dampaknya terhadap orang lain; jika tidak, kita tidak akan
berhasil membangun hubungan pergaulan yang penting. Lebih jauh lagi, tanpa kesadaran-diri,
kita tidak akan mampu menyadari kapan kita merasa stres, kita akan melemahkan
kemampuan kemampuan yang mungkin kita miliki untuk berempati, dan kita akan
mengabaikan kemampuan kita untuk berkomunikasi lisan dengan cara yang simpatik
dengan orang lain. (Stein, 2003: 83)
Kekuatan fitrah manusia yang membuat manusia
cenderung kepada kebenaran, memiliki kesempatan untuk berbuat baik dan menolak semua
jenis keburukan. Akan tetapi karena di dalam diri manusia juga sekaligus
terdapat unsur materi, kecenderungan untuk beradaptasi dengan lingkungan buruk
juga merupakan realitas alamiah seorang manusia. Untuk itu, fitrah sebagai
sebuah kekuatan ptensial agar tumbuh dan berkembang kearah yang benar membutuhkan
pendidikan dan pengajaran. Sebagaimana manusia memiliki kesiapan fitri untuk mengetahui
kebenaran dan berbuat baik, karena pengaruh kondisi lingkungan keluarga dan
sosial yang tidak baik, kesiapan fitri itu juga potensial padam atau terhapus,
lalu ia condong kepada kebatilan dan kejahatan. Dalam sebuah hadits qudsi Allah
berfirman: “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif
(lurus) semuanya. Dan sesungguhnya mereka didatangi oleh setan yang menyebabkan
mereka tersesat dari agama mereka”. (HR. Muslim), (Najati, 2003)
Pengaturan diri
Menangani emosi yang sedemikian sehingga berdampak
positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda
kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan
emosi.
Hal ini berarti menguasai dan mengontrol
motif-motif dasar. Islam tidak menyerukan untuk mengebiri motif-motif dasar,
Islam hanya mengajak untuk mengatur dan mengontrol pemenuhannya, mengarahkannya
dengan bimbingan yang benar serta memperhatikan kemaslahatan individu dan
masyarakat. Al-Qur'an dan sunnah Nabi menyerukan dua macam pengaturan dalam
upaya memenuhi motif-motif dasar dengan cara pemenuhan motif lewat jalan halal,
misalnya untuk kebutuhan seksual, hanya diperbolehkan lewat pernikahan dan memenuhi
kebutuhan fisiologis dan ruhaniah secara tidak berlebihan. Dalam mempraktekkan
kedua hal tersebut titik tekan yang diberikan adalah dengan cara mengendalikan
kebiasaan-kebiasaan buruk dan mempercantik hidup dengan akhlaq al-karimah.
(Najati, 2003: 11)
Motivasi
Menggunakan
hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran,
membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan untuk
bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. (Goleman, 2003: 514)
Dalam haditsnya, Rasullah Saw. menjelaskan
bahwasannya Allah menciptakan manusia semuanya di atas agama yang hanif
(lurus). Artinya, Ia menciptakan manusia dengan memiliki kesiapan fitrah untuk
mengenal, beriman, bertauhid, dan beribadah kepada Allah Swt. Namun setan
mempengaruhi dan menjauhkan mereka dari jalan yang benar yang ditunjukkan oleh
fitrah yang suci. Setan juga menyesatkan mereka dengan syirik kepada Allah,
menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.
(Najati, 2003)
Dengan modal kehanifan ruhaniah manusia,
Rasulullah Saw. selalu memotivasi sahabat-sahabatnya untuk berlomba-lomba dalam
takwa kepada Allah dan ber-taqarrub kepada-Nya dengan ibadah dan amal saleh.
Kebanyakan manusia biasanya cenderung berlomba-lomba tentang dunia dan hal fana
yang ada di dalamnya. Mereka berlomba-lomba mengumpulkan harta, memiliki tanah
dan rumah, mengejar popularitas dan pangkat, mengendalikan posisi dan kedudukan
di masyarakat dan lain-lain perkara dalam kehidupan dunia. Karena itu, Rasulullah
Saw. mengingatkan kaum muslimin untuk tidak berlomba-lomba dalam hal keduniaan
sebab itu termasuk persaingan yang tercela yang dapat menimbulkan iri dan benci
di dalam jiwa, melepaskan tali ukhuwah dan ikatan cinta di antara kaum muslimin,
menjauhkan mereka dari zikrullah dan melemahkan semangat jihad, dakwah di jalan
Allah dan meninggikan kalimat-Nya.
Pada suatu hari Rasulullah Saw. keluar, lalu
beliau melaksanakan sholat mayit terhadap para syuhada Uhud. Bersamaan dengan peringatan
itu, Rasulullah Saw. juga memotivasi mereka untuk berlomba-lomba dalam takwa dan
taqarrub kepada Allah dengan amal saleh demi meraih ridha-Nya. Beliau bersabda:
“Tak ada perlombaan diantara kalian kecuali dalam dua perkara. Pertama: seorang
laki-laki yang dianugerahi Al-Qur'an oleh Allah. Ia selalu membacanya di malam
dan siang hari serta mengikuti isinya. Lalu seorang laki-laki berkata,
seandainya Allah memberikan padaku apa yang telah Dia anugerahkan pada si
fulan, maka aku akan melakukan apa yang ia lakukan. Kedua: seseorang yang
dianugerahi harta oleh Allah lalu ia menginfakkann dan menyedekahkannya. Lalu seorang
laki-laki berkata, seandainya Allah menganugerahiku apa yang telah ia
anugerahkan kepada si fulan, maka aku akan bersedekah”. (HR. Ahmad), (Najati,
2003)
Empati
Merasakan yang dirasakan oleh orang lain,
mampu memahami persepektif mereka, menumbuhkan hubungan dengan bermacam-macam
orang. (Goleman, 2003: 514)
Rasulullah Saw. selalu memperhatikan
perbedaan tingkat kecerdasan di antara manusia seperti dalam sabdanya: “Kami
sekalian nabi diperintahkan untuk mendudukkan manusia menurut posisi mereka dan
berbicara kepada mereka menurut kadar akal masing-masing”. (HR. Abu Dawud)
Hadits di atas mengandung isyarat yang jelas
akan perbedaan potensi akal diantara manusia. Inilah yang harus diperhatikan
oleh orang-orang yang bertugas membimbing dan mengajarkan mereka baik para nabi,
da’i, pengajar, konselor, maupun para pendidik. Mereka berbicara dan mengajar
setiap orang sesuai dengan tingkat kemampuan akalnya. Kecerdasan itu adalah
anugerah dari Allah Swt. kepada hamba-Nya. Rasulullah Saw. bersabda: “Barang
siapa yang Allah menginginkan kebaikan kepadanya, Dia akan memahamkan agama
baginya. Dan hanya sanya aku ini hanya pembagi, sedang Allah pemberi”. (HR.
Al-Syaikhani, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Rasulullah Saw. mendudukkan diri sebagai
“pembagi” dan bertugas membagi dan menjelaskan syariat kepada manusia.
Sedangkan Allah memberi pemahaman kepada setiap orang dari mereka sesuai dengan
kehendak-Nya. Barang siapa yang Allah menginginkan kebaikan baginya, maka Dia
memberikannya kecerdasan dan pemahaman guna mendalami agama (tafaqquh fi
al-din). “Allah menganugerahkan al-Hikmah kepada siapa yang dikehendaki. Dan
barang siapa yang dianugerahi al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi
karunia yang banyak”. (QS. Al-Baqarah [2]: 269), (Najati, 2003: 49-50)
Ketrampilan sosial
Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan
dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial;
berinteraksi dengan lancar; menggunakan ketrampilan-ketrampilan ini untuk
mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan
untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim. (Goleman, 2003: 514)
Dalam Islam salam yang dilafalkan menjadi
Asslamu’alaikum Warahmatullahiwabarakatuh terkandung sebuah harapan yang sungguh-sungguh
untuk mendapatkan keselamatan dan berkah. Ada sebuah sinergi yang akan
terbangun apabila salam tersebut diucapkan dari lubuk hati. Ketika salam itu mendapat
respons (Wasslamu’alaikum Warahmatullahiwabarakatuh), berarti ada sebuah
kepercayaan yang terbangun dalam sebuah interaksi tersebut. Ada sebuah kontrak
sosial yang tercipta melalui salam yang diberkahi Allah. Ini merupakan sebuah
modal yang sangat mahal dalam sebuah proses kehidupan sosial, apalagi di tengah
krisis kepercayaan yang melanda kehidupan saat ini. (Najati, 2003)
Kemampuan untuk mengenal dan memilah-milah
perasaan, memahami hal yang sedang dirasakan dan mengapa hal itu dirasakan, dan
mengetahui penyebab munculnya perasaan tersebut. Kesadaran diri yang sangat
rendah dialami penderita alexithimia (tidak mampu mengungkapkan parasaan secara
lisan). (Stein dan Howard E. Book: 73)
Kesadaran diri emosional adalah fondasi
tempat dibangunnya hampir semua unsur kecerdasan emosional, langkah awal yang
penting untuk menjelajahi dan memahami diri, dan untuk berubah. Sasaran kesadaran diri emosional bukanlah
untuk menganalisis emosi habis-habisan, untuk menekannya secara tidak wajar,
atau untuk menghilangkannya sama sekali. Kita semua tahu adakalanya bersikap tidak
pantas. Juga tidak akan terbebas dari perasaan yang tidak menyenangkan; semua
itu wajar-wajar saja setelah kita mengalami kekecewaan, mendapat teguran, atau
kehilangan. Hanya saja harus berusaha dengan sebaik-baiknya untuk tetap
menyadari perasaan dan mengapa kita merasakannya sehingga tidak mudah
dikemudikan oleh kekuatan internal atau terperosok dalam perilaku yang merusak
diri. Menyadari diri secara emosional bermanfaat untuk berjaga-jaga, untuk mengantisipasi.
(Elias, dkk, 2004)
Tags
Emosi Manusia