Dilihat
dari sifatnya sebenarnya terorisme telah muncul sejak berabad-abad yang lalu.
Catatan sejarah membuktikan bahwasanya terorisme telah muncul berabad abad yang lalu. Lequeuer dalam
kajiannya menyatakan bahwasanya terorisme sebagai fenomena telah muncul pada
tahun 66-67 sebelum masehi. Ia mendiskripsikan perjuangan kaum Zealot atas
komunitas Yahudi dengan tindakan kekerasan (Sicarii).
Pada
dasarnya terorisme merupakan penyakit social yang menimpa seluruh bangsa di
belahan dunia. Ia hadir dengan ragam bentuk sesuai dengan kontek sosiologis
masing-masing. Misalnya, Amerika Serkit pernah disibukkan dengan terorisme yang
bersifat rasial (white superemacy), yang memandang bahwasanya kulit putih
adalah lebih hebat (supereor) dari pada kulit hitam (inferior). Hal serupa juga terjadi di Negara-nergara lain
seperti irak, iran, dan sepanyol dan beberapa tempat yang lain, walaupun dengan
warna yang berbeda, yaitu agama yang menjadi pendorong utamanya. Sebagai benalu
kemanusiaan terorisme melibatkan semua kalangan, ia tidak melihat
latarbelakangi etnik, suku, agama dan ragam kelas social.
Secara
definitif terorisme sendiri sampai saat ini masih mengalami silang pendapat
(Debateble). Tidak adanya kesepakatan tersebut dilatarbelakangi oleh
kompleksitas masalah (baca motif) yang
melingkupi dibalik tindakan terorisme, sehingga mengakibatkan pengertian terorisme
itu sendiri masih diinterpretasi dan dipahami secara berbeda-beda. Sejalan dengan
itu, Jack Gibbs berpendapat bahwa kontroversi tersebut tentunya didasarkan pada
fakta bahwa pemberian lebel terhadap aksi terorisme akan merangsang adanya
kecaman-kecaman yang keras terhadap pelakunya. Karena itu upaya untuk
mendefinisikannya tidak akan lepas dari bias politik maupun ideologi.
Oleh
karenanya, bisa di pahami bahwasanya tidak ditemukannya definisi teorisme yang
baku disebabkan oleh banyaknya pihak yang berkepentingan dengan isu terorisme
terutama terkait dengan politik, salah satunya adalah opini Peter
Rösler-Garcia, seorang ahli politik dan ekonomi luar negeri dari Hamburg,
Jerman menyatakan tidak ada suatu negara di dunia ini yang secara konsekuen
melawan terorisme. Sebagai contoh, Amerika Serikat sebagai negara yang paling
gencar mempropagandakan isu “Perang Global Melawan Terorisme”, membiayai
kelompok teroris "IRA" di Irlandia Utara atau gerakan bersenjata
"Unita" di Angola. Hal serupa juga dilakukan oleh Negara-negara timur
tengah (Arab Saudi) dengan memberi aliran dana atau mensubsidi yayasan- yayasan
salafi-radikal di Indonesia.
Banyaknya
kepentingan yang berlatar belakang politik, menyebabkan pemahaman mengenai
terorisme menjadi bias, yang menambah tajamnya perbedaan sudut pandang.
Perbedaan sudut pandang ini terlihat dalam kasus invasi Amerika Serikat ke Irak
pada 2003. Amerika Serikat melegitimasi tindakannya menginvasi Irak karena
menganggap Irak sebagai teroris sebab Irak memiliki senjata pemusnah masal,
namun disisi lain, banyak negara yang menyatakan Amerika sendiri lah yang
merupakan negara teroris (state terrorist), karena telah melakukan invasi ke
negara berdaulat tanpa persetujuan dari dewan keamanan PBB.
Terlepas dari banyaknya kepentingan (politik)
dalam pendefinisian terorisme, ada aspek lain yang menyulitkan ditemukannya
definisi terorisme secara objektif. Kesulitannya tersebut terletak dalam
menentukan secara kualitatif bagaimana suatu tindakan dapat dikategorikan
sebagai terorisme. Terminologi “Teror” yang merupakan kata dasar dari
“terorisme” bersifat sangat subjektif. Artinya, setiap orang memiliki batas
ambang ketakutannya sendiri, dan secara subjektif menentukan apakah suatu
peristiwa merupakan teror atau hanya peristiwa biasa. Lebih jauh, Grant Wardlaw
mengaitkan masalah terorisme dengan persoalan moral. Dalam artian, ada sebagian
tindakan terorisme yang dijustifikasi sebagai moralitas, akan tetapi pada sisi
yang lain terjustifikasi sebagai amoralitas.
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya bahwasanya sampai saat ini masih belum ditemukan
definisi terorisme yang berlaku secara universal. Akan tetapi dalam rangka
untuk memperoleh pemahaman yang utuh terhadap terorisme, maka perlu kiranya
mengkaji berbagai definisi terkait terorisme.
Diawali dengan kutipan dari Encyclopedia of Britanica terorisme
didefinisikan sebagai berikut, “Terrorism is the systematic use of violence
to create a general climate of fear in a population and thereby to bring about
a particular political objective”. Dari sini setidaknya dapat dipahami
bahwasanya terorisme erat kaitannya dengan tindakan kekerasan yang sengaja
digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat politis.
Sedangkan
Wikipedia Indonesia menguraikan terorisme dengan serangan-serangan
terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok
masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara
peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban
jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Dalam
buku Terrorism Perspectives From The Behavioral And Social Sciences,
disebutkan bahwa definisi terorisme adalah
“….the systematic use of terror, especially as a means of coercion”.
Secara sederhana dapat dipahami bahwasanya terorisme merupakan sebuah tindakan
terror yang dilakukan secara sistematis, dan di dalamnya terdapat aspek
kekerasan yang tidak terpisahkan.
Menurut
pengamatan Walter Lacquer, tindakan terorisme sesungguhnya berakar dari adanya
ketimpangan social ekonumi yang luas di dalam masyarakat. Ia mendefinisikan
terorisme sebagai berikut: Terrorism has been defined as substate
application of violence or threatened violence intended to show panic in
society, to weaken or oven overthrow the incumbent, and to bring about
political change. It shades on ossasion into guerrilla warfare (although unlike
guarrillas, terrorist are unable or unwilling to take or hold territory) and
even a substitute for war between states.
Pandangan
ini memberikan gambaran bahwasanya terorisme cenderung mempunyai bentuk
kelompok-kelompok atau organisasi yang melakukan resistensi (perlawanan)
terhadap Negara. Dalam kontek tersebut, segala bentuk perlawanan dan ragam
jenisnya yang dilakukan oleh masyarakat bawah (masyarakat sipil) terhadap
struktur diatasnya (nagara) akan tergolong sebagai tindakan terorisme.
Perspektif
yang berbeda dirumuskan oleh sejumlah Negara-negara non-blok dengan
argumentasi, bahwasanya tidak semua tindakan perlawanan dikatagorikan sebagai
tindakan terorisme. Mereka memberikan batasan bahwa, perlawanan yang dilakukan
oleh bangsa yang tertindas pada bangsa penjajah tidak termasuk dalam katagori
tindakan terorisme. Dengan kata lain tindakan perlawanan-kekerasan yang
dilakukan untuk melakukan pembebasan diri dari penjajahan, dikatagorikan
sebagai legitimate right to self determination, bukan bagian dari suatu
tindakan terorisme.
Selanjutnya
definisi terorisme diberikan oleh United State Departement of Defense
(Departemen Pertahanan Amerika Serikat) dengan menyebut “Calculated use of
unlawful violence to inculcate fear; intended to coerce or intimidate
governments or societies in pursuit of goals that are generally political,
religious, or ideological”.
Definisi
yang diberikan Departemen Pertahanan Amerika Serikat meskipun masih menekankan
tindakan terorisme pada motifnya, namun cakupan motif terorisme dalam definisi ini lebih luas yaitu
tidak hanya aspek politik tetapi juga termasuk aspek keagamaan dan ideologi.
Terkait penggunaan teror dalam kepentingan politik, maka teror menjadi salah
satu bentuk apresiasi kepentingan politik yang paling serius untuk menekan
lawan politik dengan memanfaatkan kelemahan negara menjalankan fungsi
kontrolnya.
Tujuan
akhirnya adalah sebuah kosongnya kekuasan (vacum of power). Tidak selesainya
pendefinisian terorisme beserta batasannya, mengundang Prof. Dr. Edward Herman
dari Wharton Business College di Pennsylvania untuk berpartisipasi dengan
menawarkan sebuah definisi tentang terorisme yang dinilai relative netral,
yakni terorisme adalah “penggunaan tindakan kekerasan sedemikian rupa sehingga
menimbulkan ketakutan yang luar biasa dan menyebabkan jatuhnya korban jiwa
serta kerugian harta benda, baik publik maupun penduduk sipil, dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan politik”.
Perspektif
yang sama diungkapkan Grant Wardlaw, ia secara spesifik berbicara mengenai
terorisme politik, dengan mendefinisikannya sebagai “penggunaan kekerasan oleh
individu atau kelompok, baik bertindak atas nama pemerintah atau sebaliknya,
dan manakala tindakan tersebut dirancang untuk menciptakan ketakutan yang
ekstrim dengan tujuan untuk menekan kelompok tertentu yang menjadi sasaran
untuk memenuhi tuntutan politik para pelakunya”. Mengutip dari Kamus hukum
Black’s Law yang juga mendefinisikan terrorism dalam kaitannya dengan politik
yaitu “The use or threat of violance to intimidate or cause panic, esp. as a
means of affecting political conduct.
Arti
bebasnya adalah penggunaan kekerasan dengan mengintimidasi atau membuat
kepanikan, yang dimaksudkan untuk menmpengaruhi konstalasi politik. Akan tetapi
meskipun terorisme erat kaitannya dengan kekerasan, terorisme masih bisa
dibedakan dengan kekerasan biasa ataupun perang.
William
G. Cunningham, menggambarkan paramenter yang berbeda dari terorisme,
peperangan, dan kejahantan. Paramentar yang berbeda antara terorisme,
peperangan, dan kejahatan. Sebuah kejahatan biasa terutama memiliki motif ekonomi,
yang bentuknya dapat berupa teror untuk mendapatkan harta orang lain, atau
dapat berupa pembunuhan dengan alasan balas dendam atau untuk mempertahankan
harta yang telah dirampas.
Dalam hal
peperangan, terdapat motif serta tujuan yang lebih bersifat instrumental. Dalam
peperangan juga ada banyak aturan, salah satunya tidak boleh menyerang rakyat
yang tidak bersenjata (non- combantans). Selain itu, para pihak yang berperang
merupakan suatu instansi resmi dimasing-masing pihak.
Sementara
itu, berpijak pada sasaranya Edward Hyams mengklasifikasikan terorisme menjadi
dua terminelogi: Pertama. Terorisme langsung (derect terorism).
Dalam jenis terorisme ini para teroris berusaha melakukan serangan langsung
pada sasaran utamanya. Kedua, terorisme tidak langsung (indirect
terorism). Jenis ini mempunyai arti bahwa tindakan terorisme tidak diarahkan
secara langung pada sasaran utama, akan tetapi tindakan tersebut diarahkan pada
sasaran antara, seperti melakukan pengeboman terhadap berbagai fasilitas umum,
pemarintah, perbankang, dengan tujuan untuk mendiskriditkan pemerintah, dan
untuk menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan
rasa aman kepada warganya.
Alotnya
perdebatan tentang definisi terorisme dan batasan- batasanya yang sampai detik
ini belum ada pendefinisian yang kongkrit dan menyeluruh, sejatinya telah
mendorong badan dunia seperti Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk senantiasa
merumuskan pengertian terorisme. Pada tahun 1972 PBB membentuk Ad Hoc Committee
on Terorism. Namun setelah melalui proses yang panjang, akhirnya juga
gagal merumuskan definisi terorisme.
Ragam dan berbedanya sudutpandang yang prinsipil dari anggota PBB menjadi
pankal utama dari kegagalan tersebut.
Indonesia
merupakan pihak yang pro terhadap perang anti terorisme merumuskan definisi
terorisme sesuai ketentuan Undang- Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Tindak Pidana Terorisme adalah segala
perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Mengenai perbuatan apa saja yang
dikategorikan kedalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab
III (Tindak Pidana Terorisme) Pasal 6 dan 7, bahwa setiap orang dipidana karena
melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
- Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).
- Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
Tags
Psikologi Sosial