Bismillah. mungkin pembaca sebelumnya pernah mendengar atau membaca kisah "mencintai penanda dosa" ini. Tidak ada salahnya saya tulis kembali untuk bisa diambil pelajaran berharga dari kisah ini. kisah yang akan anda baca
ini dicopas dari blog Ustadz Salim A. Fillah
Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri
sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk
mereka yang rugi-rugi.”
Subhanallah ... Allahu Akbar ...."The
couple amazing words" yang dapat saya ucapkan untuk memuji keagunganNya .Sungguh
manusia benar-benar dalam keadaan lalai, mudah terjerumus kedalam dosa,
cenderung pada kesenangan yang melenakan, akhirnya terperangkap dalam dosa. Allah
telah menciptakan manusia dengan khas,bukan malaikat yang hanya mengenal kata
"tunduk", bukan pula iblis sang pembangkang. Tapi manusia memiliki
sifat keduanya, yakni sifat fujur dan takwa, adakalanya sifat fujur lebih
dominan, begitupun sebaliknya.Jika bukan karena kemurahanMu ya Allah, sungguh
kami benar-benar dalam kerugian.
Mari jadikan kisah berikut ini sebagai
pelajaran, untuk tidak bermudah-mudahan dalam berinteraksi dengan lawan jenis.
Apapun kondisinya. Bagaimanapun caranya. Terlebih lagi dengan bumbu "ta’aruf
syar’i", "khitbah", namun tanpa diiringi dengan ilmu yang benar dalam
penerapannya? Syaithan begitu bersemangatnya dalam menggelincirkan manusia.
Apabila yang berlabel "aktivis dakwah" saja tergelincir dalam tipu muslihatnya,
bagaimanatah lagi dengan kami yang sekadar berlabel ‘orang awam”?
**********
“Saya
hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di
suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah.
Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan
hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf,
dia jauh lebih tangguh dari saya.
“Ah,
surga masih jauh.”
Kisahnya dimulai dengan cerita indah di
semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh,
akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati
rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar
dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan
bahagia di nafasnya.
Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki
yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh
terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’
di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah
mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan
berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi
niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.
Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah
itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya
datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah
agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka
berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan
bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar
batas syari’at tetap terjaga.
“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut
karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan
berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah.
“’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar
rencana hari ini tetap berjalan?”
“Sayangnya
tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”
“Masalahnya
besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada
waktu lagi. Bagaimana?”
Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah
seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi
bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu
keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di
tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun
kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di
belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan.
AstaghfiruLlah.”
Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua
saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu
tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk
hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan,
syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami
bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan
dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang
ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik
pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.
“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”,
lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa
yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan
ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami
kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok
belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau.
Kami merasa hancur.”
Dan
kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di
tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.
“Setelah hampir empat bulan koma”,
sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu
diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil.
Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada
pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu
bagi orang yang terluka oleh dosa.
“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh
dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya,
ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”
“Subhanallah”, saya memekik pelan dengan hati
menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu.
Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya
Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian
yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia
tak sabar menyeru kaumnya.
“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya.
Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak
pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di
hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika
keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih
bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan,
“Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil
ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal
karena frustrasi?”
“Doakan
saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas
ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga
sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh
hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.
***hikmah yang dapat kita ambil adalah jangan pernah menyepelekan
dosa kecil apapun, jangan biarkan pintu maksiat terbuka sekecil apapun sehingga
memberi peluang syetan untuk melakukan muslihatnya.
Jangan pula menghakimi orang yang melakukan kesalahan, karena manusia
tempatnya salah dan lupa. Bahkan sekaliber para nabi dan Rasul pun pernah
berbuat salah, Namun Allah mengilhamkan untuk kembali dan memperbaiki diri.
Tags
Islam