Determinasi natural dalam diri manusia memang ada.
Namun, individu tidak hanya sekedar memiliki sikap reaktif naturalis, seperti
pola perilaku instingtif yang menjadi ciri khas binatang. Manusia juga memiliki
sikap proaktif untuk menentukan, mengambil jarak, membuat proyek dalam rangka mengarahkan
dirinya ke masa depan. Manusia mampu membangun kehendak untuk mengafirmasi dan
meguasai, serta kemampuan membaktikan diri sepenuhnya ke arah yang dikehendaki
dengan kesetiaan dan ketekunan. Inilah cirri mekanisme internal diri manusia
yang tak dapat ditolak keberadaannya.
Manusia dianugrahi kemampuan untuk meletakkan
pertumbuhan karakternya dalam kerangka keterbatasan, namun sekaligus
kemungkinan diri manusia untuk mengatasi ket erbatasannya. Meskipun manusia
memiliki batasan atas kenyataan fisik yang mereka miliki, tidaklah dapat
diingkari bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengatasinya. Melalui akal
budinya manusia mengatasi keterbatasan fisik natural yang diterima dengan menciptakan
kultur yang sifatnya suportif atas kelanggengan hidup mereka. Melalui kesadaran
akan nilai, manusia memiliki kekuatan untuk melakukan untuk melakukan apa yang baik.
Bahkan ia bisa mengorbankan dirinya demi nilai tersebut meskipun pilihan itu
menghasilkan penderitaan, kesengsaraan, bahkan kematian bagi dirinya.
Secara natural kodrat kita memiliki keterarahan yang
oleh Mounier disebut sebagai tujuan interior (inner finality). Keterarahan dari
dalam inilah yang mengarahkan manusia dan memberikan horizon serta perspektif
ke depan yang akan diraih manusia. Dengannya, manusia mampu melemparkan dirinya
ke masa depan melalui keputusan-keputusan kecil yang dirangkainya dalam
kehidupan sehari-hari.
Karakter yang pada mulanya dipahami melalui konteks meta
psikologi, yaitu sebuah usaha memahami manusia dari dinamika psikologi yang menyertainya,
berupa kecenderungan temperamental, kini menjadi semakin terfokus pada proses
pilihan bebas manusia sebagai penentu dan penghayat nilai. Usaha pengembangan
karakter memiliki dimensi pengembangan bagi kualitas moral seseorang. “karakter
melibatkan di dalamnya pengembangan sesuatu yang esensial di mana jika sesuatu
itu dihilangkan akan menghilangkan identitas permanen individu (Paulo Freire,
1994).
Yang menjadi masalah dalam mengembangkan karakter adalah
kemampuan untuk tetap menjaga identitas permanen dalam diri manusia., yaitu semakin
menjadi sempurna dalam proses penyempurnaan dirinya sebagai manusia. Oleh
karena itu, karakter bukanlah perpanjangan keluasan hidup psikologis. Karakter
dengan demikian tidak dapat diredusir sebagai keinginan manusia untuk mencapai
kebahagiaan, ketentraman, kesenangan, dan lain-lain yang lebih merupakan
perpanjangan dari kebutuhan psikologis manusia. Karakter merupakan ciri dasar
melalui mana pribadi itu memiliki keterarahan ke depan dalam membentuk dirinya
secara penuh sebagai manusia apa pun pengalaman psikologis yang dimilikinya.
Mengingat bahwa pengembangan karakter merupakan proses
terus-menerus, karakter bukanlah kenyataan, melainkan keutuhan perilaku.
Karakter bukanlah hasil atau produk, melainkan usaha hidup. Usaha ini akan
semakin efektif ketika manusia melaksanakan apa yang memang masih mungkin bias dilakukan
oleh manusia.
Manusia berbeda dengan binatang karena ia memiliki kemungkinan-kemungkinan
yang terbuka di masa depan. Manusia mampu memodifikasi hidupnya dan membuat
sebuah proyek bagi masa depannya. Dengan demikian, manusia menghidupi gerak
maju dalam sejarahnya melewati momen vital yang menjadikan setiap pengalaman
sebagai drama singularitasnya, melalui kontardiksi, komplikasi, dan ambivalensi
yang senantiasa menjadi bagian dari pengalaman eksistensialnya. Manusia hanya
bisa mengenali karakternya jika ia mencoba mengenali dan mencintai janji-janji
yang ada dalam struktur antropoligisnya (Doni, 2007).
Perbedaan sudut pandang dan pendekatan tentang karakter
membuat para pemikir kontemporer memiliki pemaham berbeda tentang karakter. Bagi
Mounier, personalisme yang diusungnya membuat dia memahami karakter sebagai
struktur dasar antropologis manusia yang terbuka pada yang transenden. Memahami
karakter baginya adalah mengetahui , “janji-janji” yang membuat
manusia itu terbuka pada kemungkinan mengatasi keterbatasan kodratinya.
Terlebih, karakter membuat manusia mampu membuat proyek dan setia pada proyek
hidupnya untuk mengarah ke masa depan.
F.R Paulhan, misalnya, menganggap karakter sebagai
sebagai “Perilaku tipikal berbeda yang diyakini oleh pribadi berhadapan dengan
nilai-nilai estetis, ekonomis, politis, sosial dan religius”. Secara sintetis
A. Nicefero mendefinisikan karakter sebagai “ada aku di dalam masyarakat.” (A.
Niceforo, 1953). Defini lain diajukan oleh R. Diana. Ia mengatakan bahwa
karakter merupakan, “keseluruhan disposisi kodrati (congenite) dan disposisi
yang telah dikuasai secara stabil yang mendefinisikan seseorang individu dalam
keseluruhan tata perilaku psikisnya yang menjadikannya tipikal dalam cara
berpikir dan bertindak.” (R. Diana: 1964). Diana dengan persis memtakan dua
aspek dan stabilitas (kesatuan berkesinambungan dalam kurun waktu). Karena itu
ada semacam proses strukturasi psikologis dalam diri individu yang secara
kodrati sifatnya reaktif terhadap lingkungan.
Beberapa kriteria, seperti stabilitas pola perilaku,
kesinambungan dalam waktu, koherensi cara berpikir dan bertindak merupakan
proses pembentukan karakter setiap individu. Jadi karakter merupakan sebuah
kondisi dinamis struktur antropologis individu, yang tidak mau sekedar berhenti
atas determinasi kodratinya melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin
integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan
dirinya terus-menerus. Kebebasan manusialah yang membuat struktur antropologis
itu tidak determinan, melainkan menjadi faktor yang membantu pengembangan manusia
secara integral. Karakter sekaligus berupa hasil dan proses dalam diri manusia
yang sifatnya stabil dan dinamis untuk senantiasa berkembang maju mengatasi
kekurangan dan kelemahan dirinya.