Kim dan Berry (1993) memberikan pengertian indigenous
psychology “the study of human behavior or mind that is native that is not
transported from other regions, and that is designed for its people” (kajian
ilmiah tentang perilaku atau pikiran manusia yang native (asli), yang tidak
ditransportasikan dari wilayah lain, dan yang dirancang untuk masyarakatnya).
Sepuluh karakteristik indigenous psychology adalah sebagai berikut:
Pertama, indigenous psychology menekankan psikologis dalam
konteks keluarga, sosial, politik, filosofis, historis, religius, kultural, dan
ekologis.
Kedua, berlawanan dengan miskonsepsi populer, indigenous
psychology bukanlah studi tentang orang pribumi (native), kelompok etnikatau
orang yang hidup di Negara-negara Dunia Ketiga. Penelitian-penelitian tentang indigenous
telah sering dipersamakan dengan studi antropologis terhadap orang “eksotik”
yang hidup di pedalaman. indigenous psychology dibutuhkan untuk semua kelompok
kultural, pribumi, dan etnik, termasuk negara-negara yang sedang berkembang
secara ekonomis.
Ketiga, indigenous tidak mengafirmasi atau menghalangi
pemakaian metode tertentu. indigenous psychology adalah bagian dari tradisi
ilmu pengetahuan yang salah satu aspek pentingnya pekerjaan ilmiah adalah menemukan
metode-metode yang tepat untuk fenomena yang sedang diinvestigasi. Boulding
(1980) mencatat bahwa, “dalam masyarakat ilmiah adakeragaman metode yang besar,
dan salah satu masalah yang masih harus dihadapi ilmu pengetahuan adalah
perkembangan metode yang tepat yang berkorespondensi dengan bidang-bidang epistemologis
yang berbeda”.
Keempat, diasumsikan bahwa hanya orang pribumi atau insider (orang
dalam) di sebuah budaya yang dapat memahami fenomena indigenous dan kultural
dan bahwa seorang outsider (orang luar) hanya bisa memiliki pemahaman yang
terbatas. Meskipun seseorang lahir dan dibesarkan di sebuah asyarakat tertentu bias
memiliki insights tentang fenomena indigenous, tetapi hal ini mungkin tidak selalu
terjadi.
Kelima,indigenous psychology berbeda dengan psikologi naïf Heider
(1958). Heider (1958) mencatat bahwa di bidang perilaku interpersonal “the
ordinary person has agreat and profound understanding of himself and other people
which, though unformulated or vaguely conceived, enables him to interact in
more or less adaptive ways”.
Keenam, konsep-konsep indigenous telah dianalisis sebagai
contoh-contoh indigenous psychologies. Konsep philotimo di Yunani (orang yang
“sopan, berbudi, dapat diandalkan, bangga”, Triandis, 1972), anasakti di India
(“non-detachment”, Pande & Naidu, 1992), amae Jepang (“in-dulgent dependence”,
Doi, 1973), Kapwa di Filiphina (“identitas yang sama dengan orang lain”,
Enriquez, 1993), dan Jung di Korea (“kelekatan dan afeksi yang mendalam”, Choi,
Kim, & Choi, 1993) telah dianalisis dan berbagai sindroma terkait budaya)
telah diintroduksikan (Yap, 1974).
Ketujuh, banyak pakar indigenous psychology yang mencari buku-buku
filsafat atau keagamaan untuk menjelaskan fenomena indigenous. Mereka
menggunakan Philosophical treaties (seperti Confusian Classics) atau buku
keagamaan (Al-Qur‟an atau Wedha) sebagai penjelasan
fenomena psikologis.
Kedelapan,indigenous psychology diidentifikasi sebagai bagian
tradisi ilmu budaya (Kim dan Berry, 1993). Berbeda dengan ilmu fisika, biologi,
orang lain, dan dirinya (Bandura, 1997; Kim & Berry, 1993). Oleh karena kita
adalah agen perubahan, maka kita adalah subjek dan sekaligus objek penelitian.
Kesembilan,indigenous psychology menganjurkan pengaitan antara
humanitas (misalnya, filsafat, sejarah, agama, dan kesastraan, yang difokuskan
pada pengetahuan analitis, analisis empirik, dan verifikasi).
Kesepuluh, Enriquez (1993) mengidentifikasi dua titik awal
penelitian dalam indigenous psychology: indigenization from without dan indigenization
from whitin.Indigenization fro without melibatkan mengambil teori, konsep, dan metode
psikologi yang sudah ada dan memodifikasi mereka agar cocok dengan konteks
budaya lokalnya.