Dampak psikologis
Aksi
terorisme biasanya dilakukan oleh sekelompok tertentu untuk mencapai tujuannya.
Tindakan tersebut seringkali diwujudkan dengan melakukan kekerasan dalam upaya
menundukkan target oprasinya (entri poin). Lebih jauh, tindakan tersebut tidak
hanya melibatkan kedua belah pihak, akan tetapi juga melibatkan barbagai
komponen masyarakat termasuk masyarakat sipil.
Dengan demikian, secara sikologis terorisme yang
syarat dengan kekerasan menjadi ancama tersendiri bagi masyarakat. Oleh
karenanya mayarakat senantiasa selalu dihantui ketakutan- ketakutan akan
terorisme. Misalnya, pasca runtuhnya gedung kembar tuwin tower 2001 di Amerika
Serikat yang disinyalir melibatkan aktivis islam (Islamic movemet) telah
memunculkan respon negatif pada dunia islam. Striotip negatif inilah yang
kemudian menjadi modal bagi sebagian pihak untuk selalu menjustifikasi islam
teroris. Implikasinya, mereka senantiasa merasa risih dan terganggu atas
kehadiran orang muslim (islamofobia), pada sisi yang lain umat islam sendiri
merasa tersinggung dengan senantiasan memperlihatkan reaksi yang berlebihan
dengan menampikan Islam militant.
Dampak ekonomis
Tindakan terorisme seringkali dilakukan oleh pihak
yang tidak bertanggung jawab dengan cara merusak fasilitas publik. Bahkan lebih
dari itu, tindakan terorisme memang acap kali menargetkan tempat-tempat
strategis dan sensitive. Sebagai contoh, tragedy 11 september 2001 yang meluluh
lantakkan gedung kebanggaan Negara super power di dunia, sekeligus sebagai pusat
perdagangan dunia yang dikenal dengan World Trade Centere (WTC). kejadian itu
sungguh telah membuat kaget mata dunia, mengapa demikian? Karena amerika yang
selama ini dikenal dengan kekuatan meliter dan didukung dengan peralatan yang
canggih dalam waktu seketika dapat dilumpuhkan.
Begitu juga dengan kasus bom Bali “Bali kelabu” yang
terjadi pada paruh tahun 2002. Kedua insiden yang telah disebutkan di atas,
tentu bukan hanya tindakan biasa, karena insiden tersebut mampu melumpuhkan
roda perekonomian dunia. Sebut saja, Amerika Serikat jatuh dalam kubangan
krisis akibat ketidak tenangan pelaku ekonomi beroprasi disana, belum lagi
kerugian yang lain, seperti ribuan nyawa melayang dalam waktu seketika. hal
yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Indonesia ketika kasus pemboman di
pulau dewata tersebut.
Disintegritasi
Bagi sebagian kelompok munculnya gerakan-gerakan
radikalisme dan terorisme yang syarat dengan upaya perebutan kekuasaan
(motif-politik) memunculkan harapan baru. Akan tetapi pada sisi yang lain
merupakan ancaman bagi entitas yang lain, karena dibalik gerakan tersebut
tersirat semangat sektarianisme.
Misalnya, aksi pemboman Gereja-gereja GKPI dan Gereja
Katolik di Medan, rumah Dubes Filipina, dan Peledakan di Kuta Bali serta
Peledakan di Kedubes Australia. Mereka menisbatkan tindakannya sebagai bentuk
perjuangan, dan pada sisi lain tindakan tersebut merupak ekspresi ketidak
senangan atas pihak- pihak sebagaimana target oprasi diatas, lebih-lebih pada
aspek agama.
Dengan demikian, Aksi terorisme dengan ragam motifnya
akan dapat mengancam stabilitas politik dan keamanan yang pada gilirannya akan
menghambat kelancaran pembangunan nasional.
Kekosongan kekuasaan (Vacum of power)
“Teror” marupaka sebuah pilihan strategi teroris upaya
mencapai kepentingan politik-nya, dengan
meggunakan medium teror mereka menekan lawan politik dengan memanfaatkan
kelemahan negara menjalankan fungsi kontrolnya.
Tujuan akhirnya adalah sebuah kosongnya kekuasan (vacum of power).
Pemboman fasilitas public seperti tempat-tempat
ibadah, hotel JW Mariot dan kantor pemerintahan merupakan sekelumit gambaran
begitu gampangnya terorisme berlalu lalang di negeri ini, Negara sudah tidak
mampu melakukan proteksi dan pencegahan terhadap terorisme, bahkan beberapa
kali teroris tidak segan-segan menteror akan melakukan pembunuhan atas kepala
Negara. Alhasil, kalau ini benar-bener terjadi bukan tidak mungkin lagi akan
terjadi kekosongan kekuasaan.
Tags
Psikologi Sosial
nama authornya siapa
BalasHapus