Gangguan
panik menurut Kolb dan Brodie merupakan kelainan medis berupa serangan panik
berulang dan sering yang tidak disebabkan oleh penggunaan zat atau obat atau
gangguan jiwa lain dengan puncaknya adalah perasaan takut, perasaan tidak nyaman
dan khawatir berlebihan (Rusminta Girsang, 1991).
Gangguan
panik menurut Kaplan dan Saddock disebabkan oleh respons terhadap bahaya yang
mengancam berasal dari dalam dirinya sendiri yang merupakan dorongan yang tidak
terkontrol (H.I Kaplan, B.J Saddock, 1997).
Menurut
DSM-IV, gangguan panik adalah gangguan yang sekurang-kurangnya terdapat 3
serangan panik dalam waktu 3 minggu dan tidak dalam kondisi berat atau dalam
situasi yang mengancam kehidupan (Rusminta Girsang, 1991). Gangguan panik
bersifat rekuren (kambuh) dan akan mengakibatkan terjadinya serangan panik yang
tidak diduga-duga dan mencapai puncaknya kurang dari menit.
Terdapat 3 model fenomenologi ganggguan
panik, yaitu (Rusminta Girsang,1991):
- Serangan panik akut. Ditandai oleh timbulnya peningkatan aktivitas sistem saraf otonom secara mendadak dan spontan disertai perasaan ketakutan. Serangan ini berakhir 10 sampai 30 menit dan dapat kembali normal.
- Antisipasi kecemasan. Ditandai dengan perasaan takut bahwa serangan akan timbul kembali. Keadaan ini jarang kembali normal karena sesudah serangan biasanya penderitasudah dalam kondisi kronis dan selalu mengantisipasi terhadap onset serangan.
- Menghindari phobia. Adalah kondisi panik yang berkembang menjadi perilaku menghindar atau fobia. Penderita menjadi ketakutan akan timbulnya serangan panik sehingga penderita menghindari situasi tersebut.
Epidemiologi
Data yang
dipublikasikan tahun 2005 menyatakan penderita gangguan panic di Amerika
diperkirakan berjumlah 6 juta pada populasi dewasa. Prevalensi gangguan panik
seumur hidup adalah 1,5-3% dan untuk serangan panik sekitar 3-4%. Angka kejadiannya
2 kali lipat lebih banyak pada perempuan dimana wanita dua sampai tiga kali
lebih sering terkena dibanding pria. Serangan panik biasanya pertama kali muncul
di usia muda namun tidak semua orang yang mengalami serangan panik akan berlanjut
mengalami gangguan panik. Riwayat perceraian atau perpisahan adalah faktor
sosial satu-satunya yang dikenali berperan dalam perkembangan gangguan panik
(H.I Kaplan, B.J Saddock, 1997).
Etiologi Gangguan panik
Terdapat
beberapa faktor yang mendasari terjadinya gangguan panic diantaranya faktor
biologis yang meliputi sistem saraf otonom dan zat-zat panikogen, faktor
genetis dan faktor psikososial (Sylvia Elvira D, Irmia Kusumadewi, 2010 dan H.I
Kaplan, B.J Saddock, 1997).
Faktor Biologis
Faktor
biologis yang terlibat mungkin adalah sebuah predisposisi yang diwariskan dalam
keluarga dan terjadi lebih banyak pada kembar identik dibanding kembar
fraternal (Hettema, et al, 2006).
Penelitian
tentang dasar biologis untuk gangguan panik telah menghasilkan bahwa gejala
gangguan panik dapat disebabkan oleh berbagai kelainan biolgis di struktur otak
dan fungsi otak. Pada gangguan panik ditemukan adanya disregulasi sistem saraf
perifer dan pusat dimana sistem saraf otonomik pada beberapa pasien gangguan
panik telah dilaporkan menunjukkan peningkatan tonus simpatetis, beradaptasi
lambat terhadap stimuli yang berulang dan berespon secara berlebihan terhadap
stimuli.
Pandangan
biologis lain menyatakan bahwa gangguan panik disebabkan oleh masalah-masalah
yang meliputi salah satu atau kedua neurotransmiter utama yaitu norepinefrin,
serotonin dan gamma aminobutyric acid (GABA) (Zwanzger dan Rupprecht, 2005).
Faktor genetik
Berbagai
penelitian telah menemukan adanya peningkatan risiko gangguan panik sebesar 4-8
lebih banyak pada saudara kembar monozigotik dan cenderung menderita gangguan
panik dibanding kembar dizigotik.
Faktor Psikososial
Terdapat
2 teori yang dikembangkan untuk menjelaskan patogenesis dari gangguan panik dan
agorafobia. Kedua teori tersebut adalah teori kognitif-perilaku, teori
psikoanalitik dan teori kelekatan. Hipotesis bahwa peristiwa psikologis yang menyebabkan
stres menghasilkan perubahan neurofisiologis pada gangguan panic mendapatkan
dukungan dari beberapa penelitian bahwa gangguan panik berhubungan kuat dengan
perpisahan parental dan kematian parental sebelum usia 17 tahun.
Selain
itu didapatkan pula bahwa pola kecemasan akan sosialisasi saat masa kanak-kanak,
hubungan dengan orang tua yang tidak mendukung serta perasaan terperangkap atau
terjebak dapat menyebabkan terjadinya gangguan panik.
Manifestasi Klinis
Gangguan
panik terutama ditandai dengan adanya serangan panik yang berulang dan terjadi
secara spontan. Kondisi cemas pada gangguan panik terjadi secara tiba-tiba yang
dapat meningkat disertai gejala-gejala mirip gangguan jantung. DSM IV
menekankan bahwa sekurang-kurangnya serangan pertama harus tidak diperkirakan
untuk memenuhi kriteria diagnosis untuk gangguan panik.
Gejala yang ditimbulkan antara lain:
- Serangan dimulai dengan periode gejala yang meningkat dengan cepat selama 10 menit.
- Gejala utama dan khas adalah ketakutan yang kuat dan suatu perasaan ancaman kematian dan kiamat.
- Pasien biasanya tidak mampu untuk menyebutkan sumber ketakutannya dan mungkin merasa kebingungan dan mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian.
- Tanda-tanda fisik seperti takikardia, sesak napas dan berkeringat.
- Sekurangnya satu serangan telah terjadi paling sedikit 1 bulan atau lebih dengan kekhawatiran yang menetap mengalami serangan tambahan, perubahan perilaku bermakna berhubungan dengan serangan.
- Permasalahan somatik akan kematian dari gangguan jantung atau pernapasan mungkin merupakan perhatian utama selama serangan panik.
Terdapat beberapa kondisi medis yang
menyerupai serangan panik, diantaranya:
- Hyper/hypothyroid
- Hyperparatiroid
- Prolaps Mitral
- Gangguan putus obat
- Gangguan putus alkohol
- Hipoglikemia
Diagnosis Klinis
Menurut Research
Diagnostic Centre (RDC) mengharuskan adanya enam serangan panik selama periode
enam minggu. International Classification of Disease revisi ke-10 (IRD-10)
mengharuskan adanya tiga serangan dalam tiga minggu (untuk penyakit sedang)
atau empat serangan dalam empat minggu (untuk penyakit parah), sedangkan DSM
III mengharuskan adanya empat serangan dalam empat minggu.
Untuk DSM IV sendiri kriteria diagnostik
untuk gangguan panik adalah sebagai berikut:
- Serangan panik rekuren yang tidak diharapkan.
- Sekurangnya satu serangan telah terjadi paling sedikit 1 bulan (atau lebih) dengan kekhawatiran yang menetap akan mengalami serangan tambahan, perubahan perilaku bermakna berhubungan dengan serangan.
- Tidak terdapat agoraphobia
- Serangan panik bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya obat yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum.Serangan panik tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain seperti fobia sosial, fobia spesifik, gangguan obsesif kompulsif atau gangguan stress pasca traumatik.
Penatalaksanaan
Terdiri
atas pemberian farmakoterapi dan psikoterapi. Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan bahwa bila hanya farmakoterapi saja maka angka kekambuhan lebih tinggi
(Sylvia Elvira D, Irmia Kusumadewi, 2010 dan H.I Kaplan, B.J Saddock, 1997).
Farmakoterapi
Terdiri atas:
- Serotonin selective reuptake inhibitors (SSRI) dapat dipilih sertralin, fluoksektin, fluvoksamin yang diberikan dalam 3-6 bulan atau lebih tergantung kondisi individu agar kadarnya stabil dalam darah sehingga dapat mencegah kekambuhan.
- Alprazolam dikonsumsi antara 4-6 minggu setelah itu di tapperring off. Untuk keadaan kronis alprazolam dapat diberikan selama 2 bulan sampai 2 tahun.
Psikoterapi
Terapi relaksasi
Tujuan terapi ini adalah meredakan dengan
cepat serangan panik dan menenangkan individu.
Cara melakukan terapi ini dengan melakukan latihan pernapasan dengan cara:
- Tarik napas biasa dan hitung sebanyak 5 kali.
- Tarik napas dalam dan hitung sebanyak 5 kali lalu keluarkan melalui hidung.
- Tarik napas biasa dan hitung sebanyak 5 kali.
- Tarik napas dalam, hitung sebanyak 5 kali lalu keluarkan melalui mulut.
- Tarik napas biasa hitung sebanyak 5 kali.
Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
Terapi
ini menekankan pada pikiran individu karena merupakan sumber utama perilaku
abnormal dan masalah psikologis sehingga penderita harus mengubah perasaan dan
perilaku individu dengan mengubah kognisi (pikiran). Tujuan dilakukan terapi
ini membantu memandu individu dalam identifikasi pikiran yang tidak rasional
dan mendorong penderita untuk mencari cara lain yang lebih positif.
Psikoterapi dinamik
Pada terapi ini, individu diajak memahami
diri dan mengenal kepribadiannya. Individu lebih banyak berbagi rasa sehingga
akan membutuhkan waktu yang lama untuk penyembuhannya.