Pada
waktu itu sikap para umat tentang larangan riba sangat banyak. Kepatuhan umat
terhadap larangan riba ini diarahkan kepada kegiatan-kegiatan ekonomi yang
tidak terlarang, dan telah terbukti mampu mengantarkan umat Islam kepada masa
kejayaannya mulai sekitar tahun 633 masehi hingga ratusan tahun kemudian. Pada
masa Rasulullah secara umum bank adalah suatu lembaga yang melaksanakan tiga
fungsi utama yang menerima simpanan uang, meminjamkan uang dan memberikan jasa
pengiriman uang.
Di dalam
sejarah perekonomian umat Islam pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang
sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak zaman
Rasulullah. Praktek-praktek seperti ini menerima penitipan harta, meminjamkan
uang untuk keperluan konsumsi dan juga untuk keperluan bisnis, serta melakukan
pengiriman uang telah dilakukan sejak zaman Rasulullah.
Salah
satu kegiatan usaha yang paling dominan dan sangat dibutuhkan keberadaannya di
dunia ekonomi dewasa ini adalah kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan, oleh
karena fungsinya sebagai pengumpul dana yang sangat berperan demi menunjang
pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.
Dengan
demikian, fungsi-fungsi utama perbankan modern yaitu menerima deposit,
menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan umat Islam bahkan sejak zaman Rasulullah SAW.
Rasululah SAW yang dikenal dengan julukan Al-Amin, dipercaya oleh masyarakat
Makkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke
Madinah, ia meminta Ali bin Abi Thalib untuk mengembalikan semua titipan itu
kepada para pemiliknya. Dalam konsep ini, pihak yang dititipi tidak dapat
memanfaatkan harta titipan.
Oleh
karena bunga uang secara fiqih dikategorikan sebagai riba yang berarti haram,
di sejumlah negara Islam dan berpenduduk mayoritas Muslim mulai timbul
usaha-usaha untuk mendirikan lembaga bank alternatif non-ribawi. Hal ini
terjadi terutama setelah bangsa-bangsa Muslim memperoleh kemerdekaannya dari
para penjajah bangsa Eropa. Usaha modern pertama untuk mendirikan bank tanpa
bunga pertama kali dilakukan di Malaysia pada pertengahan tahun 1940-an tetapi
usaha ini tidak sukses. Eksperimen lain dilakukan di Pakistan pada akhir tahun
1950-an, di mana suatu lembaga perkreditan tanpa bunga didirikan di pedesaan
negara itu.
Gagasan
mengenai Bank Syariah telah muncul sejak lama, ditandai dengan banyaknya
pemikir-pemikir muslim yang menulis tentang keberadaan Bank Islam, misalnya
Anwar Qureshi (1946), Naeim Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952).
Secara
kolektif gagasan berdirinya bank syariah di tingkat internasional muncul dalam
konferensi negara-negara Islam sedunia di Kuala Lumpur, Malaysia pada bulan
April 1969 yang diikuti 19 negara peserta.
Konferensi tersebut menghasilkan beberapa
hal yaitu:
- Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak ia termasuk riba dan riba itu sedikit/banyak haram hukumnya
- Diusulkan supaya dibentuk suatu bank syariah yang bersih dan sistem riba dalam waktu secepat mungkin
- Sementara waktu menunggu berdirinya bank syariah, bank-bank yang menerapkan bunga diperbolehkan beroperasi, namun jika benar-benar dalam keadaan darurat.
Istilah
lain yang digunakan untuk sebutan Bank Islam adalah Bank Syariah. Bank Islam
adalah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan
jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang
pengoperasiannya telah disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syariat Islam. Bank
Islam wajib mengikuti dan berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang ada pada
zaman Rasulullah, bentuk-bentuk yang sudah ada ataupun bentuk- bentuk usaha
yang baru dan tidak menyimpang dari ketentuan Al-Quran dan Hadis.
Kemudian
sejarah lainnya bagi perkembangan bank Islam yaitu dengan didirikannya Islamic
Development Bank (IDB). Pendiriannya diawali dengan sidang menteri luar negeri
negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi, Pakistan pada bulan
Desember 1970, dimana Mesir mengajukan proposal untuk mendirikan bank syariah
Internasional. Setelah melalui persetujuan negara-negara OKI lainnya dan
tahapan-tahapan tertentu, maka pada tahun 1975 berdirilah Islamic Development
Bank (IDB) yang beranggotakan 22 negara Islam pendiri.
Lembaga
ini kemudian berperan penting dalam memenuhi kebutuhan dana negara-negara Islam
untuk pembangunan dan secara aktif memberi jaminan bebas bunga berdasarkan
partisipasi modal negara tersebut. Di samping itu, berdirinya IDB juga
memotivasi banyak negara lain untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Pada
akhir periode 1970-an dan awal dekade 1980-an, lembaga keuangan syariah
bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, dan
Turki.
Di Indonesia,
bank syariah yang pertama didirikan pada tahun 1992 adalah Bank Muamalat
Indonesia (BMI). Walaupun perkembangannya agak terlambat bila dibandingkan
dengan negara-negara muslim lainnya, perbankan syariah di Indonesia terus
berkembang. Bank Muamalat Indonesia yang diprakarsai oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bila pada periode tahun
1992-1998 hanya ada satu unit Bank Syariah, maka pada tahun 2005, jumlah bank
syariah di Indonesia telah bertambah menjadi 20 unit, yaitu 3 bank umum syariah
dan 17 unit usaha syariah.
Bank
Muamalat sempat terkena permasalahan oleh krisis moneter pada akhir tahun
90-an. Kemudian, Islamic Development Bank (IDB) memberikan pemasukan dana
sehingga pada periode 1999-2002 dapat kembali bangkit dan menghasilkan laba.
Saat ini keberadaan Bank Syariah di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang
yaitu UU No.10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan
serta lebih spesifiknya pada Peraturan Pemerintah No.72 tahun 1992 tentang Bank
berdasarkan prinsip bagi hasil.
Tags
Bank dan Asuransi