Anemia gizi besi adalah suatu keadaan dimana
terjadi penurunan cadangan besi dalam hati, sehingga jumlah hemoglobin darah
menurun dibawah normal. Sebelum terjadi anemia gizi besi, diawali lebih dulu
dengan keadaan kurang gizi besi (KGB). Apabila cadangan besi dalam hati menurun
tetapi belum parah, dan jumlah hemoglobin masih normal, maka seseorang
dikatakan mengalami kurang gizi besi saja (tidak disertai anemia gizi besi).
Keadaan kurang gizi besi yang berlanjut dan semakin parah akan mengakibatkan
anemia gizi besi, dimana tubuh tidak lagi mempunyai cukup zat besi untuk
membentuk hemoglobin yang diperlukan dalam selsel darah yang baru (Soekirman,
2000).
Terdapat beberapa parameter untuk mengukur
proses terjadinya pentahapan dari kurang gizi besi ke anemia gizi besi. Untuk
mengetahui adanya penurunan atau deplesi cadangan besi tingkat ringan diukur
dengan kadar feritin dalam serum darah yang menurun. Pada tahap berikutnya
dapat terjadi deplesi besi yang lebih parah sehingga dapat mengganggu
pembentukan hemoglobin baru, tetapi kadar hemoglobin masih normal, dimana pada
tahap ini diukur dengan menurunnya transferin saturation dan meningkatnya
erythrocyte protoporphyrin. Tahap berikutnya terjadi anemia gizi besi yang
diukur dengan kadar hemoglobin atau hematokrit yang lebih rendah dari standar
normal WHO (Soekirman, 2000).
Batasan hemoglobin untuk menentukan apakah
seseorang terkena anemia gizi besi atau tidak sangat dipengaruhi oleh umur.
Untuk anak-anak umur 6 bulan-5 tahun, dapat dikatakan menderita anemia gizi
besi apabila kadar hemoglobinnya kurang dari 11 g/dl, umur 6-14 tahun kurang
dari 12 g/dl, dewasa laki-laki kurang dari 13 g/dl, dewasa perempuan tidak
hamil kurang dari 12 g/dl, dan dewasa perempuan hamil kurang dari 11 g/dl
(Soekirman, 2000).
Luasan Masalah Anemia Gizi
Besi
Iron Deficiency Anemia (IDA) atau lebih
dikenal dengan sebutan anemia gizi besi merupakan salah satu masalah gizi yang
penting di Indonesia. Masalah anemia gizi besi ini tidak hanya dijumpai
dikalangan rawan seperti anak-anak, ibu hamil, dan ibu yang sedang menyusui,
tetapi juga diantara orang dewasa terutama golongan karyawan dengan penghasilan
rendah (Djojosoebagio, et al. 1986). Menurut De Maeyer dan Adielstegman (1985)
dalam Ross dan Horton (1998), pada tahun 1985, sekitar 30 persen penduduk dunia
(1.3 milyar) menderita anemia gizi besi.
Menurut Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan
Pertanian (1992), berdasarkan hasil-hasil penelitian di beberapa tempat di
Indonesia pada tahun 1980-an menunjukan bahwa prevalensi anemia pada wanita
dewasa tidak hamil berkisar 30-40%, pada wanita hamil 50-70%, anak balita
30-40%, anak sekolah 25-35%, pria dewasa 20-30% dan pekerja berpenghasilan
rendah 30-40%. Sedangkan menurut Soekirman et al. (2003) menyatakan bahwa
prevalensi anemia gizi besi mengalami penurunan dari 50,9% pada tahun 1995
menjadi 40% pada tahun 2001. Begitupun pada wanita usia 14-44 tahun mengalami
penurunan dari 39,5% pada tahun 1995 menjadi 27,9% pada tahun 2001. Akan
tetapi, untuk anak dibawah usia lima tahun angka anemia gizi besi meningkat
dari 40,0% pada tahun 1995 menjadi 48,1% pada tahun 2001.
Penyebab Anemia Gizi Besi
Menurut Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan
Pertanian (1992), anemia gizi besi dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu
faktor penyebab langsung dan faktor penyebab tidak langsung. Faktor penyebab
langsung meliputi jumlah Fe dalam makanan tidak cukup, absorbsi Fe rendah,
kebutuhan naik serta kehilangan darah, sehingga keadaan ini menyebabkan jumlah
Fe dalam tubuh menurun. Menurunnya Fe (zat besi) dalam tubuh akan memberikan
dampak yang negatif bagi fungsi tubuh. Hal ini dikarenakan zat besi merupakan
salah satu zat gizi penting yang terdapat pada setiap sel hidup, baik sel
tumbuh-tumbuhan, maupun sel hewan. Di dalam tubuh, zat besi sebagian besar
terdapat dalam darah yang merupakan bagian dari protein yang disebut hemoglobin
di dalam sel-sel darah merah, dan disebut mioglobin di dalam sel-sel otot.
Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari
paru-paru ke seluruh sel tubuh, sedangkan mioglobin mengangkut dan menyimpan
oksigen untuk sel-sel otot. Besi yang ada di dalam tubuh berasal dari tiga
sumber yaitu besi yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah
(hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan dalam tubuh, dan besi yang
diserap dari saluran pencernaan (Soekirman, 2000).
Dari ketiga sumber tersebut, besi hasil
hemolisis merupakan sumber utama. Pada manusia yang normal, kira-kira 20-25 mg
besi per hari berasal dari besi hemolisis, dan hanya sekitar 1 mg berasal dari
makanan. Di dalam tubuh manusia, jumlah zat besi sangat bervariasi tergantung
pada umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tubuh. Pada orang dewasa
sehat, jumlah zat besi diperkirakan lebih dari 4000 mg dengan sekitar 2500 mg
ada dalam hemoglobin. Sebagian zat besi dalam tubuh (sekitar 1000 mg) disimpan
di dalam hati dengan bentuk ferritin. Pada saat konsumsi zat besi dari makanan
tidak cukup, zat besi ferritin dikeluarkan untuk memproduksi hemoglobin
(Winarno, 2002).
Ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan
terjadi karena pola konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi
sayuran sebagai sumber zat besi yang sulit diserap, sedangkan daging dan bahan
pangan hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi
terutama oleh masyarakat pedesaan (Dep Kes. RI, 1998 dalam Hulu, 2004). Menurut
Almatsier (2001), pada umumnya, besi di dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai
ketersediaan biologik yang tinggi, besi di dalam serealia dan kacang-kacangan
mempunyai ketersediaan biologik yang sedang, dan besi yang terdapat pada
sebagian besar sayur-sayuran terutama yang mengandung asam oksalat tinggi
seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik yang rendah.
Faktor lain yang merupakan penyebab anemia
gizi besi adalah faktor penyebab tidak langsung, yang meliputi praktek
pemberian makanan yang kurang baik, komposisi makanan kurang beragam, pertumbuhan
fisik, kehamilan dan menyusui, pendarahan kronis, parasit, infeksi, pelayanan
kesehatan yang rendah, terdapatnya zat penghambat absorbsi, serta keadaan
sosial ekonomi masyarakat rendah (Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan
Pertanian, 1992). Keadaan sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan, tingkat
pengetahuan, besar keluarga, pekerjaan, pendapatan, dan lain-lain.
Menurut Winarno (1993), tingkat ekonomi
(pendapatan) yang rendah dapat mempengaruhi pola makan. Pada tingkat pendapatan
yang rendah, sebagian besar pengeluaran ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
pangan dengan berorientasi pada jenis pangan karbohidrat. Hal ini disebabkan
makanan yang mengandung banyak karbohidrat lebih murah dibandingkan dengan
makanan sumber zat besi, sehingga kebutuhan zat besi akan sulit terpenuhi, dan
dapat berdampak pada terjadinya anemia gizi besi.
Seperti yang telah disebutkan bahwa salah
satu penyebab anemia gizi besi adalah adanya zat penghambat absorbsi. Menurut
Almatsier (2001), terdapat beberapa makanan yang mengandung zat penghambat
absorbsi besi diantaranya adalah beberapa jenis sayuran yang mengandung asam
oksalat, beberapa jenis serealia dan protein kedelai yang mengandung asam
fitat, serta teh dan kopi yang mengandung tanin. Bila besi tubuh tidak terlalu
tinggi, sebaiknya tidak minum teh atau kopi pada waktu makan. Selain itu,
kalsium dosis tinggi berupa suplemen juga dapat menghambat absorbsi besi.
Dalam kaitannya dengan mekanisme absorbsi,
dikenal ada dua macam besi dalam makanan, yaitu besi heme dan besi non heme .
Besi heme diambil oleh sel mukosa dan dipecah di dalam sel oleh suatu enzim
pembelah heme . Adapun besi non heme mungkin diambil dalam bentuk ion oleh
penerima pada sel mukosa usus atau oleh pengangkut protein yang berada di
permukaan luminal sel. Absorbsi besi non heme sangat dipengaruhi oleh status
gizi serta oleh berbagai faktor makanan. Sedangkan absorbsi besi heme tidak
dipengaruhi status gizi serta tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang
mempengaruhi absorbsi besi non heme (Almatsier, 2001).
Dampak Anemia Gizi Besi
Dampak yang ditimbulkan akibat anemia gizi
besi sangat kompleks. Menurut Ros & Horton (1998), Anemia Gizi Besi
berdampak pada menurunnya kemampuan motorik anak, menurunnya skor IQ, menurunnya
kemampuan kognitif, menurunnya kemampuan mental anak, menurunnya produktivitas
kerja pada orang dewasa, yang akhirnya berdampak pada keadaan ekonomi, dan pada
wanita hamil akan menyebabkan buruknya persalinan, berat bayi lahir rendah,
bayi lahir premature, serta dampak negatif lainnya seperti komplikasi kehamilan
dan kelahiran. Akibat lainnya dari anemia gizi besi adalah gangguan
pertumbuhan, gangguan imunitas serta rentan terhadap pengaruh racun dari
logam-logam berat.
Besi memegang peranan dalam sistem kekebalan
tubuh. Respon kekebalan sel oleh limfosit-T terganggu karena berkurangnya
pembentukan sel-sel tersebut, yang kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya
sintesis DNA. Berkurangnya sintesis DNA ini disebabkan oleh gangguan enzim
reduktase ribonukleotide yang membutuhkan besi untuk dapat berfungsi. Disamping
itu, sel darah putih yang menghancurkan bakteri tidak dapat bekerja secara
efektif dalam keadaan tubuh kekurangan besi. Enzim lain yang berperan dalam
sistem kekebalan tubuh yaitu mieloperoksidase juga akan terganggu fungsinya
akibat defisiensi besi (Almatsier,2001).
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa
anemia gizi besi erat kaitannya dengan penurunan kemampuan motorik (dampak
fisik). Dilihat dari dampak fisik, Anemia gizi besi dapat menyebabkan rasa
cepat lelah. Rasa cepat lelah terjadi karena pada penderita anemia gizi besi
pengolahan (metabolisme) energi oleh otot tidak berjalan sempurna karena otot
kekurangan oksigen, dimana oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel otot ini
diangkut oleh zat besi dalam darah (hemoglobin). Untuk menyesuaikan dengan
berkurangnya jatah oksigen, maka otot membatasi produksi energi. Akibatnya,
mereka yang menderita anemia gizi besi akan cepat lelah bila bekerja karena
cepat kehabisan energi (Soekirman, 2000).
Cepatnya rasa lelah yang dialami oleh para
pekerja yang menderita anemia gizi besi akan menurunkan produktivitas kerja.
Menurunnya produktivitas kerja, selain disebabkan oleh menurunnya hemoglobin
darah, juga disebabkan oleh berkurangnya enzim-enzim mengandung besi, dimana
besi sebagai kofaktor enzimenzim yang terlibat dalam metabolisme energi
tersebut (Almatsier, 2001).
Studi mengenai anemia pada pekerja wanita
yang dilakukan di Jakarta, Tangerang, Jambi dan Kudus, membuktikan bahwa anemia
dapat menurunkan produktivitas kerja. Dilaporkan bahwa anemia menurunkan
produktivitas 5-10 persen dan kapasitas kerjanya 6.5 jam per minggu (Anonim,
2005). Padahal, produktivitas kerja ini sangat penting peranannya dalam
menentukan nilai pendapatan per kapita (Ravianto 1985).
Selain menurunkan produktivitas kerja yang
umumnya terjadi pada penderita usia dewasa, anemia gizi besi juga mengakibatkan
dampak negatif terhadap anak usia sekolah. Anak usia sekolah yang menderita
anemia gizi besi akan mengalami penurunan kemampuan kognitif, penurunan
kemampuan belajar, dan pada akhirnya akan menurunkan prestasi belajar. Menurut
Lozzoff dan Youdim (1988) dalam Almatsier (2001), menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara defisiensi besi dengan fungsi otak.
Defisiensi besi berpengaruh negatif terhadap
fungsi otak, terutama terhadap fungsi sistem neurotransmitter (penghantar
syaraf). Akibatnya, kepekaan reseptor syaraf dopamin berkurang yang dapat
berakhir dengan hilangnya reseptor tersebut. Daya konsentrasi, daya ingat, dan
kemampuan belajar terganggu, ambang batas rasa sakit meningkat, fungsi kelenjar
tiroid dan kemampuan mengatur suhu tubuh juga menurun (Lozzoff & Youdim,
1988 dalam Almatsier, 2001).
Dampak lebih lanjut akibat anemia gizi besi
adalah menurunnya status gizi seseorang. Status gizi dapat mempengaruhi
kualitas manusia, produktivitas kerja, dan menurunnya pendapatan (Hardinsah
& Suhardjo, 1987). Menurut Djojosoebagio et al. (1986), keadaan ini akan
menimbulkan akibat yang lebih luas baik pada aspek fisik, mental, kemampuan
berfikir maupun aspek sosial ekonomi dan sumberdaya manusia pada umumnya.
Penanggulangan Anemia Gizi
Besi
Penanggulangan Anemia Gizi Besi yang telah
dilakukan meliputi suplementasi besi dan fortifikasi besi pada beberapa bahan
makanan, serta upaya lain yang dilakukan adalah peningkatan konsumsi makanan
sumber zat besi. Program pemberian suplemen zat besi telah dilakukan sejak
tahun 1974, terhadap wanita hamil. Program ini meliputi seluruh wanita hamil
yang tersebar di beberapa puskesmas dan posyandu. Tablet suplemen ini sebagian
besar berasal dari UNICEF. Selain pada wanita hamil, suplemen besi juga
diberikan pada anak dengan usia dibawah lima tahun, yaitu berupa sirup besi
(Soekirman et al., 2003).
Upaya penanggulangan anemia gizi besi dengan
fortifikasi zat besi dilakukan terhadap beberapa jenis bahan pangan.
Fortifikasi besi lebih sulit dilakukan daripada fortifikasi vitamin A dan zat
iodium, karena sifat kimiawi zat besi yang beragam dan memerlukan penyesuaian
dengan pangan yang akan difortifikasi. Bahan pangan yang akan difortifikasi
harus memenuhi beberapa persyaratan diantaranya dihasilkan oleh pabrik
tertentu, dikonsumsi oleh banyak orang termasuk kelompok sasaran, harga setelah
difortifikasi terjangkau, rupa dan rasa tidak berubah, serta sesuai dengan
sifat kimiawi zat fortifikan. Beberapa bahan pangan yang telah difortifikasi
adalah tepung terigu dan garam (Soekirman, 2000).
Menurut Muhilal dan Karyadi (1980),
pelaksanaan fortifikasi tingkat nasional harus melibatkan banyak departemen
dalam pemerintahan, antara lain Departemen Kesehatan yang menentukan kadarnya,
Departemen Perindustrian yang menangani proses fortifikasi, serta Departemen
Perdagangan yang menangani penyalurannya. Keuntungan fortifikasi besi adalah
bahwa zat besi dapat mencapai sasaran untuk semua golongan umur.
Menurut Khomsan (2004), terdapat beberapa hal
yang dapat mendukung kebijakan fortifikasi. Dari pihak pemerintah, perlu adanya
subsidi pada tahap awal penerapan teknologi fortifikasi. Departemen Kesehatan
yang juga merupakan lembaga pemerintah harus terus-menerus melakukan pemasaran
sosial mengenai bahan-bahan yang telah mengalami fortifikasi. Disamping
lembaga-lembaga yang ada di dalam negeri, lembaga-lembaga Internasional juga
harus melakukan dukungan yaitu dengan melakukan studi efikasi untuk mengetahui
keefektifan dari suatu bahan yang telah difortifikasi.
Selain dengan suplementasi dan fortifikasi,
penanggulangan anemia gizi besi yang terpenting adalah dengan memperhatikan
pola makan, yaitu menerapkan pola makan yang baik dan bergizi seimbang. Dalam
memilih makanan sumber zat besi, selain memperhatikan jumlahnya yang terdapat
dalam makanan, juga memperhatikan daya serap dan nilai biologisnya. Daya serap
dan nilai biologis makanan dipengaruhi oleh empat hal, yaitu jumlah kandungan
zat besi, bentuk kimia fisik zat besi, adanya makanan lain yang memacu atau
menghambat absorbsi zat besi serta cara pengolahan makanan (Soekirman, 2000).
Dengan memperhatikan pola makan, diharapkan
kebutuhan zat besi pada masing-masing individu dapat terpenuhi sebagaimana yang
dibutuhkan. Menurut Kartono dan Soekatri (2004) kebutuhan besi per orang per
hari untuk bayi (0-11 bulan) adalah 0.5-7 mg, anak usia 1-9 tahun adalah 8-10
mg, pria 10-12 tahun adalah 13 mg, pria usia 13-15 tahun adalah 19 mg, pria
usia 16-18 tahun adalah 15 mg, pria usia 19-65 tahun keatas adalah 13 mg,
wanita usia 10-12 tahun adalah 20 mg, wanita usia 13-49 tahun adalah 26 mg,
wanita usia 50-65 tahun keatas adalah 12 mg, untuk wanita hamil ditambah 9-13
mg dari kebutuhan normal, sedangkan untuk wanita menyusui ditambah 6 mg dari
kebutuhan normal.
Menurut Winarno (2002), jumlah besi yang
diluarkan tubuh sekitar 1.0 mg per hari, dan untuk wanita masih ditambah 0.5 mg
hilang karena menstruasi. Adapun jumlah besi yang diserap hanya sekitar 10%.
Perbaikan dalam gizi dan kesehatan tenaga kerja akan meningkatkan efisiensi
kerja melalui peningkatan kemampuan individunya. Pengaruh program kesehatan
serta gizi terhadap penduduk usia muda akan terlihat pada peningkatan GNP di
masa depan. Peningkatan GNP terjadi karena adanya pertumbuhan ekonomi, yaitu
dengan dengan bertambahnya tingkat partisipasi angkatan kerja dan secara tidak
langsung melalui tingkat partisipasi dalam dunia pendidikan (Tjiptoherijanto
& Soesetyo, 1994).
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang
jenis, jumlah pangan yang dikonsumsi (dimakan) oleh seseorang atau kelompok
orang pada waktu tertentu (Baliwati, 2004). Konsumsi makanan dimaksudkan untuk
mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat
gizi pada tingkat kelompok rumah tangga dan perorangan serta faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut (Supariasa, 2002).
Pola konsumsi makanan merupakan berbagai
informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang
dimakan setiap hari oleh setiap orang dan merupakan ciri khas untuk suatu
kelompok orang (keluarga) memilih makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh
fisiologis, psikologis, kebudayaan dan sosial (Suhardjo, 1989).
Manusia membutuhkan konsumsi makanan yang
berguna untuk membantu fungsi semua organ agar dapat berjalan dengan baik
seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Tingkat
kecukupan zat gizi berbeda pada setiap orang dan perbedaan tergantung dari
umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan ataupun kegiatan yang dilakukan.
Pembagian pekerjaan menurut lamanya bekerja
adalah bekerja delapan jam adalah termasuk pekerjaan sedang dan bila bekerja
lebih dari delapan jam adalah pekerjaan berat. Secara umum pengaruh gizi pada
manusia sangatlah kompleks antara lain dapat berpengaruh terhadap perkembangan
mental, fisik, produktivitas dan kesanggupan kerja (Kartasapoetra, 2005).
Faktor utama yang menyebabkan terjadinya
anemia besi adalah kurangnya konsumsi zat besi yang berasal dari makanan, atau
rendahnya absorbsi zat besi yang ada dalam makanan. Ketersediaan zat besi dari
makanan yang tidak mencukupi kebutuhan tubuh akan mengakibatkan tubuh mengalami
anemia besi. Konsumsi makanan yang cukup jumlahnya dan macamnya akan menjamin
kesehatan.
Sebaiknya lauk pauk ada yang berasal dari
hewani dan nabati. Demikian juga bahan makanan merupakan sumber vitamin seperti
buah-buahan dan sayur-sayuran harus tersedia dalam hidangan sehari-hari
(Wirakusumah, 1999). Makanan yang banyak mengandung zat besi adalah bahan
makanan yang berasal dari hewani. Disamping banyak mengandung zat besi, serapan
zat besi dari sumber makanan tersebut mempunyai angka sebesar 20-30%.
Sebagian besar penduduk di negara yang
(belum) sedang berkembang belum mampu menghadirkan bahan makanan tersebut.
Ditambah dengan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang dapat mengganggu penyerapan
zat besi (seperti kopi dan teh) secara bersamaan pada waktu makan menyebabkan
serapan zat besi menjadi semakin rendah. Makanan kaya vitamin C seperti air
jeruk sangat dianjurkan untuk meningkatkan kemampuan tubuh menyerapan zat besi
(Arsiman, 2004).
Menu makanan di Indonesia sebaiknya terdiri
atas nasi, daging/ayam/ikan/ kacang-kacangan, serta sayur-sayuran dan
buah-buahan yang kaya akan vitamin C. Zat besi dari pangan hewani dapat diserap
antara 10-20%, sedangkan zat besi dari pangan nabati hanya dapat diserap antara
1-5%. Misalnya zat besi dari beras dan bayam hanya dapat diserap oleh usus
sekitar 1%, sedangkan dari ikan diserap dalam jumlah besar yaitu 11%. Semua zat
besi yang ada di dalam tubuh pada dasarnya berasal dari bahan pangan nabati
maupun hewani. Oleh karena tidak semua zat besi yang berasal dari makanan dapat
diserap tubuh maka jumlah zat besi yang dimakan harus lebih besar jumlahnya
dari angka kebutuhan yang sebenarnya, sedangkan ada faktor lain yang menghambat
penyerapan zat besi adalah Asam fitat yang terdapat di serat serialia, Asam
folat terdapat dalam sayuran, Tianin terdapat di dalam teh, kopi, dan beberapa
sayuran dan buah (Sampoerna, 2004).
Metode yang digunakan untuk pengukuran
konsumsi pangan adalah metode recall 24 jam dengan mencatat jenis dan jumlah bahan
makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu (kemarin). Biasanya
dimulai sejak bangun pagi kemarin sampai istirahat tidur malam harinya, atau
dimulai dari waktu saat wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam penuh.
Beberapa penelitian menunjukkan minimal 2 kali recall 24 jam tanpa
berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan
memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu. Pengukuran
konsumsi makanan dalam bentuk zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi
Bahan Makanan (DKBM) (Supariasa, 2002).
Tags
Patologi