Namun,
pada saat ini banyak fenomena yang mengarah pada bentuk ketidakpercayaan
masyarakat terhadap signifikansi proses pendidikan dalam sistem sekolah formal
untuk merubah kualitas hidup. Proses yang terjadi di sekolah dianggap sebagai
ritual formalitas yang berkisar dari menjemukan sampai dengan menyiksa anak,
namun perlu dilakukan agar mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah berupa
ijazah untuk bisa memasuki jenjang selanjutnya. Sekolah hanya dianggap sebagai
lembaga pemberi ijazah. Di tingkat perguruan tinggi, terungkapnya kasus
pembelian gelar dan ijazah sebagai jalan pintas yang juga melibatkan beberapa
pejabat dan anggota dewan merupakan pucuk gunung es dari ketidakpercayaan
terhadap proses pembelajaran dalam sistem formal.
Sejalan
dengan hal tersebut muncul sekolah-sekolah alternatif yang diprakarsai oleh
lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ketika masyarakat tergerak untuk mengambil
alih kembali pendidikan, muncul pendidikan alternatif yang diprakarsai sejumlah
lembaga swadaya masyarakat. Terdapat sanggar anak, sekolah anak rakyat,
komunitas pinggir kali, dan sebagainya. Dan akhir-akhir ini yang lebih
menggembirakan lagi, muncul sebuah gerakan sekolah rumah (homeschooling) sebagai bentuk
ketidakpercayaan kepada sekolah formal. Walaupun masih belum cukup banyak
dibanding kompleksitas berbagai permasalahan dalam masyarakat, upaya-upaya
alternatif ini merupakan bagian dari dinamika proses negosiasi dimensi formal
dan non-formal dari pendidikan.
Prasetyawati
(2006) mengatakan bahwa kegiatan belajar yang dialihkan dari sekolah ke rumah
(homeschooling) disebabkan oleh ketidakpuasan orang tua terhadap sistem
pendidikan, ketidaksesuaian anak terhadap mata pelajaran sehingga tidak bisa
mengembangkan potensi anak, pergaulan di sekolah yang memberi dampak buruk,
misalnya: penyalahgunaan obat terlarang yang sudah menyusup di kalangan
pelajar, serta adanya fleksibilitas dalam memberikan pelajaran oleh orang
tua.
Ibuka
(dalam Sukadji, 2000) menyatakan tulisannya mengenai pendidikan anak, bahwa
anak hendaknya mulai dididik sejak lahir oleh orang tuanya sendiri. Pendidikan
anak pada hakikatnya berasal dari rumah dan yang menjadi guru pertama kali
dalam hidup anak adalah orang tua, yang mana pendidikan dalam rumah dapat
membuat anak sehat jasmaninya, lebih bermental fleksibel, lebih cerdas, dan
lebih sopan. Yulfiansyah (2006) mengatakan bahwa pada homeschooling yang
menjadi guru untuk mendidik dan mengajarkan anak adalah orang tua. Selanjutnya orang tua dapat pula mengundang
siapa saja untuk memberikan transfer keahlian pada anak-anaknya, bisa seorang
mahasiswa untuk bidang yang dikuasainya, seorang suster untuk masalah
kesehatan, seorang satpam untuk belajar bela diri, seorang cleaning service
untuk kegigihan dan kesungguhan dalam bekerja, seorang buruh pabrik, dan lain
sebagainya. Pada dasarnya dengan pengalaman yang mereka miliki, wawasan anak didik
menjadi lebih berkembang oleh karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa
oleh siapa saja.
Suyanto
(2006) mengatakan bahwa orang tua yang ragu-ragu terhadap kualitas pendidikan
formal yang ada, sah-sah saja jika ingin mendidik sendiri anaknya di rumah.
Namun, tentu materinya harus sesuai dengan standard yang berlaku. Untuk itulah
anak-anak yang mengikuti homeschooling harus menempuh ujian kesetaraan, yang
dapat diikuti melalui lembaga yang dikelola oleh pemerintah, seperti di Sanggar
Kegiatan Belajar-Unit Pelaksaanaan Teknis Daerah (SKB-UPTD) yang sudah menyebar
di seluruh kabupaten di Indonesia, dan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM) yang penyebarannya mencapai tingkat kelurahan. Dengan demikian anak yang
homeschooling dapat memperoleh ijazah sama seperti anak yang sekolah di sekolah
formal, dan dapat melanjutkan pendidikannya di sekolah yang lebih tinggi
pula.
Tags
Homeschooling
hanya sayangnya biaya yang dikeluarkan terhitung cukup mahal ya untuk homeschooling yang memang berkualitas...
BalasHapus