Aplikasi konsep emotional quotient (EQ) terhadap pembinaan mental remaja. Dalam pandangan
ahli Kesehatan Mental, kenakalan anak dan Remaja, adalah ungkapan dari gangguan
emosi (emotional distrubance). Anak yang mengalami kekecewaan, kecemasan, ketegangan
batin, konflik dan sebagainya, berusaha mengatasi dan mengungkapkan perasaan
yang tidak menyenangkan itu dengan berbagai cara, antara lain dengan kelakuan
yang bersifat mengganggu, menyerang orang lain atau menyerang dirinya sendiri.
kelakuan tersebut dapat digolongkan dalam kelakuan yang tidak teratur (behaviour
disorders). (Daradjat, 1977)
Masa
remaja ditandai dengan kondisi emosional yang kuat, kuatnya emosi ini
kadang-kadang menimbulkan kembali pertengkaran-pertengkaran yang sudah berlalu
dan terkadang akan menimbulkan rasa kebencian lagi. Tingkat emosi anak-anak
remaja dapat dilihat dengan berbagai cara seperti, temperamental (mudah marah),
sering menolak untuk berkomunikasi. (BKKBN, 2001)
Anak-anak
terutama remaja sangat memperhatikan alam sekitarnya. Apa yang terjadi dalam
masyarakat sangat mempengaruhi perasaan remaja. Apabila mereka melihat dan
mengetahui hal yang tidak baik dalam masyarakat, misalnya banyak orang yang
menderita di samping adanya orang yang bersenang-senang, hidup semau-maunya
tanpa mengindahkan penderitaan orang lain; banyaknya penyelewengan, kekacauan
kezaliman dan sebagainya, mereka akan merasa sangat tergganggu dan tertekan
perasaan, maka mereka akan mengadakan protes, baik dengan kenakalan yang
berlebih-lebihan ataupun dengan menyendiri, menjauh dari masyarakat, lalu
protes kepada Tuhan dan hidup mendendam, yang mungkin barakhir dengan tergganggu
jiwa, atau sakit jasmani (psikosomatik).
Maka dalam usaha penaggulangan kenakalan anak
dan remaja, harus menanggulangi penyakit masyarakat, yang barangkali lebih berbahaya
daripada kenakalan anak dan remaja. Berapa
banyak terjadi kehancuran rumah tangga, yang membuat sengsaranya anak dan remaja,
selanjutnya mengakibatkan kenakalan yang sukar diatasi.
Dalam
menghadapi permasalahan remaja yang demikian pembina baik konselor, guru, orang
tua, tenga pendidik, da’i, dan lain sebagainya tidak cukup menitik beratkan
pada aspek kecerdasan IQ tetapi perlu juga mengembangkan EQ (kecerdasan
emosional) pada diri remaja, yang oleh Goleman disebutkan ada 5 (lima) aspek kecerdasan
emosional yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan
dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :
Mengenali emosi diri.
Kesadaran
diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar
kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari
waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri.
Ketidakmampuan
untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan
perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat
buruk bagi pengambilan keputusan masalah.
Mengelola emosi
Mengelola
emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat,
hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi
dikatakan berhasil dikelola apabila : mampu menghibur diri ketika ditimpa
kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit
kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya
dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau
melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.
Memotivasi diri
Kemampuan
seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut: a)
cara mengendalikan dorongan hati; b) derajat kecemasan yang berpengaruh
terhadap unjuk kerja seseorang; c) kekuatan berfikir positif; d) optimisme; dan
e) keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang
sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya
terfokus pada satu objek. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya
maka seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai
segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.
Mengenali emosi orang lain
(Empati)
Empati
atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika
seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil
membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan
diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati
perasaan orang lain.
Membina hubungan dengan
orang lain
Seni
dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang
mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki
keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial.
Sesungguhnya
karena tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan semacam inilah yang menyebabkan seseroang seringkali dianggap angkuh,
mengganggu atau tidak berperasaan.
Dengan
memahami komponen-komponen emosional tersebut di atas, diharapkan para remaja
dapat menyalurkan emosinya secara proporsional dan efektif. Dengan demikian
energi yang dimiliki akan tersalurkan secara baik sehingga mengurangi hal-hal
negatif yang dapat merugikan masa depan remaja dan bangsa ini. (Mu'tadin, 2002)
Dengan
metode-metode sebagai berikut:
- Pembinaan dengan ceramah, kursus, diskusi dan sebagainya.
- Penyelesaian dengan biro-biro konsultasi.
- Pendidikan agama secara intensif.
- Pengawasan terhadap penyelewengan orang dewasa.
- Pelarangan terhadap hiburan yang melanggar agama.
- Dan lain sebagainya. (Daradjat, 1977)
Kehidupan
keluarga adalah sekolah pertama kita untuk mempelajari masalah emosi. Dalam wadah
yang intim ini kita belajar cara mengenali perasaan dalam diri dan cara orang
lain bereaksi terhadap perasaan; cara memahami berbagai perasaan dan pilihan-pilihan
apa yang dimiliki untuk menanggapinya; cara mengenali dan mengungkapkan harapan
dan ketakutan. Sekolah emosi berjalan tidak hanya bertumpu dari apa yang di
katakana oleh para orangtua dan apa yang di lakukannya langsung kepada
anak-anak, tetapi juga dari contoh-contoh yang mereka lakukan dalam mengatasi
perasaan mereka sendiri dan segala sesuatu yang terjadi antara suami dan istri.
(Hernowo, 2000)
Masa
remaja adalah sebuah proses, bukan produk akhir atau bahkan pemberhentian di
tengah jalan kehidupan. Anak-anak melewatinya dengan kecepatan tinggi. Tugas
sebagai seorang pembina (orang tua, konselor atau da’i) adalah memastikan
mereka sampai di tujuan sebenarnya, yaitu menjadi orang dewasa yang memiliki kepekaan
emosional, dengan sedikit mungkin kecelakaan di sepanjang jalan,
dan membantu ketika mereka satu-dua kali terperosok dan mendapatkan masalah.
Bukan mencoba membereskan remaja super karena remaja super belum tentu menjadi
orang dewasa yang beremosi seimbang dan sukses. Masa remaja adalah masa untuk belajar
menjadi orang dewasa, bukan belajar menjadi remaja yang sukses. (Elias, dkk,
2004)
Mepengaruhi
remaja itu tidak mudah, terutama jika belum mempunyai hubungan baik dengan
mereka. Penulis percaya akan tindakan yang sederhana dan realistis, yaitu yang
bisa dilakukan oleh pembina secara konsisten, yang akan berpengaruh kuat dalam menyiapkan
remaja menjadi orang dewasa yang cakap.
Dalam
hadits nabi dikatakan
Setiap
anak dilahirkan adalah dengan keadaan suci, kemudian kedua orang tuanyalah yang
menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah
R.A)
Sebagai
pembina (orang tua, pembimbing, konselor, dan da’i) harus menyeimbangkan antara
kasih, kelakar, dan kaidah.
Menyediakan
peta untuk mengasuh remaja, suatu kegiatan yang dipenuhi jalan-jalan berliku
dan berbatu, tapi juga berkilometer pemandangan indah.
Pembina
masa kini perlu mempunyai fokus dalam mengasuh remaja mereka, dan mereka perlu
melakukannya dengan “kecerdasan emosional”. Fokus itu penting karena kebanyakan
dari orang tua menjalani hidup yang dijelajahi dengan kegiatan.
Selain metode-metode pembinaan di atas
pembina, orang tua, da’i, konselor, dan lain sebagainya yang berpengaruh pada
kehidupan remaja, kiranya perlu adanya penerapan metode kecerdasan emosional yang
antara lain adalah:
- Kasih. Hubungan kasih sayang yang membentuk landasan kehidupan dan kerja sama keluarga. Tanpa kasih, orang tua biasanya hanya memiliki keuntungan karena mereka dapat menghukum dan menahan uang jajan remaja mereka. Dan ini bukan strategi ideal. (Elias, dkk, 2004)
- Kelakar. Emosi memengaruhi bagaimana dan apa yang dilakukan dan ingin dilakukan. Emosi positif ini penting untuk pertumbuhan remaja yang sehat secara mental. Berkelakar dan tertawa bukanlah hal yang sepele; melainkan vitamin yang penting untuk kejiwaan.
- Kaidah. Bukan melulu tentang pengekangan, melainkan lebih berupa fokus dan arah, serta penetapan batas. Ketrampilan yang dimiliki orang tua dan anak-anak dalam menentukan tujuan dan memecahkan masalah akan membantu remaja tetap pada jalur yang benar dan mewujudkan gagasan-gagasan bagus menjadi tindakan yang konstruktif.
- Koneksi. Remaja perlu lebih banyak menjadi konstributor daripada konsumen, dan lebih memiliki daripada membeli. Dalam dunia yang semakin kompleks dan canggih, orang tua tidak mungkin bisa “melakukan semuanya” dan “menjadi segalanya” bagi remaja mereka. Kemampuan untuk membantu mereka membina ikatan atau koneksi yang sehat setidaknya sama penting dengan hal-hal yang dilakukan langsung untuk mereka atau bersama mereka. (Elias, dkk, 2004)
Kecerdasan
emosional bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal
dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu
diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai
kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan
masyarakat.
Dalam
menghadapi situasi demikian, ada 2 pilihan tindakan remaja dalam merespon
emosi. Keduanya memiliki dampak yang sangat berbeda bagi remaja. Oleh karena
itu, cara merespon emosi tersebut dapat dibedakan menjadi "Respon yang
Sehat" dan "Respon Tidak sehat".
SEHAT
|
TIDAK SEHAT
|
1.
Sadarilah emosi. Anda berpaling sebentar
dari pertengkaran mulut tersebut (mis: pergi keluar ruangan) dan
memperhatikan baik-baik beraneka ragam emosional yang sedang anda rasakan.
Lalu tanyakan pada diri anda: apa yang aku rasakan? Malu (karena teman anda
lebih benar/baik), atau takut (ia lebih pandai dan semakin lama semakin marah),
merasa lebih (karena anda merasa menang beberapa hal dari kawan anda dan
seringkali ia mengakui)? Atau masih adakah emosi-emosi lainnya yang muncul?
2. Akuilah emosi. Dengan sadar anda
perhatikan emosi anda yang terjadi pada saat itu agar anda tahu emosi apakah
itu. Perkirakan berapa kuat emosi itu.
3. Selidikilah emosi! Bila anda benar-benar
ingin mengetahui banyak-banyak tentang diri sendiri, tanyakan mengapa kemarahan
terjadi, bagaimana ia masuk pada diri anda dan dari mana asalnya. Telusurilah
jejak asal emosi itu. Mungkin anda dapat menyingkap seluruh sangkut pautnya
saat ini, namun anda mungkin akan menjumpai semacam rasa rendah diri yang belum
pernah anda akui keberadaannya
4. Ungkapkanlah emosi. Apa adanya saja.
Tanpa ada interpretasi, tanpa penilaian. Katakan: Ayo kita berhenti sebentar,
saya merasa terlalu tegang, jangan-jangan saya akan mengatakan hal-hal yang sebenarnya
tidak diinginkan untuk dikatakan. Dalam hal ini penting sekali untuk tidak
menuduh atau katakan bahwa suhu udara di ruangan panas. Kuburkan perasaan dalam-dalam
dan jangan hiraukan. Merasakan
ketegangan emosi dalam sebuah diskusi ilmiah tidaklah pantas bagi anda
seorang intelektual.
5. Integrasikan emosi. Setelah mendengarkan
emosi anda, setelah menanyakan dan mengungkapkan, sekarang biarkan akal sehat
menilai apa yang sebaiknya anda lakukan. Katakan misalnya : mari kita mulai
lagi, rupanya tadi saya terlampau ngotot, hingga tidak dapat mendengarkan
dengan baik. Saya ingin mendengar alasanmu lagi. Atau: kamu tidak keberatan kalau
kita akhiri saja perdebatan ini. Saat ini saya merasa mudah tersinggung untuk
membicarakan hal yang serius.
|
1.
Jangan pedulikan
reaksi emosional!
Perasaan tak ada hubungan dengan perdebatan itu. Lebih baik katakan pada
diri sendiri; saya tidak tegang sama sekali, kalau anda
berkeringat, katakan bahwa suhu udara di ruangan panas. Kuburkan perasaan dalam-dalam
dan jangan hiraukan. Merasakan
ketegangan emosi dalam sebuah diskusi ilmiah tidaklah pantas bagi anda
seorang intelektual.
2. Ingkari keberadaan
emosi. Katakan pada diri sendiri dan orang ; saya
tidak marah, tidak! Emosi mudah diingkari dengan jalan memusatkan perhatian pada
jalan perdebatan saja. Jangan sampai perhatian dibelokkan oleh emosi! obat, bila
diperlukan. Karena biasanya akan tercetus sebagai penyakit maag, asam urat,
tekanan darah tinggi, bahkan serangan jantung.
3. Cari terus
bahan-bahan penangkis. Orang dengan pemikiran sehebat anda, segera akan
menyerang secara frontal. Saat ini adalah saat menang atau kalah. Anda perlu
memperlambat arus kata-kata. Anda tidak boleh menjadi gagap, tetapi andapun tidak
boleh berhenti untuk berbicara. Karena kawan anda dapat mengemukakan bukti kuat dan anda akan
kalah. Pusatkan pada perdebatan dan jangan kendur untuk terus mencekiknya.
4. Jika ingin membabi buta dan menghendaki perpecahan, salahkan dia. Sebutkan beberapa cacat
pribadi. Misalnya katakan: tak mungkin membicarakan hal ini secara tenang dengan dirimu. Kamu ini
terlalu galak. Kamu tidak pernah mendengar pendapat orang lain (memukul rata
seperti ini juga sangat mengena). Kamu pikir kamu ini Tuhan, apa!
5. Karena tidak mengaku punya emosi, anda tidak perlu repot-repot mencoba menyelidiki reaksi-reaksi dari
emosi. Meski demikian emosi-emosi yang ditekan memerlukan jalan keluar. Maka
pergilah saja dengan perkataan gusar, lalu minum dua pil aspirin dan tetap
ingat betapa bodohnya kawan anda tadi
|
Dari kedua respon yang tersebut diatas degan
jelas dapat terlihat akibat-akibat yang akan timbul dalam kehidupan individu dari
cara merespon emosi. Sebagai orang yang dituntut untuk bersikap dewasa dan
sehat tentunya kita sudah tahu respon mana yang akan kita pilih. Selanjutnya
mulai hari ini kita dapat memulai untuk hidup lebih sehat dan bahagia dalam
merespon emosi.
Kemampuan
untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain. Empati
adalah “menyeleraskan diri” (peka) terhadap apa, bagaimana, dan latar belakang
perasaan dan pikiran orang lain sebagaimana orang tersebut merasakan dan memikirkannya.
Bersikap empatik artinya mampu “membaca orang lain dari sudut pandang emosi”.
Orang yang empatik peduli pada orang lain dan memperlihatkan minat dan
perhatiannya pada mereka. (Elias, dkk, 2004)
Pada
dasarnya, empati adalah kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang
lain, kemampuan untuk menyelaraskan diri dengan yang mungkin dirasakan dan
dipikirkan orang lain tentang suatu situasi—betapapun bedanya pandangan itu
dengan pandangan kita. Empati adalah perkakas antar pribadi yang sangat
bermanfaat.
Ketika
seseorang mengutarakan pernyataan yang empatik, bahkan dalam keadaan yang penuh
ketegangan atau perselisihan sengit pun, menggeser kesetimbangan. Ketidaksepahaman
yang tadinya mengkhawatirkan dan diperdebatkan merubah menjadi persekutuan yang
lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Jika
dalam suatu hubungan terdapat kerja sama yang efektif, ini berarti memperbesar
kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan atau perlakuan dari pihak lain.
Jelas, tak seorang pun akan mau memberikan yang diinginkan kita jika mereka
merasa diserang dan tidak mau mengerti keinginan mereka. Dalam hal ini kita
akan dipandang dengan rasa penuh curiga dan marah. Sebaliknya, setiap kali
orang lain merasakan adanya kecocokan diantara dirinya dan kita, mereka akan
merasa mendapat dukungan. Ikatan emosional diantara kedua belah pihak semakin
kuat, dan orang lain cenderung mau bekerja sama, dan bukannya melawan (Stein
dan Howard E. Book, 2003). Orang terkadang mengelirukan empati dengan sikap “baik”—yakni
mengutarakan pernyataan yang sopan dan menyenangkan seperti pada umumnya.
Padahal, bukan ini yang dimaksudkan dengan empati.
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, fitrah Allah, yang Dia
telah mneciptakan manusia di atas fitrah itu; tidak ada perubahan bagi penciptaan
dengan fitrah Allah itu; itulah agama yang lurus, akan tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya”. (Ar-Rum, 30: 30)
Ketidaksesuaian
nilai antara orang tua dan remaja, akan timbul kesalah-pahaman dan ketiadaan
empati. Wajar saja kalau menganggap bahwa yang dirasa “benar” itu memang benar.
Namun, tidak selalu demikian. Kadang-kadang situasinya, seperti rasa es krim.
Orang menyukai rasa es krim yang ia sukai dan ia tidak bisa membayangkan orang
lain menyukai rasa lain. Rasa durian? Ihhh! Namun, remaja mungkin suka. Kita
tidak bisa memahami semua kesukaan ini. (Elias, dkk, 2004)
Bagaimana
caranya meningkatkan EQ ? Menurut Daniel Goleman terdapat 5 (lima) dimensi EQ
yang keseluruhannya diturunkan menjadi 25 kompetensi. Apabila kita menguasai
cukup 6 (enam) atau lebih kompetensi yang menyebar pada ke-lima dimensi EQ
tersebut, akan membuat seseorang menjadi profesional yang handal.
Dimensi pertama
adalah self awareness, artinya mengetahui keadaan dalam diri, hal yang lebih
disukai, dan intuisi. Kompentensi dalam dimensi pertama adalah mengenali emosi
sendiri, mengetahui kekuatan dan keterbatasan diri, dan keyakinan akan kemampuan
sendiri.
Dimensi kedua adalah
self regulation, artinya mengelola keadaan dalam diri dan sumber daya diri
sendiri. Kompetensi dimensi kedua ini adalah menahan emosi dan dorongan
negatif, menjaga norma kejujuran dan integritas, bertanggung jawab atas kinerja
pribadi, luwes terhadap perubahan, dan terbuka terhadap ide-ide serta informasi
baru.
Dimensi ketiga
adalah motivation, artinya dorongan yang membimbing atau membantu peraihan
sasaran atau tujuan. Kompetensi dimensi ketiga adalah dorongan untuk menjadi
lebih baik, menyesuaikan dengan sasaran kelompok atau organisasi, kesiapan untuk
memanfaatkan kesempatan, dan kegigihan dalam memperjuangkan kegagalan dan
hambatan.
Dimensi keempat
adalah empathy, yaitu kesadaran akan perasaan, kepentingan, dan keprihatinan
orang. Dimensi ke-empat terdiri dari kompetensi understanding others,
developing others, customer service, menciptakan kesempatan-kesempatan melalui pergaulan
dengan berbagai macam orang, membaca hubungan antara keadaan emosi dan kekuatan
hubungan suatu kelompok.
Dimensi kelima adalah
social skills, artinya kemahiran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki
oleh orang lain. Diantaranya adalah kemampuan persuasi, mendengar dengan
terbuka dan memberi pesan yang jelas, kemampuan menyelesaikan pendapat,
semangat leadership, kolaborasi dan kooperasi, serta team building. (Goleman, 2003)
Suharyo
Chaidir (motivator dari Indonesia) menyampaikan bahwa kesuksesan penerapan dari
EQ ini dapat dibedakan dalam 4 (empat) tahap sebagai berikut :
- Tahap tidak sadar, artinya tidak siap sama sekali dan menyangkal bahwa perlu untuk merubah diri.
- Tahap kontemplasi, sadar perlu memperbaiki dan telah memikirkan caranya, namun belum siap melaksanakan.
- Tahap persiapan, telah memusatkan pada solusi dan secara nyata telah siap melaksanakannya.
- Tahap tindakan, perubahan nyata telah dimulai. Pada tahap ini telah menjalankan rencana, mulai mempraktekan tahapan-tahapannya, dan sungguh-sungguh mengubah cara bertindak mereka. Inilah yang disebut “tahapan perubahan”.(Chaidir, 2002)
Setiap
kekuatan yang ada pada diri seseorang itu perlulah dikembangkan dan dihormati
manakala setiap kelemahan itu perlulah dibimbing, didorong dan diperbaiki agar
dapat memenuhi satu hal dituju yang diingini. Kesemuanya ini perlulah dilakukan
dalam suasana yang mesra serta tidak mempunyai tujuan yang negatif disebaliknya.
(Zain, 2002) Selain itu, bimbingan dan konseling tersrsebut perlu disesuaikan
dengan tipe kepribadian yang dimiliki.
Sigmond
Freud menyebutkan bahwa cara untuk menyesuaikan diri orang yang bertipe
kepribadian Sanguinis adalah dengan :
- Kenali kesulitan mereka dalam menyelesaikan tugas
- Sadarilah mereka bicara tanpa berpikir lebih dulu
- Sadarilah mereka menyukai variasi dan fleksibilitas
- Bantulah mereka agar tidak menerima lebih dari yang biasa mereka lakukan
- Jangan harapkan mereka mengingat janji pertemuan atau tepat pada waktunya
- Pujilah mereka untuk segala sesuatu yang mereka capai
- Ingat bahwa mereka orang yang gampang terpengaruh oleh keadaan
- Bawakan mereka hadiah: mereka menyukai sesuatu hal yang baru
- Terimalah kenyataan bahwa mereka mendapatkan kesenangan dari apa yang akan memalukan orang lain
- Sadarilah bahwa mereka bermaksud baik. (Littauer, 1996)
Sigmond
Freud juga menyebutkan bahwa cara untuk menyesuaikan diri dengan orang yang bertipe
kepribadian Phlegmatis adalah dengan :
- Sadarilah bahwa mereka memerlukan korelasi langsung
- Bantulah mereka menetapkan tujuan dan memperoleh imbalan
- Jangan mengharapkan antusiasme dari mereka
- Sadarilah bahwa menunda-nunda merupakan bentuk kontrol mereka secara diam-diam
- Paksalah mereka membuat keputusan
- Jangan menumpuk semua kesalahan pada mereka
- Doronglah mereka untuk menerima tanggung jawab
- Hargailah disposisi mereka yang nyata. (Littauer, 1996)
Sigmond
Freud juga menyebutkan bahwa cara untuk menyesuaikan diri dengan orang yang bertipe
kepribadian Melankolis adalah dengan :
- Ketahuilah bahwa mereka sangat perasa dan mudah sakit hati
- Sadarilah bahwa mereka diprogram dengan sikap psimistis
- Belajarlah berurusan dengan tekanan jiwa
- Pujilah mereka dengan tulus dan penuh kasih sayang
- Terimalah kenyataan bahwa mereka kadang-kadang menyukai kesunyian
- Berusahalah menepati jadwal yang masuk akal
- Sadarilah bahwa kerapian itu perlu
- Bantulah mereka untuk tidak menjadi budak keluarga (catatan bagi pria yang beristri orang melankolis). (Littauer, 1996)
Sigmond
Freud juga menyebutkan bahwa cara untuk menyesuaikan diri dengan orang yang
bertipe kepribadian Koleris adalah dengan :
- Akuilah bahwa mereka berbakat pemimpin
- Bersikeraslah melakukan komunikasi dua arah
- Ketahuilah bahwa mereka tidak bermaksud menyakiti
- Jangan memaksa kemujuran anda
- Berusahalah membagi-bagi bidang tanggung jawab
- Sadarilah bahwa mereka tidak penuh belas kasihan
- Ketahuilah bahwa mereka selalu benar (Littauer, 1999)
Tags
Emosi Manusia