Umumnya pelanggaran hak cipta didorong untuk mencari
keuntungan finansial secara cepat dengan mengabaikan kepentingan para pencipta
dan pemegang izin hak cipta. Perbuatan para pelaku jelas melanggar fatsun hukum
yang menentukan agar setiap orang dapat mematuhi, menghormati, dan menghargai
hak-hak orang lain dalam hubungan keperdataan termasuk penemuan baru sebagai
ciptaan orang lain yang diakui sebagai hak milik oleh ketentuan hukum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi warga masyarakat untuk melanggar HKI menurut
Parlugutan Lubis antara lain adalah:
- Pelanggaran HKI dilakukan untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pelanggaran tersebut;
- Para pelanggar menganggap bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan selama ini terlalu ringan bahkan tidak ada tindakan preventif maupun represif yang dilakukan oleh para penegak hukum;
- Ada sebagian warga masyarakat sebagai pencipta yang bangga apabila hasil karyanya ditiru oleh orang lain, namun hal ini sudah mulai hilang berkat adanya peningkatan kesadaran hukum terhadap HKI;
- Dengan melakukan pelanggaran, pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut tidak perlu dibayar kepada pemerintah; dan
- Masyarakat tidak memperhatikan apakah barang yang dibeli tersebut asli atau palsu (aspal), yang penting bagi mereka harganya murah dan tertjangkau dengan kemampuan ekonomi.
Dampak dari kegiatan tindak pidana hak cipta tersebut
telah sedemikian besarnya merugikan terhadap tatanan kehidupan bangsa di bidang
ekonomi, hukum dan sosial budaya. Di bidang sosial budaya, misalnya dampak
semakin maraknya pelanggaran hak cipta akan menimbulkan sikap dan pandangan
bahwa pembajakan sudah merupakan hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat dan tidak
lagi merupakan tindakan melanggar undang-undang (wet delicten).
Pelanggaran hak cipta selama ini lebih banyak terjadi
pada Negara-negara berkembang (developing countries) karena ia dapat memberikan
keuntungan ekonomi yang tidak kecil artinya bagi para pelanggar (pembajak)
dengan memanfaatkan kelemahan system pengawasan dan pemantauan tindak pidana
hak cipta.
Harus diakui, upaya pencegahan dan penindakan terhadap
pelanggaran hak cipta selama ini belum mampu membuat jera para pembajak untuk
tidak mengulangi perbuatannya, karena upaya penanggulangannya tidak optimal.
Bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta antara lain berupa
pengambilan, pengutipan, perekaman, pertanyaan, dan pengumuman sebagian atau
seluruh ciptaan orang lain dengan cara apapun tanpa izin pencipta/pemegang hak
cipta, bertentangan dengan undang-undang atau melanggar perjanjian.
Dilarang undang-undang artinya undang-undang hak cipta tidak
memperkenankan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, karena
tiga hal yakni:
- Merugikan pencipta,/pemegang hak cipta, misalnya memfotokopi sebagian atau seluruhnya ciptaan orang lain kemudian dijualbelikan kepada masyarakat luas
- Merugikan kepentingan Negara, misalnya mengumumkan ciptaan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan atau
- Bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, misalnya memperbanyak dan menjual video compact disc (VCD) porno.
Melanggar perjanjian artinya memenuhi kewajiban tidak
sesuai dengan isi kesepakatan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak,
misalnya dalam perjanjian penerbitan karya cipta disetujui untuk dicetak
sebanyak 2000 eksemplar, tetapi yang dicetak/diedarkan di pasar adalah 4000 eksemplar. Pembayaran royalty kepada
pencipta didasarkan pada perjanjian penerbitan, yaitu 2000 eksemplar bukan 4000
eksemplar.
Ini sangat merugikan bagi
pencipta.Pelanggaran hak cipta menurut ketentuan Ikatan Penerbit Indonesia
(IKAPI) pada tanggal 15 Februari 1984 dapat dibedakan dua jenis, yakni:
- Mengutip sebagian ciptaan orang lain dan dimasukkan ke dalam ciptaan sendiri seolah-olah ciptaan sendiri atau mengakui ciptaan orang lain seolaholah ciptaan sendiri. Perbuatan ini disebut palgiat atau penjiplakan yang dapat terjadi antara lain pada karya cipta berupa buku, lagu, dan notasi lagu, dan;
- Mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana yang aslinya tanpa mengubah bentuk isi, pencipta, dan penerbit/perekam. Perbuatan ini disebut dengan piracy (pembajakan) yang banyak dilakukan pada ciptaan berupa buku, rekaman audio/video seperti kaset lagu dan gambar (VCD), karena menyangkut dengan masalah a commercial scale.
Pembajakan terhadap karya orang lain seperti buku dan
rekaman adalah salah satu bentuk dari tindak pidana hak cipta yang dilarang
dalam UndangUndang Hak Cipta. Pekerjaannya liar, tersembunyi, dan tidak
diketahui orang banyak apalagi oleh petugas penegak hukum dan pajak. Pekerjaan
tersembunyi ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari penangkapan pihak
kepolisian. Para pembajak tidak akan mungkin menunaikan kewajiban hukum untuk
membayar pajak kepada negara sebagaimana layaknya warga negara yang baik.
Pembajakan merupakan salah satu dampak negatif dari kemajuan iptek di bidang
grafika dan elektronika yang dimanfaatkan secara melawan hukum (ilegal) oleh
mereka yang ingin mencari keuntungan dengan jalan cepat dan mudah.
Pasal 72 UU No.19 Tahun 2002 menentukan pula bentuk perbuatan pelanggaran
hak cipta sebagai delik undang-undang (wet delict) yang dibagi tiga kelompok,
yakni:
- Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan untuk mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan, dan ketertiban umum;
- Dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain penjualan buku dan VCD bajakan;
- Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.
Dari ketentuan pasal 72 tersebut, ada dua golongan
pelaku pelanggaran hak cipta yang dapat diancam dengan sanksi pidana. Pertama,
pelaku utama adalah perseorangan maupun badan hukum yang dengan sengaja
melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang. Termasuk pelaku
utama ini dalah penerbit, pembajak,
penjiplak, dan pencetak. Kedua, pelaku pembantu adalah pihak-pihak yang
menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum setiap ciptaan yang
diketahuinya melanggar hak cipta atau melanggar larangan UndangUndang Hak
Cipta. Termasuk pelaku pembantu ini adalah penyiar, penyelenggara pameran,
penjual, dan pengedar yang menyewakan setiap ciptaan hasil kejahatan/pelanggaran
hak cipta atau larangan yang diatur oleh undang-undang.
Kedua golongan pelaku pelanggaran hak cipta diatas dapat
diancam dengan sanksi pidana oleh ketentuan UU No.19 Tahun 2002. Pelanggaran
dilakukan dengan sengaja untuk niat meraih keuntungan sebesar-besarnya, baik
secara pribadi, kelompok maupun badan usaha yang sangat merugikan bagi
kepentingan para pencipta.
Tags
Hukum