Istilah kekerasan digunakan untuk
menggambarkan perilaku baik yang bersifat terbuka (overt) maupun yang sifatnya tertutup (covert) dan baik yang
bersifat menyerang (offensive)
ataupun bertahan (deffensive) yang disertai
dengan penggunaan kekuatan
kepada orang lain.
Oleh karena itu, ada empat jenis kekerasan yang
dapat diidentifikasi antara lain
- Kekerasan terbuka adalah kekerasan yang dapat dilihat seperti perkelahian
- Kekerasan tertutup yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung seperti perilaku mengancam
- Kekerasan agresif adalah kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan tetapi untuk mendapatkan sesuatu seperti pemerkosaan
- Kekerasan defensif adalah kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri.
Definisi
mengenai kekerasan dikemukakan
oleh Soetandyo, kekerasan adalah
suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi
kuat (atau yang tengah merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang
berposisi lebih lemah, bersaranakan
kekuatannya, fisik maupun non fisik yang superior dengan kesengajaan
untuk menimbulkan rasa derita dipihak yang tengah menjadi objek kekerasan
(Mufida, 2004).
Definisi
lain mengenai kekerasan
dikemukakan oleh Galtung secara komprehensif, Galtung
berpendapat bahwa: Kekerasan
terjadi bila manusia
dipengaruhi sedemikian rupa sehingga
realisasi jasmani dan
mental aktualnya berada dibawah realisasi
potensialnya. Kekerasan disini
didefinisikan sebagai
penyebab perbedaan antara
yang potensial dan
yang aktual, disatu pihak manusia mempunyai potensi yang masih ada didalam dan
dilain pihak potensi
menuntut untuk diaktualkan yaitu dengan
merealisasikan dan memperkembangkan diri
dan dunianya dengan nilai-nilai
yang dipegangnya (Santoso, 2002).
Selanjutnya Galtung
juga menguraikan enam
dimensi penting dari kekerasan
yakni:
- Kekerasan fisik dan psikologis. Dalam kekerasan fisik, tubuh manusia disakiti secara jasmani bahkan sampai pada pembunuhan sedangkan kekerasan psikologis adalah tekanan yang dimaksudkan meredusir kemampuan mental atau otak.
- Kekerasan positif atau negatif. Sistem orientasi imbalan (reward oriented) yang sebenarnya terdapat pengendalian, tidak bebas, kurang terbuka dan cenderung manipulatif meskipun memberikan kenikmatan dan euphoria.
- Ada objek atau tidak. Dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman kekerasan fisik dan psikologis meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi tindakan manusia.
- Ada subjek atau tidak. Kekerasan disebut langsung atau personal jika ada pelakunya dan bila tidak ada pelakunya disebut struktural atau tidak langsung.
- Disengaja atau tidak. Bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan, pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja tentu tidak cukup untuk melihat serta mengatasi kekerasan struktural yang bekerja secara halus dan tidak disengaja. Dari sudut korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan.
- Yang tampak dan tersembunyi. Kekerasan yang tampak nyata baik yang personal maupun struktural dapat dilihat meski secara tidak langsung sedangkan kekerasan tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan (latent) tetapi bisa dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi akan terjadi jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual dapat menurun dengan mudah.
Kekerasan
merupakan tindakan yang
terjadi dalam relasi antarmanusia sehingga untuk
mengidentifikasi pelaku dan korban harus juga dilihat posisi
relasi. Kekerasan hampir
selalu terjadi dalam
posisi hierarki, Fiorenza
menciptakan istilah kyriarkhi yang artinya situasi dalam masyarakat terstruktur
hubungan atas bawah.
Dalam hubungan masyarakat seperti ini,
kelompok yang berada diposisi atas sangat
potensial melakukan tindakan
kekerasan atau menindas kelompok
yang ada dibawahnya. Struktur dominasi ini
terjadi dalam berbagai
aspek kehidupan seperti dalam
aspek ekonomi (kaya-miskin,
majikan-buruh), aspek sosial
politik (pemerintah-rakyat), aspek sosial budaya (priayi-kaum papa,
pandai-bodoh), aspek religius (agamawan-awam), aspek umur (tua-muda) dan
aspek jenis kelamin
(laki-laki perempuan) (Murniati, 2004).
Dilihat dari aspek jenis kelamin perempuan
bisa dikatakan rentan terhadap
semua bentuk kekerasan
atau penindasan, hal
ini terjadi karena posisinya yang
lemah atau karena
sengaja dilemahkan baik
secara sosial, ekonomi maupun
politik. Namun bukan berarti laki-laki juga tidak mengalami kekerasan,
kekerasan dapat terjadi pada siapa saja selama ada salah satu pihak yang lebih
mendominasi.
Oleh
karena itulah, ketimpangan
yang ada antara
laki-laki dan perempuan bukanlah
masalah seks atau jenis kelamin yang berbeda melainkan ada konstruksi dalam
pikiran tentang realitas laki-laki dan perempuan dalam kehidupan. Karena
itulah, dalam hal
ini disepakati bahwa
harus dibedakan antara seks
dan jender dalam
rangka melihat hubungan
antara laki-laki dan perempuan serta untuk memandang posisi
dan perannya di masyarakat.
Salah
satu hal yang
menjadi isu dalam
perspektif jender yakni mengenai kekerasan. Kekerasan adalah
penyerangan ( invasi ) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis
laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh anggapan jender atau acap kali
disebut dengan gender related violence, kekerasan terjadi baik
dalam ranah publik
(pemerkosaan dan pelecehan seksual) maupun dalam kehidupan
pribadi seperti hubungan pacaran.
Banyak
macam dan bentuk kejahatan
yang bisa dikategorikan
sebagai kekerasan jender
diantaranya:
- Kekerasan dari negara yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk seperti pelanggaran terhadap hak reproduksi
- Kekerasan disektor informal misalnya pembantu rumah tangga, buruh tani dan pekerja seks
- Perkosaan
- Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence)
- Kekerasan yang dilakukan oleh pacar (dating violence).
Ideologi
jender telah melahirkan
perbedaan posisi antara
lakilaki dan perempuan yang diyakini sebagai kodrat dari Tuhan yang
tidak dapat dirubah, oleh karenanya jender mempengaruhi keyakinan tentang
bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berfikir dan bertindak. Perbedaan
posisi laki-laki dan perempuan
akibat jender tersebut
ternyata menciptakan ketidakadilan dalam
bentuk dominasi, diskriminasi
dan marginalisasi yang merupakan sumber utama terjadinya
tindakan kekerasan.
Keyakinan
bahwa kodrat perempuan
itu halus dan
posisinya berada di bawah laki-laki yakni hanya melayani dan menjadikan
perempuan sebagai properti (barang)
milik laki-laki yang
berhak untuk diperlakukan semena-mena termasuk
dengan cara kekerasan.
Ada beberapa pandangan feminisme yang melihat kekerasan
yang dialami oleh perempuan diantaranya adalah
pandangan feminisme psikoanalisis, feminisme
marxis, feminisme liberal dan
feminisme radikal.
Aliran feminisme psikoanalisis mengemukakan
bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi sebagai hasil sosialisasi yang
dialami oleh seorang laki-laki
semenjak masih kanak-kanak.
Dalam hal ini,
anak laki-laki selalu dituntut untuk memainkan perannya
sebagai seseorang yang jantan dan secara tidak langsung mempelajari mengenai
kekerasan semenjak masih kecil, hal ini dapat
terlihat pada permainan
perang-perangan yang sering
dimainkan oleh anak laki-laki
dalam proses sosialisasinya yang
mana dalam permainan tersebut mengandung unsur
kekerasan.
Dalam
hal ini, feminisme
psikoanalisis memberikan kontribusi terhadap gagasan bahwa kekerasan terhadap
perempuan yang terkait dengan kemaskulinitasan
seseorang merupakan hasil dari sosialisasi semenjak masih kanak-kanak.
Sedangkan
fokus kajian dari
perspektif marxis adalah
analisa kelas yang menempatkan
laki-laki masuk sebagai
kelas borjuis dan perempuan
dalam kelas proletariat.
Dalam kondisi kekuasaan
yang timpang tersebut maka
sangat memungkinkan jika
laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan, alasannya jelas
yakni karena kekerasan terjadi pada saat ada
ketimpangan kekuasaan dimana
seseorang merasa lebih
berkuasa atau lebih kuat dari
orang lain.
Lain
halnya dengan feminisme
liberal yang menyoroti
masalah otonomi individu perempuan sebagai warga negara dan hak
perempuan yang terpenggal. Mengenai teori
liberal klasik yang
melihat negara sebagai pelindung warga
negaranya dianggap gagal
memberikan perlindungan terhadap warganya,
negara melalui kebijakan
dan fungsi hukumnya
tidak efisien dan gagal mengatasi
kesulitan hal-hal teknis dalam mengatasi tindak kekerasan terhadap perempuan.
Akibatnya
terjadi kekerasan terhadap
perempuan yang dilegitimasi oleh
negara, hal ini
dapat dilihat dari
kegagalan negara untuk mengadili dan
memberikan hukuman terhadap
pemerkosa atau pelaku kekerasan dalam
berpacaran karena terjadi
dalam ranah privasi
yang tidak memiliki landasan
hukum yang jelas.
Pandangan
yang berbeda dikemukakan
oleh aliran feminisme radikal yang melihat bahwa sistem
seks/jender adalah penyebab fundamental opresi
terhadap perempuan yang
secara historis merupakan
kelompok tertindas yang pertama
dalam sistem sosial.
Penindasan perempuan tidak hanya
terjadi dalam konteks
pekerjaan, pendidikan dan
media akan tetapi terjadi dalam
hubungan personal yang
lebih intim seperti
pacaran dimana perempuan hanya
menjadi objek seksual bagi laki-laki.
Menurut Masters dan Johnson (1966) bahwa
konstruksi sosial dari bentuk-bentuk seksualitas tertentu sebagai normal dan
superior terhadap yang lain dan
merupakan alat universal
yang menjadi sumber
patriarki atau Adrienne Rich
menyebut hal tersebut
dengan compulsory heterosexuality.
Disini
hubungan seks dilihat
sebagai instrumen laki-laki
untuk menjalankan dominasinya terhadap
perempuan yang argumentasinya adalah
bahwa sekali tubuh perempuan
dikontrol maka seluruh
kehidupan perempuan akan dikendalikan (Jones, 2009).
Penekanan hubungan antara hegemoni seksual
dengan kekerasan terhadap perempuan dikemukakan oleh Andrienne Rich dan Andrea
Dworkin yang mengemukakan bahwa: Konstruksi
sosial dari heteroseksual
adalah presentasi publik terhadap perempuan sebagai orang yang
manja dan siap sedia untuk melayani hasrat seksual laki-laki sehingga bukan hal yang mengherankan apabila
terjadi pelecehan seksual, perkosaan dan kekerasan seksual lainnya (Jones, 2009).
Hal
tersebut juga dipertegas
oleh teori penindasan
jender yang menggambarkan situasi
perempuan sebagai akibat
dari hubungan kekuasaan langsung antara
laki-laki dan perempuan
dimana laki-laki mempunyai kepentingan mendasar
dan konkret untuk
mengendalikan, menggunakan, menaklukkan
dan menindas perempuan yakni untuk melaksanakan dominasi.
Mengacu
pada pemahaman di atas dapat
disimpulkan bahwa kekerasan sebagai
perilaku atau perbuatan
yang terjadi dalam
relasi antarmanusia baik individu maupun kelompok yang dirasakan oleh
salah satu pihak sebagai satu
situasi yang membebani,
membuat berat, tidak menyenangkan dan
tidak bebas. Situasi
yang disebabkan oleh
tindak kekerasan ini membuat pihak lain sakit baik secara fisik maupun
psikis serta rohani, dan individu
atau kelompok yang
sakit ini sulit
untuk bebas dan merdeka.
Tags
Perilaku Bullying