Apa saja Dampak Anoreksia Nervosa? Herzog dan
Bradburn dalam Cooper dan Stein (1992) mengatakan bahwa banyak komplikasi fisik
yang dapat terjadi akibat anoreksia nervosa. Jenisnya pun bervariasi, terutama
mempengaruhi sistem utama dari tubuh manusia, yaitu: kardiovaskular,
hematologi, gastrointestinal, renal, endokrin dan skeletal. Kebanyakan dari
komplikasi yang terjadi merupakan efek primer dan sekunder dari kelaparan.
Secara khas, remaja dengan anorexia nervosa nampak lebih muda dari remaja
seusinya, meunjukkan terjadinya cachexia dan atrofi dada. Kulit seringkali kering
dan cenderung berwarna kuning. Sementara itu komplikasi kardiovaskular yang
paling dikhawatirkan adalah terjadinya brakikardia.
Secara umum penderita anoreksia nervosa bisa
mengalami perubahan pada kulit dan rambut tubuh dengan ciri khas timbulnya
lanugo (Treasure dan Murphy dalam Gibney, et al., 2005). Lanugo adalah rambut
tipis/halus yang tumbuh pada kulit yang menahan udara dalam rangka mengurangi
hilangnya panas tubuh dan juga menggantikan fungsi insulator lapisan lemak yang
hilang (Wardlaw dan Kessel, 2002). Menurunnya kekuatan otot dan stamina, menurunnya
substansi otak, jantung yang mengecil seiring dengan hilangnya otot, penurunan
kesuburan dan fungsi reproduksi, penurunan fungsi pada sistem endokrin,
abnormalitas pada saluran pencernaan dan kelainan pada darah merupakan dampak
lain yang bisa terjadi padaseseorang yang mengalami anoreksia nervosa (Treasure
dan Murphy dalam Gibney, et al, 2005). Wardlaw dan Kessel (2002) menyebutkan
kerentanan terhadap infeksi yang disebabkan menurunnya jumlah sel darah putih
juga menjadi dampak pada penderita anoreksia.
Menurut Grosvenor dan Smolin (2002), jika dilihat
mulai dari awal seseorang mengalami anoreksia nervosa, maka pada awalnya orang
tersebut akan mengalamikehilangan berat badan. Saat kehilangan berat badan
menjadi parah, gejala dari sindrom kelaparan akan mulai muncul. Beberapa
diantaranya, yaitu penurunan cadangan lemak, kelemahan otot, penurunan
pertumbuhan, aktivitas metabolik menurun, penurunan suhu tubuh dan energi ekspenditur.
Menurunnya cadangan lemak memicu tubuh menjadi tidak toleran terhadap dingin
yang kemudian berujung pada timbulnya lanugo. Pada perempuan akan terjadi
penurunan tingkat hormon estrogen yang akan berakibat pada terjadinya amenorrhea,
sedangkan pada laki-laki terjadinya penurunan tingkat hormon testosteron.
Amenorrhea, hilangnya berat badan dan cadangan lemak dan rendahnya asupan
Kalsium dan vitamin D berkontribusi terhadap terjadinya penurunan aktivitas
pembentukan tulang, meningkatkan kehilangan tulang dan risiko osteoporosis.
Sejalan dengan itu Dr. Il menyebutkan bahwa penderita anoreksia dikhawatirkan
akan mengalami osteoporosis pada saat orang tersebut mencapai usia menapouse
(Efron, 2008). Hal ini dibuktikan kemudian dibuktikan oleh sebuah penelitian
yang menyebutkan bahwa 38-50% penderita anoreksia mengalami osteoporosis (NN B,
2008).
Pada tahap akhir, lanjut Grosvenor dan Smolin
(2002) akhir dari fase kelaparan adalah abnormalitas keseimbangan elektrolit,
dehidrasi, edema, abnormalitas jantung, tidak adanya benda keton akibat deplesi
cadangan lemak dan berujung pada infeksi yang menyebabkan meningkatnya
kebutuhan nutrisi. Organorgan tubuh menyusut sejalan dengan tidak terpenuhinya
kebutuhan nutrisi dan tidak lagi dapat menjalankan fungsi esensialnya. Suhu
tubuh dan tekanan darah turun drastis, detak jantung menjadi tidak beraturan
dan dapat memicu terjadinya cardiac arrest. Ung (2005) juga menyatakan bahwa
banyak dari gejala klinis yang dialami oleh penderita anoreksia nervosa
merupakan gejala sekunder sebagai reaksi tubuh terhadap upaya melaparkan diri orang
tersebut. Gejala ini mencakup: amenorrhea, pubertas yang tertunda, atrophic
vaginitis, konsipasi, hiperkolestrolaemia, hipofosfatemia, hipercortisolaemia,
osteopenia, hipotensi, hipotermia dan beberapa gejala lainnya.
Selain dampak pada fisik seseorang, banyak penelitian
juga dilakukan untuk mengetahui kontribusi anoreksia nervosa sebagai salah satu
penyebab kematian. Herzog dan Bradburn dalam Cooper dan Stein (1992) menyebutkan
sebuah penelitian kohort berbasis rumah sakit dengan waktu follow up 10 tahun
menemukan bahwa angka kematian akibat anoreksia mencapai 6,6%. Seluruh kejadian
kematian yang paling tinggi (Tiemeyer, 2007). National Institute of Mental Health
(2006) menyebutkan angka mortalitas diantara orang yang mengalami anoreksia
diperkirakan sebesar 0,56% per tahun atau kira-kira 5,6% per dekade. Angka ini
12 kali lebih tinggi daripada angka mortalitas tahunan untuk semua penyebab
kematian pada wanita usia 15-24 tahun di populasi umum.