Methemoglobinemia
dan Sulfhemoglobinemia jarng menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena
hanya kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb. Methemoglobinemia baru merupakan
masalah pada takar lajak.
Insidens
nefropati analgesik berbanding lurus dengan penggunaan Fenasetin. Tetapi karena
Fenasetin jarang digunakan sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat sukar
disimpulkan. Eksperimen pada hewan coba menunjukkan bahwa gangguan ginjal lebih
mudah terjadi akibat Asetosal daripada Fenasetin. Penggunaan semua jenis
analgesik dosis besar secara menahun terutama dalam kombinasi dapat menyebabkan
nefropati analgetik.
Indikasi
Parasetamol merupakan pilihan lini
pertama bagi penanganan demam dan nyeri sebagai antipiretik dan analgetik.
Parasetamol digunakan bagi nyeri yang ringan sampai sedang(Cranswick 2000).
Kontra Indikasi
Penderita gangguan fungsi hati yang berat
dan penderita hipersensitif terhadap obat ini (Yulida 2009).
Mekanisme Toksisitas Paracetamol
Pada
dosis terapi, salah satu metabolit Parasetamol bersifat hepatotoksik,
didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non
toksik dan diekskresikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi
metabolit hepatotoksik meningkat melebihi kemampuan glutation untuk
mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan
timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan keracunan
Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation. Dengan
proses yang sama Parasetamol juga bersifat nefrotoksik.
Dosis Toksik
Parasetamol
dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa berpotensi
hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15g pada dewasa dapat menyebabkan
hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Dosis lebih
dari 20g bersifat fatal. Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-
obat yang menginduksi enzim hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik
meningkat karena produksi metabolit meningkat.
Gambaran Klinis
Gejala keracunan parasetamol dapat
dibedakan atas 4 stadium:
Stadium I (0-24 jam)
Asimptomatis atau gangguan sistem
pencernaan berupa mual, muntah, pucat, berkeringat. Pada anak-anak lebih sering
terjadi muntah-muntah tanpa berkeringat.
Stadium II (24-48 jam)
Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim
pencernaan menghilang dan muncul ikterus, nyeri perut kanan atas, meningkatnya
bilirubin dan waktu protombin. Terjadi pula gangguan faal ginjal berupa
oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria.
Stadium III ( 72 - 96 jam)
Merupakan puncak gangguan faal hati, mual
dan muntah muncul kembali, ikterus dan terjadi penurunan kesadaran,
ensefalopati hepatikum.
Stadium IV ( 7- 10 hari)
Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika
kerusakan hati luas dan progresif dapat terjadi sepsis, Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) dan kematian. (Lusiana Darsono 2002)
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan:
- Adanya riwayat penggunaan obat.
- Uji kualitatif: sampel diambil dari urin, isi lambung atau residu di tempat kejadian. Caranya: 0,5ml sampael + 0,5ml HCL pekat, didihkan kemudian dinginkan, tambahkan 1ml larutan O-Kresol pada 0,2ml hidrolisat, tambahkan 2ml larutan ammonium hidroksida dan aduk 5 menit, hasil positip timbul warna biru dengan cepat. Uji ini sangat sensitive
- Kuantitatif: Kadar dalam plasma diperiksa dalam 4 jam setelah paparan dan dapat dibuat normogram untuk memperkirakan beratnya paparan. Pemeriksaan laboratorium: Elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, transaminase hati dan prothrombin time.
Penanganan
Dekontaminasi
Sebelum ke Rumah Sakit: Dapat diberikan
karbon aktif atau sirup ipekak untuk menginduksi muntah pada anak-anak dengan waktu paparan 30 menit.
Rumah Sakit: Pemberian karbon aktif, jika
terjadi penurunan kesadaran karbon aktif
diberikan melalui pipa nasogastrik. Jika
dipilih pemberian metionin sebagai antidotum untuk menstimulasi glutation,
karbon aktif tidak boleh diberikan karena akan mengikat dan menghambat
metionin.
Antidotum
- N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan Parasetamol. N-asetil-sistein bekerja mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis glutation dan mening-katkan konjugasi sulfat pada parasetamol. N-asetilsistein sangat efektif bila diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum terjadi akumulasi metabolit.
- Methionin per oral, suatu antidotum yang efektif, sangat aman dan murah tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N asetilsistein
Dosis -
Cara pemberian N-asetilsistein:
- Bolus 150 mg /KBB dalam 200 ml dextrose 5 %: secara perlahan selama 15 menit, dilanjutkan 50 mg/KBB dalam 500 ml dextrose 5 % selama 4 jam, kemudian 100 mg/KBB dalam 1000 ml dextrose melalui IV perlahan selama 16 jam berikut.
- Oral atau pipa nasogatrik. Dosis awal 140 mg/ kgBB 4 jam kemudian, diberi dosis pemeliharaan 70 mg / kg BB setiap 4jam sebanyak 17 dosis. Pemberian secara oral dapat menyebabkan mual dan muntah. Jika muntah dapat diberikan metoklopropamid ( 60-70 mg IV pada dewasa ). Larutan N-asetilsistein dapat dilarutkan dalam larutan 5% jus atau air dan diberikan sebagai cairan yang dingin. Keberhasilan terapi bergantung pada terapi dini, sebelum metabolit terakumulasi.
Tags
Gizi dan Nutrisi