Jarak kekuasaan
Jarak
kekuasaan adalah adanya ketidaksamaan wewenang dan kekuasaan antara atasan
dengan bawahan atau batasan-batasan kewenangan antara atasan dengan bawahan
dalam suatu organisasi (Berry, 1999). Pada
dasarnya manusia memiliki
perbedaan kemampuan fisik
dan intelektual, yang akhirnya
dapat membedakan kekayaan
dan kekuatan masyarakatnya. Masyarakat
dengan jarak kekuasaan yang
tinggi akan menerima adanya perbedaan yang nyata dalam
kekuatan atau kewenangan
organisasi, cenderung mengembangkan aturan, mekanisme atau
kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan.
Implikasi dalam struktur organisasi biasanya ditandai adanya struktur hirarki
yang ketat dan kekuasaan yang terpusat (Dayakisni & Yuniardi , 2004). Karyawan sangat
menghargai mereka yang memegang jabatan dengan kewenangan tinggi.
Sebaliknya, masyarakat dengan
jarak kekuasaan yang rendah memperkecil
ketidaksamaan/ketidakmerataan kewenangan
dan mengutamakan kesejajaran sehingga struktur organisasinya biasanya kurang
ketat hirarkinya atau lebih terdesentralisir. Atasan tetap
memiliki kewenangan tetapi karyawan
tidak perlu merasa
kaku atau takut
kepada atasannya (Zainuddin, 2006).
Indeks jarak kekuasaan, didasarkan pada tiga
butir pertanyaan yaitu (1) perasaan takut apabila karyawan tidak setuju dengan
manager, (2) pengambilan keputusan dipersepsi sebagai non-demokratis dan (3)
preferensi pengambilam keputusan yang konsultatif (Berry, 1999).
Perbedaan
karakteristik jarak kekuasaan yang diperoleh dari hasil penelitian Hofstede
tahun 1984 antara masyarakat yang jarak
kekuasaan tinggi dengan yang rendah adalah sebagai berikut (dalam Matsumoto
& Juang , 2000).
Karakteristik jarak kekuasaan tinggi
yaitu:
- Orangtua meletakkan nilai yang tinggi pada ketaatan anak-anak
- Pelajar meletakkan nilai yang tinggi pada konformitas
- Pelajar memperlihatkan sikap authoritarian sebagai suatu norma sosial
- Dalam pengambilan keputusan manager bersifat autokaratis atau paternalistic
- Pengawas yang tertutup dievaluasi positif oleh bawahanya
- Etika kerja dirasa lebih rendah, dimana frekuensi keyakinan bahwa sebenarnya orang yang tidak suka kerja tinggi
- Manager lebih puas dengan atasan yang mengarahkan atau persuasive
- Bawahan memberikan pilihan untuk pengambilan keputusan dengan pola terpusat pada manager
- Manager melihat diri mereka sendiri sebagai pengambil keputusan yang baik
- Karyawan takut untuk tidak setuju terhadap pemimpinya
- Karyawan sulit untuk percaya pada orang lain
- Manager memiliki pertimbangan yang sedikit dalam pengambilan keputusan
- Pelajar memiliki asosiasi yang negatif terhadap ”kekuatan” dan ”kelemahan”
- Ideologis yang jadi pendukung karyawan berpartisipasi dalam manajemen
- Mendukung antar manager untuk memperluas distribusi kapasitas memimpin dan inisiatif
Karakteristik jarak kekuasaan rendah
yaitu:
- Orangtua meletakkan sedikit nilai pada kepatuhan anak-anak
- Pelajar meletakkan nilai yang tinggi pada kebebasan
- Sikap authoritarian dari pelajar merupakan keperibadian yang bermasalah
- Manager mengambil keputusan setelah berkonsultasi dengan bawahannya
- Pengawas yang tetutup dievaluasi negatif oleh bawahannya
- Etika kerja yang dipandang kuat, dimana keyakinan yang tinggi bahwa orang suka akan kerja
- Manager lebih puas dengan atasan yang telibat (partisipan)
- Bawahan memberikan pilihan pada manager untuk membuat keputusan secara konsultatif
- Manager melihat diri mereka sendiri sebagai praktikal dan sistematis yang memberikan dukungan pada bawahan
- Karyawan tidak takut jika tidak setuju dengan pemimpinnya
- Karyawan lebih menujukkan sikap saling bekerjasama
- Manager lebih menunjukkan pertimbangan dalam pengambilan keputusan
- Pelajar memiliki asosiasi yang positif terhadap “kekuatan’ dan “kelemahan”
- Perasaan saling terlibat antara karyawan tentang pertisipasi dalam manajemen
- Perasaan saling terlibat antar manager dalam meyebarkan kapasitas untuk memimpin dan berinisiatif
Penghindaran ketidakpastian
Penghindaran
ketidakpastian merupakan perasaan terancam seseorang terhadap keadaan ataupun
situasi yang tidak pasti atau ambigu pada masa yang akan datang, sehingga
cenderung akan membentuk aturan-aturan formal untuk menghindari ketidakpastian
tersebut. Kita hidup dalam
dunia yang penuh
ketidakpastian, sulit untuk
menebak masa depan. Respons
masyarakat terhadap ketidakpastian ini
juga berbeda-beda (Matsumoto
& Juang, 2000).
Budaya
penghindaran ketidakpastian yang tinggi, anggotanya merasa terancam dengan
ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi resiko
itu. Dalam dunia kerja, untuk memperoleh rasa aman dalam situasi kerja maka
diciptakan aktivitas-aktivitas yang lebih tersetruktur, aturan-aturan yang
tertulis atau pengaturan yang baik atau cenderung berorientasi pada peraturan.
Oleh karena itu, untuk berhasil dalam kerja dibutuhkan detil-detil tentang
aspek kerja, agar bawahan tidak binggung. Seorang manager diharapkan untuk
lebih terlibat, meluangkan waktu yang banyak dalam menjelaskan apa yang
diharapkan dalam melaksanakan suatu tugas. Prosedur, pedoman, data yang lengkap
atau detil sangat diperlukan. Organisasi dalam budaya yang penghindaran
ketidakpastian tinggi juga cenderung memiliki kejadian turn over yang sedikit, karyawan
ambisinya rendah karena kurang berani mengambil resiko dan petualangan, dan
perilakunya mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang ada (Dayakisni & Yuniardi ,
2004).
Sementara dalam budaya penghindaran ketidakpastian yang
rendah, biasanya bersikap lebih relaks dalam melihat ketidakpastian, mudah
beradaptasi terhadap perubahan, mereka cenderung lebih bisa menerima resiko,
sedikit memiliki aturan dalam penyampaian mandat/intruksi/saran kepada
bawahannya. Dengan situasi ini orang lebih banyak mengambil inisiatif sendiri
dalam menyelesaikan tugas. Sehingga seorang manager misalnya dapat memfokuskan
pada isu-isu strategik daripada detilnya dan lebih bebas menggunakan ide-ide
inovatifnya. (Dayakisni & Yuniardi , 2003). Hal ini dirangkum berdasarkan
tiga butir pertanyaan yaitu: (1) tidak melanggar kaidah-kaidah perusaahan, (2) ingin
tetap bekerja di perusahaan dan (3) merasa cemas dan tertekan di tempat kerja
(Berry, dkk. 1999).
Perbedaan
karakteristik penghindaran ketidakpastian yang diperoleh dari hasil penelitian
Hofstede tahun 1984 antara masyarakat yang
penghindaran ketidakpastian tinggi dengan yang rendah adalah sebagai
berikut (dalam Matsumoto & Juang , 2000).
Karakteristik penghindaran ketidakpastian
tinggi yaitu:
- Level kecemasan yang tinggi dalam populasi
- Lebih khawatir terhadap masa depan
- Stres kerja tinggi
- Sulit untuk berubah
- Kecendrungan untuk ingin tetap bekerja pada tempat yang sama
- Loyalitas pada pemberi kerja dipandang sebagai kebaikan
- Kesenjangan generasi yang besar
- Rata-rata usia yang tua berada pada level kerja yang tinggi
- Manager dipilih berdasarkan tingkat senioritasnya
- Motivasi berperstasi yang kurang
- Takut akan kegagalan
- Kurang mengambil resiko
- Kurang berambisi dalam kemajuan individual
- Seorang manager harus memiliki keahlian yang lebih dalam bidang yang ia pimpin
- Struktur hirarki dalam organisasi jelas dan dipatuhi
- Aturan perusahaan tidak boleh dilanggar
- Konflik dalam organisasi dipandang sebagai ketidakmampuan
- Kompetisi antar karyawan ditentang
- Pendekatan ideologis kearah konsensus dan pemimpin yang konsultatif
- Inisiatif bawahan diusahakan berada dibawah kendali atasan
- Kesiapan yang rendah dalam hal berkompromi dengan lawan
- Keraguan pada orang asing yang memimpinnya
- Karyawan merasa pesimis terhadap motif dibelakang aktivitas perusahannya
- Pesimis dalam berinisiatif, berambisi, dan kemampuan kepemimpinan.
Karakteristik penghindaran ketidakpastian
rendah yaitu:
- Level kecemasan yang rendah dalam populasi
- Semakin siap dalam menyongsong kehidupan yang akan datang
- Stres kerja yang rendah
- Mudah untuk berubah
- Sedikit keraguan untuk pindah dari tempat bekerja
- Loyalitas kepada pemberi kerja bukan dipandang sebagai kebaikan
- Kesenjangan generasi yang kecil
- Rata-rata usia yang muda dalam level kerja yang tinggi
- Manager dipilih berdasarkan kriteria bukan dari senioritas
- Motivasi berperstasi yang kuat
- Berharap pada kesuksesan
- Berani mengambil resiko
- Ambisi yang kuat dalam kemajuan individual
- Seorang manager tidak butuh menjadi seorang yang ahli dalam bidangnya yang ia kelola
- Struktur hirarki organisasi dapat ditembus oleh alasan yang pragmatis
- Aturan dapat dilanggar karena alasan pragmatis
- Konflik dalam organisasi dipandang sebagai hal yang alami
- Tedapat kompetisi antara karyawan yang jujur dan adil
- Lebih simpati pada keputusan individual
- Perwakilan bawahan dapat diterima oleh atasan
- Lebih bersedia dalam kerjasama dengan lawan
- Menerima orang asing yang menjadi pemimpinnya
- Karyawan merasa optimis pada motif yang berada dibalik aktivitas perusahaan
- Optimis dalam berinisiatif, berambisi dan memimpin.
Individualis-kolektifis
Dimensi
ini mengacu pada sejauhmana suatu budaya mendukung tedensi individualis atau
kolekifis. Budaya individualis mendorong anggota-anggotanya agar mandiri,
menekankan pada tanggung jawab dan hak-hak pribadinya. Sehingga dalam budaya
ini kebutuhan, keinginan, kepentingan dan tujuan individu lebih diutamakan
daripada tujuan kelompok. Dengan demikian, masyarakat individual mengharapkan
anggota-anggotanya untuk mandiri/bebas dan merealisasikan hak-hak pribadinya.
Sehingga hal ini menyebabkan tumbuhnya kemandirian secara emosional pada
instansi/perusahaan tempat mereka bekerja dan lebih mementingkan kebebasan,
tantangan secara inisiatif dalam tugas. Sementara budaya kolektif menekankan
kewajiban pada kelompok daripada hak-hak pribadinya. Bahkan diharapkan orang
untuk mengorbankan kepentingan dan tujuan pribadinya demi tujuan kelompok, sehingga
diharapkan karyawan lebih patuh dan menyesuaikan diri terhadap organisasi untuk
menjaga adanya keselarasan (Dayakisni & Yuniardi, 2003).
Adanya
perbedaan dalam dimensi individualis-kolektifis akan berpengaruh dalam
perbedaan secara nyata dalam sikap, nilai-nilai, keyakinan dan perilaku yang
berkaitan dengan kerja dan perusahaan tempat mereka bekerja. Misalnya masyarakat
yang memilki budaya individual cenderung menganggap waktu pribadi adalah
penting dan membuat perbedaan yang jelas antara waktu untuk diri mereka pribadi
dengan waktu untuk perusahaan. Mereka juga menekankan arti pentingnya
kebebasan, tantangan dan inisiatif dalam tugas, dimana isu-isu ini justru tidak
didukung oleh budaya kolektif. Dalam hubungannya dengan perusahaan mereka
cenderung bersifat kalkulatif
memperhitungkan untung rugi, sementara dalam budaya kolektif cenderung
bersifat moral. Promosi dalam budaya individual biasanya mendasarkan pada
prestasi, sementara dalam budaya kolektif mendasarkannya pada senioritas
(Dayakisni & Yuniardi, 2003).
Disamping
itu, dimensi individualis-kolektifis ini akan berpengaruh pada perbedaan
tentang kepemimpinan ideal yang diharapkan. Dalam budaya individual pemimpin
diharapkan melibatkan bawahnya dalam pengambilan keputusan. Karena itu,
keahlian dalam mendelegasikan dan konsultasi adalah penting supaya kerja dapat
maksimal. Kemampuan atau keterampilan dalam menghadapi situasi konflik juga
penting dalam budaya ini, khususnya untuk situasi konflik terbuka. Konflik
lebih mungkin terjadi pada masyarakat ini yang sangat menghargai setiap orang
untuk mempertahankan hak-hak pribadinya daripada kolektif yang mengutamakan
nilai keharmonisan sehingga situasi konflik apalagi secara terbuka jarang
terjadi. Oleh karena itu pada budaya kolektif kemampuan untuk empati atau
memahami orang lain adalah sangat penting. Seorang manager diharapkan untuk
lebih memberikan pertimbangan daripada perintah. Sehingga diharapkan manager
atau supervisor memiliki kemampuan dalam memberikan dukungan dan mentoring.
Selain itu, kemampuan yang penting adalah untuk menyusun team bulding, sebab
budaya kolektif lebih menyukai gruop belongingnes daripada kerja individual
(Dayakisni & Yuniardi , 2003).
Perbedaan
karakteristik individualis-kolektifis yang diperoleh dari hasil penelitian
Hofstede tahun 1984 antara masyarakat yang
individualisme- kolektifisme tinggi dengan yang rendah adalah sebagai
berikut (dalam Matsumoto & Juang, 2000).
Karakteristik individualisme-kolektifisme
tinggi yaitu:
- Memberikan waktu untuk kehidupan pribadi karyawan
- Kebebasan emosional dari perusahaan
- Lebih tertarik pada perusahaan yang kecil
- Keterlibatan terhadap perusahaan diperhitungkan
- Lebih mementingkan kebebasan dan tantangan dalam kerja
- Manager memimpin dengan metode yang bervariasi
- Manager merasa lebih penting untuk memiliki autonomy
- Keputusan individual lebih dihargai daripada keputusan kelompok
- Manager memilih kesenangan, affeksi dan keamanan sebagai tujuan hidup
- Inisiatif individu diberi dukungan sosial.
Karakteristik individualisme-kolektifisme
rendah yaitu:
- Lebih kearah pembekalan dari perusahaan seperti training
- Ketergantungan emosional oleh perusahaan
- Lebih tertarik pada organisasi yang besar
- Keterlibatan moral pada perusahaan
- Lebih memperhatikan moral dalam mengembangkan keahlian kerjanya
- Manager menciptakan konformitas dalam kepemimpinannya
- Manager lebih memilih jaminan posisinya
- Keputusan oleh kelompok lebih dihargai daripada keputusan individual
- Manager memilih kewajiban, keahlian dan prestise sebagai tujuan hidupnya
- Inisiatif individu dipandang sebagai penentangan kehidupan sosial.
Maskulinitas-feminimitas
Dimensi maskulinitas menekankan terhadap
tujuan-tujuan kerja (berpenghasilan, memperoleh kemajuan) dan keterusterangan.
Faktor-faktor yang terdapat di dalamnya adalah termasuk hubungan yang baik
dengan manager, kerjasama yang baik dengan orang lain, bayaran yang tinggi dan
dihargai. Sehingga maskulinitas sebagai suatu preferensi ke prestasi, heroisme,
keterusterangan dan keberhasilan materi. Sementara dimensi feminim menekankan
pada tujuan interpesonal (suasana bersahabat, akrab dengan atasan), pengasuhan
dan faktor yang terdapat di dalamnya adalah lebih kepada preferensi kehubungan,
perhatian manusiawi terhadap kelemahan, dan kualitas hidup (Berry, dkk. 1999).
Adanya
perbedaan dalam dimensi nilai ini akan berpengaruh pada struktur organisasi dan
corak hubungan dalam suatu perusahaan. Biasanya dalam masyarakat yang memiliki
dimensi maskulinitas tinggi maka perbedaan antara pria dan wanita menjadi
menonjol, dimana pria mengharapkan karir kerja yang bagus dan kurang dapat
mentolerir kegagalan. Demikian pula ketertarikan, kebutuhan dan tujuan
organisasi dipandang sebagai alasan yang sah untuk mencampuri kehidupan pribadi
karyawannya. Pada umumnya wanita yang
mendapat gaji atau penghargaan yang sama dengan pria harus lebih unggul,
lebih berkualitas dan lebih asertif dan disini terjadi tingkat stres yang lebih
tinggi juga. Demikian pula, manager atau supervisor yang dianggap baik adalah
memiliki perilaku yang dapat memberi penghargaan, pengakuan dan memberi
inspirasi (Dayakisni & Yuniardi , 2003).
Pada
masyarakat yang memiliki dimensi feminim mengangap bahwa kerja yang baik
menuntut kemampuan untuk lebih memperhatikan kesejahteraan orang lain dan
kurang mengutamakan kepentingan diri sendiri. Sehingga manager yang baik
misalnya diharapkan memiliki keterampilan dalam memberikan dukungan, mentoring
dan membentuk tim kerja yang solid (teambuilding skill) (Dayakisni & Yuniardi,
2004).
Perbedaan
karakteristik maskulinitas-feminimitas yang diperoleh dari hasil penelitian
Hofstede pada tahun 1984 antara masyarakat yang
maskulinitas- feminimitas tinggi dengan yang rendah adalah sebagai
berikut (dalam Matsumoto & Juang, 2000).
Karakteristik maskulinitas-feminimitas
tinggi yaitu:
- Keterusterangan, kemajuan, tantangan lebih penting bagi karyawan
- Manager memiliki kepemimpinan, kebebasan, dan realisasi diri yang ideal
- Keyakinan dalam kebebasan membuat keputusan
- Motivasi berprestasi yang tinggi
- Berpusat pada pekerjaan
- Lebih memperhitungkan gaji
- Pengaruh perusahaan terhadap kehidupan pribadi diterima
- Stres kerja yang tinggi
- Karyawan suka pada organisasi yang besar
- Tidak menerima kegagalan, dan langsung berusaha memperbaikinya.
Karakteristik maskulinitas-feminimitas
rendah yaitu:
- Hubungan dengan atasan, kerjasama, persahabatan, keamanan pekerjaan dipandang lebih penting
- Manager tidak seperti pemimpin yang kaku
- Keyakinan pada keputusan kelompok
- Motivasi berpertasi yang rendah
- Bekerja bukan menjadi pusat kehidupan
- Lebih memperitungkan apa yang ia berikan
- Tidak menerima pengaruh dari perusahaan dalam kehidupan pribadinya
- Stres kerja yang rendah
- Karyawan suka pada organisasi yang kecil
- Menerima kegagalan, dan kurang beruasaha untuk memperbaikinya.
Tags
Industri dan Jasa
nice post dude
BalasHapus