Genetik
Terdapat beberapa bukti tentang hubungan
antara genetik dengan penyimpangan perilaku makan. Beberapa studi telah
memeriksa kejadian anoreksianervosa dan bulimia nervosa pada anak kembar. Studi
tersebut menemukan bahwa anoreksia dan bulimia memiliki kemungkinan yang lebih
besar untuk muncul pada kedua anak kembar jika meraka merupakan kembar identik
daripada kembar fraternal (Sarafino, 1998). Romano dalam Goldstein (2005)
mencontohkan sebuah studi tentang keterkaitan genetik dengan penyimpangan
perilaku makan. Studi oleh Theander memperkirakan 6,6% risiko pada seorang
perempuan yang bersaudara kandung dengan penderita anoreksia. Treasure dan
Murphy dalam Gibney, et al (2005) menyebutkan dari sebuah studi keluarga,
ditemukan bahwa risiko untuk mengalami penyimpangan perilaku makan pada perempuan
yang mempunyai saudara yang mengalami anoreksia nervosa maupun bulimia nervosa
meningkat 5-7 kali lipat. Studi lain menyebutkan 20% saudara perempuan dari
penderita anoreksia nervosa mengalami beberapa bentuk penyimpangan perilaku
makan dibandingkan dengan 4% grup pembanding dengan perilaku makan normal.
Dampak dari garis keturunan diperkirakan lebih dari 50%. McDuffie dan Krikley
dalam Krummel dan Etherton (1996) mengatakan para klinisi seringkali menemukan
seorang saudara perempuan, bibi atau bahkan ibu dari seorang penderita
penyimpangan perilaku makan memiliki sikap atau tindakan abnormal seputar
makanan dan citra tubuh. Baik anoreksia maupun bulimia lebih umum terjadi di antara
kerabat kandung daripada diharapankan berdasarkan kebetulan. Studi pada orang
kembar memperlihatkan bahwa keturunan memiliki nilai 41-56% pada kejadian
anoreksia nervosa. Mekanisme genetik sebagai faktor predisposisi dari kejadian
penyimpangan perilaku makan sedikit demi sedikit mulai terkuak. Sebuah studi
menemukan bahwa orang yang mengalami anoreksia dua kali kemungkinannya memiliki
variasi pada gen yang berfungsi sebagai reseptor serotonin pada bagian yang
membantu menentukan nafsu makan. Karena adanya produksi serotonin yang
berlebihan, terdapat kemungkinan bahwa orang yang mengalami anoreksia
terus-menerus berada dalam keadaan stres seperti stres pada perkelahian atau
ketika terbang. Kondisi ini menyebabkan terjadinya rasa cemas yang berlebihan
secara konstan (Tiemeyer, 2007).
Studi lain oleh Dr. Kaye yang memeriksa kelainan
perilaku, kadar serotonin, dopamin dan norepinefrin sejumlah pasien bulimia
yang telah pulih. Dr. Kaye menemukan bahwa dibandingkan dengan orang yang tidak
memiliki riwayat bulimia, para penderita yang telah pulih masih memiliki kadar
serotonin yang abnormal, mood yang negatif dan obsesi dengan perfeksionisme dan
ketepatan. Kadar substansi kimiawi yang lainnya seperti dopamin dan norepinefrin
berada dalam perbandingan yang normal (Tiemeyer, 2007). Salah satu kandidat gen
yang diselidiki kemungkinannya dengan kejadian anoreksia nervosa adalah wilayah
promotor gen 5HT52A. Beberapa kelompok menemukan bahwa risiko mengalami
anoreksia nervosa dua kali lebih besar pada orang dengan promotor gen tersebut
bila dibandingkan dengan orang yang tidak memilikinya (Treasure dan Murphy
dalam Gibney, et al., 2005).
Sosiokultural
Lingkungan sosial budaya juga memiliki peran
terhadap perkembangan penyimpangan perilaku makan di berbagai populasi. Studi
oleh Medscape’s General Medicine (2004), memperlihatkan hasil prevalensi
anoreksia nervosa antara negaranegara Barat dengan negara-negara non-Barat. Di
negara Barat prevalensi anoreksia nervosa pada perempuan berkisar antara
0,1-5,7% dan prevalensi bulimia nervosa berkisar antara 0,3-7,3%. Sementara itu
di negara-negara non-Barat prevalensi bulimia nervosa berkisar antara
0.46-4.32% (ANRED, 2005). Sebuah studi skala besar membandingkan persepsi
tentang citra tubuh antara perempuan Negro yang tinggal di Kanada, Amerika,
Afrika dan Karibia. Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa seluruh perempuan
Negro lebih senang dengan bentuk tubuh yang tegap dan berisi. Sebuah studi lain
mencoba membandingkan persepsi citra tubuh, rasa percaya diri dan perilaku
makan diantara perempuan Asia, perempuan Asia yang telah terpapar dengan
idealisme Barat dan perempuan Australia. Dari studi tersebut terlihat bahwa
perilaku makan diantara ketiga kelompok tersebut cenderung sama, tetapi penilaian
akan bentuk tubuh sangatlah berbeda. Perempuan Australia lebih tidak puas dengan
bentuk tubuhnya bila dibandingkan dengan perempuan Cina. Perempuan Cina yang
telah berakulturasi dengan budaya Barat juga memiliki kepuasan yang lebih
rendah terhadap bentuk tubuhnya. Pada sebuah studi awalan yang membandingkan
antara gadis Asia dengan gadis Kaukasia, didapatkan hasil sebanyak 3,4% gadis
Asia dan 0,6% gadis Kaukasia menderita bulimia. Perbedaan ini mengindikasikan
adanya perbedaan kejadian penyimpangan perilaku makan antarbudaya (Carlisle,
2008).
Menurut Grange, et al (1998), populasi non-Barat
cenderung terlindungi dari tren penyimpangan perilaku makan. Sebuah studi yang
mendukung pernyataan ini menemukan bahwa perempuan Kaukasia memiliki perhatian
yang lebih tinggi terhadap berat badan dan bentuk tubuh dibandingkan dengan
wanita. Fairburn dan Hill dalam Geissler dan Powers (2005) mengatakan bahwa
penyimpangan perilaku makan memperlihatkan adanya spesifikasi budaya.
Penyimpangan perilaku makan banyak terjadi pada negara dengan jumlah makanan
yang melimpah, dimana badan yang kurus dianggap sebagai bentuk tubuh yang ideal
dan dimana diet menjadi sebuah kebiasaan yang umum. Treasure dan Murphy dalam
Gibney, et al (2005) juga mengatakan bahwa terdapat kemungkinan sebuah budaya
yang berfokus pada diet akan memicu terjadinya penyimpangan perilaku makan yang
lebih banyak. Hill menyatakan bahwa sebuah budaya yang menggariskan kurus
sebagai sebuah jalan menuju sukses, seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat
membuat orang menjadi lebih rentan untuk mengalami penyimpangan perilaku makan.
Pada budaya tersebut,makin kurus seseorang makin bernilai ia di mata
masyarakat. Sehingga tidak heran jika orang akan berlomba-lomba menjadi kurus
dengan berbagai cara (Wardlaw dan Kessel, 2002).
Read dalam Wahlqvist (1997) mengatakan bahwa
tekanan sosial atau lingkungan seperti teman sebaya juga turut berkontribusi
terhadap kejadian penyimpangan perilaku makan. Seorang remaja yang menemukan
bahwa dengan mengontrol atau memanipulasi berat badannya ia dapat memelihara
hubungan pertemanannya, akan cenderung terus mengontrol atau memanipulasi berat
badannya agar ia tetap dapat disukai/dihargai oleh lingkungan sekitarnya.
Menurut Fairburn
dan
Hill dalam Geissler dan Powers (2005), teman sebaya juga berpengaruh dalam membuat
seseorang merasa bersalah karena tidak memiliki bentuk tubuh atau berat badan
yang ideal menurut mereka.
Perilaku Diet
Menurut Tiemeyer (2008), di antara sejumlah
faktor yang memperkuat kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku makan,
berdiet mungkin merupakan faktor yang paling berbahaya. Mereka yang berdiet
secara moderat memiliki kemungkinan 5 kali lebih besar untuk mengalami penyimpangan
perilaku makan dibandingkan dengan orang yang tidak berdiet. Mereka yang
berdiet sangat ketat memiliki kemungkinan 18 kali lebih besar. Patton dan rekan
dalam Brown (2005) menemukan dalam studinya bahwa Relative Risk dari orang yang
berdiet untuk mengalami penyimpangan perilaku makan 8 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan orang yang tidak berdiet. Penelitian Krowchuk, et al (1998)
menemukan hubungan yang signifikan secara statistik antara berdiet dengan
perilaku muntah yang disengajaatau penggunaan laksatif untuk menurunkn berat badan.
Penelitian Alison, et al (1999) menemukan bahwa frekuensi diet merupakan faktor
prediktor bagi dimulainya perilaku purging setidaknya dalam hitungan bulan pada
tahun yang sama. Odds Ratio frekuensi diet terhadap perilaku purging sebesar
1,5 dengan nilai 95%CI berkisar antara 1,3-1,7. Sarafino (1998) menyatakan
bahwa orang yang mengalami anoreksia ataupun bulimia berawal dari orang yang
mencoba berdiet secara normal ttapi cenderung memiliki perhatian yang besar
terhadap berat badan mereka. Sehingga lama-kelamaan mereka mulai menggunakan
cara-cara yang ekstrim. Tiemeyer (2008) mengatakan bahwa berdiet menciptakan
berbagai dinamika yang dapat memperkuat terjadinya penyimpangan perilaku makan
seperti halnya pelecehan seksual dan ejekan dari teman. Perbedaan mendasarnya,
yaitu bahwa berdiet merupakan suatu perilaku atau kebiasaan yang dianggap
normal dan malah disebarluaskan pada budaya Barat. Pada survei NASH (1988),
sebanyak 61% remaja sekolah tingkat delapan dan sepuluh melaporkan melakukan
diet selama setahun terakhir. Di tahun 1990, Youth Risk Behavior Survey
melaporkan sebanyak 43,7% remaja putri SMA mencoba untuk menurunkan berat
badannya. Sebuah studi di awal tahun 90-an melaporkan sebanyak 45% anak perempuan
usia 8-13 tahun ingin menjadi lebih kurus dan 37%-nya telah mencoba untuk
menurunkan berat badannya (Story dan Alton dalam Krummel dan Etherton, 1996).
Sebuah studi yang melibatkanemapt negara bagian di Amerika Serikat menemukan
bahwa sebanyak 44% remaja putri dan 37% remaja putra yang berusia antara 12-17
tahun telah melakukan diet. Fisher dan koleganya menyimpulkan bahwa 50-60%
remaja putri menganggap diri mereka kegemukan dan telah berusaha untuk berdiet.
Sebuah studi pada anak usia 9- 12 tahun menemukan bahwa sebanyak 16-50% anak
perempuan telah berdiet (Brown, 2005).
Fairburn, et al (2005) dalam penelitiannya
tentang orang yang berdiet menyimpulkan bahwa pembatasan asupan meningkatkan
risiko terjadinya penyimpangan perilaku makan melalui mekanisme kognitif dan
psikologis. Saat diet dimulai, makanan menjadi musuh. Jika anda melihat makanan
yang disukai, anda merasa terganggu karena mungkin makanan tersebut merupakan
makanan yang dilarang oleh program diet anda. Jika anda menemukan makanan yang
diperbolehkan oleh program diet anda, seringkali anda malah merasa terganggu karena
makanan tersebut tidak anda sukai. Keadaan ini akan menimbulkan perasaan putus
asa yang lam-kelamaan semakin menumpuk dan akhirnya secara perlahan anda
terjerumus ke dalam penyimpangan perilaku makan (Tiemeyer, 2008). McDuffie dan
Kirkley dalam Krummel dan Ehterton (1996) menyatakan pembatasan asupan yang berlebihan
akan menimbulkan kekurangan energi dan kelaparan. Rasa lapar tersebut jika
dikombinasikan dengan tambahan stres, depresi, kecemasan atau rasa tidak sabar karena
program diet yang dijalani tidak berjalan secepat yang diharapkan memicu kepada
rasa frustasi dan makan secara berlebihan. Pada orang yang akan mengalami penyimpangan
perilaku makan, perilaku makan yang berlebihan secara cepat akan diikuti dengan
perasaan bersalah dan kecemasan akan kenaikan berat badan. Reaksi dari rasa
takut dan cemas tersebut bisa saja berupa berhenti berdiet dan menjadi obesitas
atau berdiet kronis yang diikuti dengan puasa atau perilaku purging