Reward
berada eksternal sebagai sumber motivasi bersama punishment haruslah
disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan anak. Kadang anak belum mampu
melakukan penilaian yang lebih matang terhadap tindakan yang telah dilakukan. Non-verbal,
seperti kecupan, pelukan, dan semisalnya akan lebih efektif diberikan ketika
anak belum fasih atau perhatian mereka belum fokus kepada bahasa ucapan yang
terkesan rumit dan membingungkan. Berbeda kasus ketika anak sudah terbiasa dan
tidak asing dengan bahasa verbal, maka pujian dengan kadar dan intensitasnya
yang tepat dan seimbang akan lebih mengena untuk diberikan.
Sebaliknya
ketika anak memasuki masa remaja, bentuk-bentuk reward seperti ini tidak akan berguna lebih
banyak. Karena sudah mulai mengenal diri dan menganggap mampu untuk mandiri,
perhatian yang berlebih hanya akan membuat mereka merasa terkekang, tidak bebas
menentukan pilihan. Apapun perlakuan yang diperbuat orang tua terhadap anak,
kesemuanya merupakan ekspresi perhatian orang tua terhadap anaknya. Jika bentuk
perhatian ini berlebih, over protectif, maka anak akan merasa terkekang, tidak
nyaman dalam berbuat. Sehingga akan menimbulkan kepercayaan diri berkurang pada
diri anak.
Tindakan
benar semisal pada kasus anak pada jam sekolah belum juga pulang ke rumah,
orang tua memasak makanan yang disukai oleh anak. Lalu menghubungi anak dengan
menggunakan bahasa verbal semisal, “sayang, ibu masak sup kesukaanmu loh, cepat
dicicipi nanti keburu dingin”. Dengan tidak menanyakan langsung keberadaan dan
tidak langsung menyuruh untuk pulang, si anak akan merasa dihargai. Hasilnya
akan berbeda ketika orang tua menggunakan kata langsung, seperti “kamu sedang
di mana, kok belum pulang? inikan jam pulang sekolah, cepat pulang!”
Kalau
ditelusuri lebih lanjut, mendiktekan ancaman kepada anak terkesan seolah-olah
merupakan anjuran bagi anak untuk mengulangi suatu perbutan yang dilarang. Hal
ini disebabkan segala bentuk ancaman atau peringatan dirasakan sebagai suatu
tantangan dan pukulan terhadap otonomi dan pribadi anak. Sehingga jika ia
memiliki harga diri, ia akan terus melanggarnya bahwa ia bukan boneka yang
segalanya diatur dan dipermainkan orang.
Semisal
dalam kasus sederhana, seorang kakak menembaki adiknya dengan pistol mainan.
Kejadian ini disimak oleh Ibu yang sedang asyik nonton televisi, dengan
peringatan dan ancaman kurang lebih seperti: “Jangan menembaki adikmu, nanti
kena mata, kuhajar kau!” Ancaman ini berulang-ulang, jika si kakak memiliki
harga diri sudah barang tentu ia tidak akan menghiraukan dan mengabaikannya. Karena
ancaman hanya akan mengusik otonomi dan harga diri anak. Coba kalau Ibu
selanjutnya mengambil tindakan dan mengambil pistol dan menanamkan pengertian
bahwa perbuatan tersebut berbahaya dapat mencederai si adik. Tindakan ibu
menjadi lebih efektif karena langsung menghentikan kesalahan serta si anak
merasa dihargai dengan menghindari ancaman dan cacian.
Apabila
seseorang disakiti, tentu dampak yang dirasakan adalah rasa sakit. Secara fisik
rasa sakit terjadi hanya secara insidental, akan tetapi secara psikologis akan
membekas dan menjelma menjadi trauma yang berkepanjangan, dan pada akhirnya
menimbulkan perkembangan kurang baik pada anak. Di saat anak sedang mengalami
pekembangan, belum memiliki jati diri, masih mencari identitas, seharusnya
lebih banyak mendapatkan bimbingan, dorongan, dan perlindungan dari seseorang
yang dianggap sebagai sosok ideal, didewasakan. Akan tetapi, jika yang
diterimanya adalah sebaliknya, tentunya akan menimbulkan kekecewaan dan rasa
ketidakpercayaan. Sehingga akibatnya anak mengambil jarak hubungan emosional
tertentu dan memiliki kecenderungan menyembunyikan berbagai informasi yang
seharusnya disampaikan. Akibatnya mereka terkesan berbuat tidak jujur dalam
bertindak, karena kekecewaan dan rasa ketidakpercayaan tersebut. Oleh karena
itu, dengan melihat indikasi tersebut, menimpakan hukuman fisik rasanya harus
berpikir dua kali.
Intensitas
reward yang terlalu juga menyebabkan suatu anggapan bahwa kemampuan anak
sekaligus menyangsikan sifat-sifat baik yang dimilikinya. Bila kemampuan
seseorang bertindak hanya demi hadiah, maka ada sesuatu yang kurang padanya.
Tindakan yang didasari untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan lupa akan
hasrat yang ada di baliknya untuk berjasa. Akhirnya tidak ada kepedulian untuk
berbuat dengan sungguh-sungguh, hanya sekedar melakukan apa yang menjadi
persyaratan mendapatkan hadiah, jelas sekali ini tidak sehat. Hadiah tidak
lebih hanya sebagai pelicin atau suap, bukan sebagai motivasi dari tujuan
sebenarnya yaitu perbuatan baik itu sendiri dalam rangka memoralkan
perilaku.
Di sisi
lain, hal ini juga akan menimbulkan ketergantungan dalam bertindak, seseorang
hanya akan bertindak dengan benar jika ada reward di baliknya. Memanjakan anak
dengan reward yang berlimpah hanya akan memupuk rasa manja dan ketidakpercayaan
akan kemampuannya, sehingga anak menjadi lebih depensif menunggu apa yang akan
didapatkanya.
Begitu pula,
jika anak sejak kecil sudah dibiasakan hidup dengan dorongan kekerasan dan
ancaman, ini dikarenakan ada aggapan orang tua untuk memulihkan kewibawaan,
padahal tanpa disadari pola pikir ini adalah memaksakan kehendak dan
menunjukkan superioritas, akan menimbulkan efek negatif pada kepribadiaannya.
Anak akan tumbuh dan berkembang menjadi individu yang lemah dan gampang
menyerah pada nasib dan tidak memiliki inisiatif. Dampak lain, imitasi sebagai
sumber utama pembelajaran pada anak, akan mendapatkan pembenaran untuk
menirunya setelah dewasa.
Oleh
karena itu, faktor bijak dalam intensitas dan variasi pemberian reward dan
punishment harus diperhatikan agar tidak salah kaprah, mengena, dan memiliki
nilai positif terhadap respon anak. Akan lebih baik lagi penggunaan komunikasi
yang lancar menjadi jembatan hubungan harmonis dan juga merupakan aspek yang
penting di dalam proses pendidikan moral anak. Agar ada kejelasan antara
keinginan dan hal-hal yang berhubungan dengan anak dan orang tua sendiri. Orang
tua merindukan anak memiliki nilai-nilai moral yang tinggi, di lain pihak anak
memiliki keinginan dan kebutuhan semisal rasa kasih ingin dihargai dan kasih
sayang.
Pengembangan
kasih sayang dengan bijak sebagai kunci utama dan pertama dalam menangani,
melayani, dan memenuhi kebutuhan anak. Hakikat dari pembinaan anak sesungguhnya
bersandar kepada hati nurani orang tua. Kegelisahan, kemurungan hati orang tua
dengan satu dan lain cara, akan dilampiaskan kepada anak keturunannya. Anak
yang dibesarkan dalam suasana serba konflik jauh dari kasih sayang, akan
terjadi suatu kecenderungan anak mengalami keresahan jiwa dengan
tindakan-tindakan yang negatif.