Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penyimpangan Perilaku Makan (IV) yaitu:
Kekerasan Fisik
Sebuah
studi oleh Fairburn dan rekan (1999) menemukan bahwa kekerasan fisik dan
kekerasan fisik yang parah berulang kali yang dalami oleh perempuan berhubungan
secara signifikan sebagai salah satu faktor risiko anoreksia nervosa. Perempuan
yang pernah mengalami kekerasan fisik berisiko 4,9 kali lebih tinggi untuk
menderita anoreksia nervosa. Risiko mengalami anoreksia nervosa meningkat menjadi
14,9 kali pada perempuan yang mengalami kekerasan fisik yang parah berulang kali.
Studi lainnya oleh Fairburn, et al (1998) juga menemukan hubungan antara
kekerasan fisik dengan kejadian BED. Perempuan yang mengalami kekerasan fisik
yang parah berulang kali memiliki risiko 10 kali lebih tinggi untuk mengalami BED.
Penelitian Moore, et al (2002) melaporkan bahwa para perempuan kulit putih dan
kulit hitam penderita BED mengalami kekerasan fisik lebih tinggi secara signifikan
daripada objek pembanding yang sehat. French, et al (1995) menemukan bahwa
kekerasan fisik memiliki hubungan yang bermakan dengan perilaku purging.
Perempuan
yang pernah mengalami kekerasan fisik 1,93 kali lebih berisiko untuk melakukan
perilaku purging, sementara pada laki-laki risikonya sebesar 1,74 kali. Rorty,
et al (1994) menemukan bahwa angka kekerasan emosional dan fisik lebih tinggi
secara signifikan di antara perempuan yang didiagnosis sebagai penderita bulimia
nervosa daripada perempuan yang tidak memiliki riwayat penyimpangan perilaku
makan. Sebagai tambahan, mereka juga menemukan bahwa perempuan yang didiagnosis
menderita bulimia nervosa lebih banyak yang melaporkan pengalaman berbagai
bentuk kekerasan/pelecehan di masa kecilnya dibandingkan dengan perempuan yang
tidak mengalami penyimpangan perilaku makan. Mirip dengan hasil studi
sebelumnya, Kent dan rekan (1999) menginvestigasi pengalaman kekerasan/pelecehan
masa kecil dengan kejadian penyimpangan perilaku makan. Mereka menemukan bahwa
jika berbagai bentuk kekerasan dievaluasi secara simultan (menggunakan
regresi), hanya kekerasan emosional yang secara signifikan berhubungan dengan
penyimpangan perilaku makan walaupun hanya dalam besaran yang kecil (Mazzeo dan
Espelage, 2002).
Pelecehan Seksual
Penelitian
Moore, et al (2002) melaporkan adanya hubungan antara pelecehan seksual dengan
penyimpangan perilaku makan baik pada perempuan kulit putih maupun pada
perempuan kulit hitam. Fairburn, et al (1998) melaporkan bahwa perempuan yang
mengalami pelecehan seksual 5,7 kali lebih berisiko untuk mengalami BED. Di
dalam studi lainnya, Fairburn dan rekan (1999) juga melaporkan bahwa perempuan
yang pernah mengalami pelecehan seksual 3,4 kali lebih berisiko untuk mengalami
anoreksia nervosa. Jika pelecehan yang dialaminya merupakan pelecehan seksual
yang parah yang dilakukan berulang kali, risiko perempuan itu untuk mengalami
anoreksia nervosa meningkat drastis menjadi 15,3 kali. French, et al (1995)
menyebutkan dalam studinya bahwa perempuan yang pernah mengalami pelecehan
seksual berisiko 1,6 kali untuk mengadopsi perilaku purging. Sanci, et al
(2008) juga menemukan hubungan yang bermakna pada studinya tentang pengalaman
pelecehan seksual sebelum 16 tahun pada remaja putri dengan kasus baru bulimia
nervosa dan anoreksia nervosa. Remaja putri yang pernah mengalami dua kali atau
lebih pelecehan seksual tanpa kontak fisik sebelum usia 16 tahun memiliki
risiko 4,6 kali lebih tinggi untuk menimbulkan kasus baru bulimia nervosa dan
2,4 kali lebih tinggi untuk menimbulkan kasus baru anoreksia nervosa. Remaja
putri yang pernah mengalami dua kali atau lebih pelecehan seksual dengan kontak
fisik sebelum usia 16 tahun memiliki risiko 5,3 kali lebih tinggi untuk menimbulkan
kasus baru bulimia nervosa. Remaja putri yang pernah mengalami dua kali atau
lebih pelecehan seksual dalam bentuk apapun sebelum usia 16 tahun memiliki
risiko 5,7 kali lebih tinggi untuk menimbulkan kasus baru bulimia nervosa.
Banyak
studi memperlihatkan bahwa terdapat hubungan di antara pelecehan seksual dengan
perkembangan penyimpangan perilaku makan. Banyak dari orang yang pernah
mengalami pelecehan seksual telah berubah menjadi seseorang dengan penyimpangan
perilaku makan dan menemukan bahwa penyimpangan tersebut membantu mereka untuk
melindungi mereka, membendung kenangan mereka yang menyakitkan dan mematikan
perasaan mereka. Korban dari pelecehan seksual seringkali mengembangkan sebuah
mekanisme coping untuk bertahan dari kenangan akan pelcehan yang pernah
dialami. Penyimpangan perilaku makan merupakan salah satu mekanisme coping yang
umum dilakukan bagi para korban pelecehan seksual. Penyimpangan itu bisa
membantu mereka menghalangi kenangan buruk mereka tentang pelcehan yang pernah
dialami. Bagi mereka, penyimpangan perilaku makan menjadi alasan satu-satunya
untuk bertahan (NN H, 2008).
Tiemeyer
(2007) mengatakan kapanpun terjadi efek dari pelecehan seksual sangatlah
mendalam. Seorang gadis 14 tahun yang mengalami pelecehan ketika berusia 6
tahun akan mudah berpikir bahwa tubuhnya jelek akibat rasa malu yang timbul
dari pengalaman pelecehannya. Tidak semua orang yang mengalami penyimpangan
perilaku makan memiliki riwayat pelecehan seksual, tetapi pelecehan seksual
umum terjadi di masa lalu para penderita penyimpangan perilaku makan. Sebuah
episode binge menciptakan suatu kenikmatan sementara orang tersebut menjadi
mematikan perasaannya. Purging setelahnya merupakan jalan penolakan terhadap
kenikmatan tersebut dan menggeser perasaan jijik pada diri yang datang akibat
menikmati sesuatu.
Walaupun
banyak studi yang menyebutkan bahwa pelecehan seksual berhubungan dengan
kejadian penyimpangan perilaku makan, Wonderlich dan rekan (1997) mencatat
sebanyak 53 studi tentang pelecehan seksual dan penyimpangan perilaku makan di
tahun 1987-1994 melaporkan hasil yang tidak konsisten. Salah satu penjelasan
yang diajukan oleh mereka adalah kebanyakna penelitian gagalmempertimbangkan
pengaruh dari mediator potensial atau mediator hubungan antara pelecehan
seksual dengan penyimpangan perilaku makan. Kinzl dan rekan (1994) tidak
menemukan hubungan yang signifikan antara pelecehan seksual dengan penyimpangan
perilaku makan pada sampel mahasiswa perempuan. Tetapi mereka menemukan bahwa
tingkat keparahan penyimpangan perilaku makan meningkat sejalan dengan semakin
tingginya difungsi keluarga. Penemuan ini menggariskan perlunya evaluasi lebih
lanjut tentang pengaruh potensial dari fungsi keluarga terhadap hubungan
pelecehan seksual dengan penyimpangan perilaku makan (Mazzeo dan Espelage,
2008).
Dinamika Keluarga
Dinamika
keluarga dan pendekatan orang tua kepada anak telah diajukan sebagai salah satu
penyebab penyimpangan perilaku makan. Penelitian mengindikasikan remaja yang
mempersepsikan bahwa kepedulian dan ekspektasi orang tua yang rendah
terhadapnya memiliki risiko untuk mengalami penyimpangan perilaku makan.
Pengaruh ibu juga diargumentasikan sebagai faktor yang berkontribusi secara
negatif. Seorang ibu yang menyampaikan perhatiannya tentang berat badan dan
bentuk tubuh dengan bertindak sebagai role model, dengan langsung mengkritik
atau dengan interaksi makan yang tidak sesuai menambah kemungkingan timbulnya
kejadian penyimpangan perilaku makan (Fairburn dan Hill dalam Geissler dan
Powers, 2005). Minuchin dan rekan (1978) telah mengidentifikasi sejumlah karaktersitik
keluarga yang mereka percaya sebagai karakteristik khas pada keluarga penderita
anoreksia nervosa. Karakteristik tersebut diantaranya terlalu protektif, kaku,
tidak adanya usaha menyelesaikan konflik keluarga dan atmosfir keluarga yang hanya
mengijinkan sedikit privasi. Faktor stres terkait dengan keluarga lainnya yang berimplikasi
pada kejadian anoreksia nervosa dan bulimia nervosa, yaitu orang tua yang
cenderung melarang anaknya untuk bersosialisasi, keluarga dengan ketertarikan yang
tidak biasa pada makanan, berat badan atau bentuk tubuh, salah satu atau kedua orang
tua bekerja pada industri makanan atau pakaian dan keluarga dengan riwayat anoreksia
nervosa atau obesitas (Gilbert dalam Garrow dan James, 1993).
Keluarga
dari penderita anoreksia nervosa kemungkinan besar merupakan keluarga yang
sangat kritis dan memberikan penilaian yang lebih pada tampilan fisik serta
mengabaikan nilai internal diri. Orang tua mungkin menentang kekuasaan orang
lain dan terombang-ambing antara mempertahankan perilaku anoreksia si anak atau
menghukumnya. Hal ini akan membingungkan si anak dan mengacaukan kontrol normal
orang tua. Berdasarkan hasil observasi, berdiet, berargumen, kritik terhadap
berat badan atau bentuk tubuh, perhatian dan kepedulian yang rendah merupakan
hal umum didapatkan pada keluarga dengan penderita bulimia (Sizer dan Whitney,
2006). CNN (2006) juga melaporkan bahwa orang yang merasa kurang aman bersama
keluarganya, orang tuanya atau saudaranya selalu mengkritik, mengejek atau
menghina tentang penampilannya berada dalam tingkat risiko yang tinggi untuk
mengalami penyimpangan perilaku makan. Keluarga yang selalau menginginkan
kesempurnaan, keluarga yang terlalu protektif, keluarga yang kacau, keluarga
yang tertutup dan keluarga yang bercerai meruakan beberapa tipe keluarga yang
bisa membuat kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku makan menjadi lebih
besar (Tiemeyer, 2007).