Dampak kemiskinan terhadap pendidikan sangat
besar. Pemerintah telah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun sebagai gerakan
nasional. Dan masyarakat sangat mendukung mengikuti proses pendidikan dan
pembelajaran hingga batas yang diwajibkan tetapi, ketika harus berhadapan
dengan masalah pendanaan, masyarakat mengalami kesulitan. Program tersebut
sangat menyentuh masyarakat, bahkan pada lapisan terbawah di masyarakat.
Tetapi, program tersebut masih belum terlaksana sebagaimana mestinya sebab
masih banyak orang miskin yang kesulitan mengikuti program tersebut. Kesulitan
utamanya mengenai biaya pendidikan.
Kemiskinan merupakan faktor utama penyebab
masyarakat merasa kesulitan dalam melaksanakan program wajib belajar 9 tahun,
sehingga banyak anak-anak yang tidak sekolah bahkan putus sekolah. Realita tersebut
dapat dilihat masih banyak anak-anak jalanan yang mengamen dan meminta-minta di
setiap lampu merah atau perempatan jalan di 11 kota-kota besar. Karena
kesulitan dalam faktor ekonomi tersebut, banyak orang tua yang justru
memberdayakan anakanaknya untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Anak-anak
yang sudah besar, bahkan yang masih kecil juga diajarkan secara langsung untuk
mencari uang penutup kebutuhan hidup.
Lebih tragisnya lagi tidak sedikit dari para
orang tua tersebut yang memberdayakan anaknya dengan memerintahkan untuk
menjadi pengemis atau pengamen di lampu merah atau persimpangan jalan. Mereka
harus bertarung dengan kerasnya kehidupan dan ikut bertanggung jawab atas
perekonomian keluarganya. Akibatnya, mereka pun kehilangan kesempatan untuk
mengikuti proses pendidikan.
Beberapa contoh kasus menurut Denay Lesmana (2010)
menjelaskan bahwa jumlah anak putus sekolah usia 7 hingga 15 tahun di Propinsi Jawa
Barat tertinggi secara nasional karena orang tua siswa tidak mampu memenuhi
kebutuhan pribadi siswa. Saat ini terdapat sebanyak 769.235 anak di Jawa Barat
yang putus sekolah pada usia 7-15 tahun tersebut.
Putus sekolahnya anak-anak di Jawa Barat itu
disebabkan karena faktor kemiskinan, sehingga orang tua tidak mampu memenuhi
kebutuhan pribadi siswa, seperti pembelian seragam sekolah dan buku tulis, kebutuhan
pribadi siswa itu berada di luar program BOS yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.
Pada harian Galamedia (2010) dijelaskan bahwa
kemiskinan menjadi faktor utama tingginya angka putus sekolah di Indonesia.
Berdasarkan data terakhir Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),
saat ini terdapat 13.685.324 siswa putus sekolah usia 7-15 tahun. Dari jumlah
itu, sebanyak 769.235 orang atau sekitar 6% berada di Jawa Barat. Komnas
Perlindungan Anak mencatat, sejak tahun 2006 angka putus sekolah terus
bertambah. Tahun 2006 tercatat 9,6 juta anak, saat ini naik menjadi 13,7 juta
anak. Tentu saja angka ini mengkhawatirkan, apalagi data dari pusat menyebutkan
pada akhir tahun 2009, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 14%. Sementara data
terbaru untuk kwartal pertama tahun 2010, turun hingga 13,33%, namun tetap saja
tinggi.
Dari beberapa contoh kasus dan data anak-anak
putus sekolah yang setiap tahunnya terus bertambah, banyak dari anak-anak yang
putus sekolah disebabkan oleh tidak adanya biaya untuk memenuhi kebutuhan pribadi
siswa seperti perlengkapan sekolah dan faktor kemiskinan itu sendiri.
Tags
Dinamika Sosial