The
Uniform Crime Reports (Krahé, 2005) mengungkapkan bahwa angka pembunuhan di
daerah metropolitan lebih tinggi (6 per 100.000) dibandingkan di daerah
pedesaan dan kota-kota yang lebih kecil (4 per 100.000). Sumber yang sama
memperlihatkan bahwa laki-laki jauh melampaui perempuan baik sebagai korban
(76%) maupun sebagai pelaku (90%) pembunuhan. Smith dan Brewer (Krahé, 2005)
melakukan penelitian di 176 kota-kota penting di Amerika Serikat. Proporsi rata
-rata perempuan yang menjadi korban pembunuhan kurang dari 25%.
The
Uniform Crime Reports (Krahé, 2005) menyatakan bahwa hanya kurang dari seperempat
korban pembunuhan yang berjenis kelamin perempuan. Pada 89% kasus, perempuan yang
menjadi korban dibunuh oleh laki-laki dan 32% di antara perempuan yang menjadi
korban dibunuh oleh suami atau pacarnya. Sebaliknya, hanya 3% dari seluruh
laki-laki korban pembunuhan yang di bunuh oleh istri atau pacarnya.
Berkowitz
(Krahé, 2005) mengemukakan bahwa membunuh seseorang yang asing dan membunuh
seseorang yang sudah dikenal memiliki dinamika dan motif dasar berbeda.
Pembunuhan yang terjadi diantara orang-orang yang saling mengenal sering kali
muncul dari pertikaian yang berjalan di luar kendali akibat pengaruh
respon-respon afektif yang kuat, dan sering kali diperberat oleh alkohol. Pada
kasus semacam ini, korban biasanya memainkan peran aktif dalam siklus kekerasan
yang berkulminasi pada kematiannya. Kasus kekerasan yang membawa kematian pada
korban yang dikenal oleh pembunuhnya merupakan contoh agresi bermusuhan (hostile
aggresion).
Sebaliknya,
membunuh orang asing lebih mungkin merupakan agresi instrumental dalam arti
bahwa pembunuhan itu dilakukan karena keberadaan tujuan lain (misalnya menutupi
tindak kriminal, perampokan, pencurian). Kedua macam pembunuhan ini sering kali
dilakukan oleh individu-individu yang sebelumnya telah memiliki catatan kekerasan
kriminal. Hal ini menunjukkan bahwa pembunuhan kriminal mungkin merupakan
ekspresi ekstrem dari kecenderungan yang lebih umum ke arah kekerasan fisik daripada
suatu luapan impuls agresif intens yang terpisah. Dengan mengesampingkan
kecenderungan agresif yang muncul karena keberadaan gangguan psikiatris,
kecenderungan ke arah kekerasan secara umum itu agaknya merupakan akibat
pengalaman sosialisasi yang adversif (tidak menyenangkan), misalnya
penganiayaan pada masa anak-anak atau berhubungan dengan teman-teman sebaya
yang nakal, berkombinasi dengan keterampilan mengatasi pengalaman negatif yang
tidak berkembang dengan baik (Blaske, dkk. dalam Krahé, 2005).
Selain
itu, Baumseiter, dkk (Krahé, 2005) menyoroti peran self esteem yang terancam
sebagai pemicu pembunuhan. Mereka menyatakan bahwa harga diri yang terlalu
tinggi atau tidak stabil lebih berkemungkinan untuk menimbulkan tindakan
kekerasan daripada self esteem yang rendah.
Stresor
sosial-ekonomis seperti tingkat pendapatan yang rendah, tingkat pendidikan yang
rendah, dan kondisi perumahan yang buruk merupakan faktor tambahan yang
seringkali saling berhubungan dalam memberikan kontribusi terhadap terjadinya
pembunuhan (Cornell dalam Krahé, 2005). Faktor-faktor ini telah ditelaah oleh penjelasan
sosiokultural yang lebih menekankan pada peran kondisi sosial tertentu daripada
ciri-ciri individual dalam menjelaskan tentang pembunuhan. Messner dan
Rosenfeld (Krahé, 2005) membedakan dua aspek fasilitator sosi al-kultural
pembunuhan.
Aspek
pertama adalah pengaruh kontrol (control influences) yang mengacu pada kondisi
struktural yang menyebabkan kerusakan sistem kontrol efektif yang mestinya
mencegah terjadinya pembunuhan akibat kekerasan. Aspek kedua adalah pengaruh
ketegangan (strain influences), pengaruh mengenai anggota-anggota kelompok
sosial tertentu yang mendorong mereka untuk melakukan tindak kekerasan.
Kegagalan sistem kontrol sosial, misalnya akibat kenaikan suhu politik,
memungkinkan para anggota suatu komunitas terlibat dalam kekerasan.
Di antara
fasilitator-fasilitator situasional langsung untuk pembunuhan berencana,
ketersediaan senjata api juga mendapat perhatian cukup luas dalam penelitian.
Secara umum diasumsikan bahwa kepemilikan senata api merupakan faktor resiko
untuk kejahatan yang dapat menyebabkan kematian. Sekitar 70% pembunuhan yang
terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1999 melibatkan penggunaan senjata api.
Angka yang lebih tinggi dilaporkan Maxon (Krahé, 2005) untuk pembunuhan yang
terkait dengan geng. Temuan semacam ini dan angka-angka serupa pada pembunuhan oleh
remaja telah melahirkan pendapat bahwa kepemilikan senjata api merupakan faktor
resiko signifikan untuk perilaku membunuh (Krahé, 2005).
Tags
Psikologi Sosial