Senada
dengan pengertian yang disampaikan Daniel P.Hallahan, dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa: Pendidikan
inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Mengingat
pernyataan di atas, sekolah inklusi merupakan sekolah yang harus memiliki
strategi pembelajaran yang lebih variatif agar dapat menangani berbagai
kemungkinan yang tidak biasa terjadi di sekolah pada umumnya.
Watterdal
(2005) dalam Kuning (2010) menyatakan bahwa: Sebuah pendidikan inklusi adalah
merangkul dan menerima keragaman. Tidak hanya mentolerirnya, tapi juga
mendorong keingintahuan dan kreativitas. Bukan hanya menyesuaikan atau kompromi
, tapi juga menciptakan sebuah semangat kompetisi yang konstruktif . Bukan di
antara anak, tapi anak-anak tersebut akan bersaing dengan dirinya sendiri.
Persaingan
yang konstruktif seperti yang telah disebutkan di atas, merupakan hal yang
sangat menarik dan menginspirasi untuk diterapkan tidak hanya di sekolah
inklusi melainkan di sekolah regular lainnya. Karena dunia pendidikan saat ini
telah diwarnai dengan citra persaingan yang berujung pada perasaan “harus
mengalahkan orang lain jika ingin menjadi pemenang”.
Mengingat
pernyataan di atas yang mengungkapakan bahwa kompetisi yang konstruktif
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pendidikan inklusi, maka
diperlukan model pembelajaran yang menunjang agar dapat membuat siswa bersaing
dengan dirinya sendiri.
Tags
Autisme