Apa saja Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Penyimpangan Perilaku Makan? Apa yang menyebabkan sebuah perilaku makan
yang eksentrik seperti anoreksia dan bulimia nervosa bisa timbul? Jawabannya
masih belum jelas. Sarafino (1998) menyatakan faktor biologis, psikologis dan
budaya ada kaitannya dengan timbulnya penyimpangan tersebut. Rosen dan Neumark-Sztainer
mengelompokkan faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan penyimpangan perilaku
makan menjadi tiga domain, yaitu faktor sosio environ mental termasuk di dalamnya
norma kultur sosial, norma teman sebaya, pengalaman kekerasan dan pengaruh
media. Faktor personal termasuk di dalamnya biologis/gen, IMT, usia, jenis
kelamin, rasa percaya diri dan citra tubuh. Faktor ketiga yaitu faktor perilaku
termasuk di dalamnya perilaku makan, pola makan, diet, perilaku coping, aktivitas
fisik dan ketrampilan dalam sosialisasi (Brown, 2005).
Herzog dan Bradburn dalam Cooper dan Stein
(1992) menyatakan faktor kepribadian dan perkembangan, tekanan sosiokultural,
hubungan dalam keluarga, predisposisi biologis dan riwayat keluarga akan
psikopatologi merupakan faktorfaktor yang bisa meningkatkan risiko remaja untuk
mengalami penyimpangan perilaku makan. Hill menyebutkan bahwa sebuah masyarakat
dengan budaya “langsing sebagai sesuatu yang ideal menuju kesuksesan” seperti
pada budaya Amerika dan Eropa Barat membuat orang lebih rentan untuk mengalami penyimpangan
perilaku makan (Wardlaw dan Kessel, 2002). Sizer dan Whitney (2006) mengatakan
bahwa perilaku tertentu terutama perilaku orang tua juga mempengaruhi timbulnya
penyimpangan perilaku makan. Keluarga dari penderita penyimpangan perilaku
makan cenderung untuk kritis dan berlebihan dalam menilai penampilan fisik
anaknya. Faktor genetik, kepercayaan diri yang rendah, pola makan dan citra
tubuh juga merupakan faktor penyebab penyimpangan perilaku makan (Treasure dan
Murphy dalam Gibney, et al., 2005).
Field, et al (1999) menyebutkan bahwa teman
sebaya dan tren mempengaruhi nilai dan perilaku mengontrol berat badan pada
remaja perempuan. Selain itu, dalam laporannya juga disebutkan bahwa studi cross
sectional pada remaja SMA dan universitas memperlihatkan bahwa pubertas dini, jenis
kelamin perempuan, berdiet secara teratur, perhatian pada berat badan, tekanan
teman sebaya, ejekan tentang berat badan, rasa percaya diri yang rendah dan
riwayat overweight berhubungan positif dengan penyimpangan perilaku makan
Tiemeyer (2007) menyebutkan bahwa jenis kelamin, usia, dinamika keluarga, perilaku,
diet, pelecehan atau trauma, kejadian pemicu, genetik dan situs proanoreksia
dan pro-bulimia merupakan faktor risiko bagi penyimpangan perilaku makan. Namun
yang juga perlu diperhatikan bahwa beberapa faktor risiko saling tumpang-tindih
atau dengan kata lain beberapa faktor risiko berkontribusi untuk menimbulkan
faktor risiko yang lainnya.
Usia
Menurut Brown (2005), secara definisi remaja
adalah sebuah periode kehidupan yang berlangsung antara usia 11 sampai 21
tahun. Pada fase ini terjadi perubahan yang sangat besar pada aspek biologis,
emosional, sosial dan kognitif dimana seorang anak berkembang menjadi dewasa.
Sementara itu remaja merupakan fase usia yang rentan untuk mengalami penyimpangan
perilaku makan. ANRED (2005) menyatakan anoreksia dan bulimia terutama
mempengaruhi orang pada usibelasan tahun dan usia 20-an. Penelitian Lee, et al
(2005) tentang kasus anoreksi nervosa di Singapura memperlihatkan hasil rerata
usia onset gejala anoreksia pada usia 15,5 tahun dengan standar deviasi sebesar
3,85.
Pepatah bijak mengatakan bahwa anoreksia dan
bulimia paling umum terjadi pada usia remaja. Mereka yang termasuk ke dalam
fase remaja, baik itu remaja awal maupun remaja akhir sama-sama berada pada
fase berisiko tinggi untuk mengalami penyimpangan perilaku makan. American
Psychiatric Association (1994) mengatakan bahwa rerata usia saat onset
anoreksia nervosa terjadi yaitu pada usia 17 tahun dimana banyak kasus
mengklaster sekitar usia 14 dan 18 tahun. Sedangkan onset usia untuk bulimia
cenderung kurang spesifik. Walaupun kemudian ditemukan bukti-bukti yang
mengindikasikan bahwa bulimia dimulai pada fase remaja lanjut sampai akhir
(Tiemeyer, 2007).
Walaupun remaja merupakan usia yang paling
rentan untuk mengalami penyimpangan, ada laporan tentang kasus penyimpangan
perilaku makan yang dialami oleh anak usia 6 tahun dan orang tua usia 76 tahun
(ANRED, 2005).
Tiemeyer (2007) mengatakan orang pada usia 60-an
masih memiliki kemungkinan untuk mengalami penyimpangan perilaku makan.
Kebanyakan dari kasus penyimpangan tersebut merupakan sisa dari pengalaman
penyimpangan perilaku makan yang dimulai beberapa dekade sebelumnya. Namun ada
juga yang merupakan kasus baru. Salah satu penjelasan yang umum untuk
menjelaskan mengapa kasus penyimpangan perilaku makan terjadi pada usia remaja
salah satunya adalah jumlah stresor yang sangat fantastis yang dihadapi pada
usia tersebut (terutama pada remaja putri). Bentuk tubuh berubah pada awal fase
remaja. Sehingga bagi orang yang merasa tertekan oleh kebutuhan untuk bertambah
dewasa ini kadang menggunakan anoreksia untuk menjaga agar tetap kecil. Bahkan
berhenti bertambah tinggi karena kekurangan nutrisi dan remaja biasanya tidak
menyadarinya jika ditanyakan mengenai persoalan ini (Tiemeyer, 2007). Penjelasan
serupa juga disebutkan dalam Wardlaw dan Kessel (2002) bahwa periode remaja merupakan
periode dimana terjadi pergolakan tekanan seksual dan sosial. Remaja mencari
dan seringkali mengharapkan untuk memiliki kehidupan yang independen. Mereka
juga berusaha diterima dan mendapatkan dukungan dari teman sebaya dan orang
tua. Secara bersamaan tubuh mereka mengalami perubahan di luar kendali mereka.
Sebagai respon atas tidak adanya kontrol dan mekanisme coping yang dilakukan,
berdiet mungkin saja menjadi pelarian. Anoreksia nervosa seringkali dimulai
dari sebuah usaha sederhana untuk berdiet.
Jenis Kelamin
Cohen, Brownell dan Felix (1990) dalam
Sarafino (1998) menuliskan bahwa mulai usia 11 tahun perempuan lebih
menginginkan tubuh mereka untuk menjadi lebih kurus. Fairburn dan Hill dalam
Geissler dan Powers (2005) mengestimasi untuk laki-laki kurang dari 0,5 kasus
per 100.000 populasi per tahun. Dari hasil ini terlihat bahwa anoreksia nervosa
lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan rasio prevalensi
kasus pada laki-laki:perempuan sebesar 1:6 sampai dengan 1:10. Eating Disorder
Coalition (2008) melaporkan bahwa penyimpangan perilaku makan lebih sering
terjadi pada perempuan. Tetapi angka kejadian untuk BED cenderung sama antara
perempuan dan laki-laki. ANRED (2005) memperkirakan hanya sekitar 10% dari
kasus penyimpangan perilaku makan yang dialami oleh lakilaki. Selain itu, ANRED
juga menyebutkan bahwa risiko seorang perempuan untuk mengalami penyimpangan
perilaku makan 3 kali lebih besar bila dibandingkan dengan laki-laki. Namun data
terbaru menyatakan presentase penderita laki-laki pada kasus penyimpangan
perilaku makan mendekati angka 25% (ANRED, 2005).
Foley dari ANAD (2008) menyebutkan bahwa 1
dari 100 wanita berusia antara 12-25 tahun mengalami anoreksia dan 1 dari 7
wanita pada rentang usia yang sama mengalami bulimia. Sementara kejadian anoreksia
dan bulimia pada laki-laki lebih jarang, hanya berkisar antara 10-15%. Hampir
serupa dengan data statistik yang disebutkan sebelumnya, sekitar 90-95% dari
seluruh kasus anoreksia nervosa dan 80% kasus bulimia nervosa dialami oleh
perempuan (Tiemeyer, 2007). Tren tersebut juga terlihat pada sebuah studi
nasional skala besar dengan sampel sebanyak 6.728 remaja. Hasilnya
memperlihatkan 13% remaja perempuan dan 7% remaja laki-laki mengalami EDNOS
seperti memuntahkan makanan dengan sengaja, minum obat pencahar, muntah yang
disengaja atau binge eating (Brown ,2005). Terlihat bahwa perbandingan kasus
EDNOS antara perempuan dengan laki-laki hampir mendekati 2:1. Berarti hanya
sepertiga kasus yang dialami oleh laki-laki, sisanya dialami oleh perempuan.
Mengapa penyimpangan perilaku makan lebih
banyak dialami oleh perempuan? Salah satu penyebab yang mungkin bisa dijadikan
argumen adalah adanya tekanan budaya tentang citra tubuh. Sementara citra tubuh
mungkin saja menjadi hal penting bagi laki-laki, citra tubuh memiliki pengaruh yang
lebih kuat pada perempuan. Perempuan yang overweight atau memiliki kekurangan
lain pada penampilannya seringkali memiliki pilihan yang terbatas karena
lingkungan dengan segera mengucilkan mereka (Tiemeyer, 2007). Hal ini juga
menunjukkan adanya ketimpangan ekspektasi dari lingkungan antara laki-laki
dengan perempuan. Lakilaki cenderung diarahkan untuk menjadi kuat dan
bertenaga. Mereka akan merasa malu jika memiliki badan yang kurus dan akan mendambakan
memiliki badan yang besar dan kuat. Di lain pihak, perempuan cenderung
diarahkan untuk menjadi kecil dan kurus. Mereka kemudian berdiet untuk menurunkan
berat badan. Hal ini membuat mereka menjadi rentan untuk mengalami
binge-eating. Beberapa diantaranya menciptakan kontrol berlebihan. Berdiet dan
kelaparan merupakan dua dari sekian banyak kejadian pemicu yang paling kuat
untuk menimbulkan penyimpangan perilaku makan (ANRED, 2005).Herzog dan Bradburn
dalam Cooper dan Stein (1992) mengatakan bahwa tingginya angka insiden kasus
penyimpangan perilaku makan pada perempuan mengindikasikan bahwa perempuan
lebih berisiko untuk mengalami penyimpangan perilaku makan. Ada kemungkinan fenomena
ini disebabkan oleh lebih besarnya tekanan sosial pada perempuan untuk tampil
langsing. Menurut Sarafino (1998), faktor budaya juga menjadi salah satu penyebab
lebih banyaknya perempuan mengalami penyimpangan perilaku makan. Kecantikan
memegang peranan penting dalam stereotipe perempuan di banyak budaya termasuk
budaya Barat. Budaya Barat telah mengalami perubahan mengenai idealisme mereka
tentang kecantikan seorang perempuan. Bertahun-tahun lalu, seorang perempuan
yang cantik ideal adalah seorang perempuan yang lebih bulat dengan ukuran dada
dan pinggul yang lebih besar. Setelah tahun 1960-an, figur ideal seorang perempuan
menjadi lebih kurus dan tekanan sosial pada perempuan untuk menjadi langsing
meningkat.