Menurut
Zifana (2010), metode role play digunakan apabila pelajaran yang dimaksudkan
untuk:
- Menerangkan suatu peristiwa yang di dalamnya menyangkut orang banyak, dan berdasarkan pertimbangan didaktik lebih baik didramatisasikan daripada diceritakan, karena akan lebih jelas dan dapat dihayati oleh anak
- Melatih anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial-psikologis
- Melatih anak-anak agar mereka dapat bergaul dan memberi kemungkinan bagi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya.
Sementara itu, Davies (1987) dalam Zifana
(2010), mengemukakan bahwa penggunaan role play dapat membantu siswa dalam
mencapai tujuan-tujuan afektif. Esensi role play, menurut Chesler dan Fox
(1966) dalam Zifana (2010) adalah “the
involvement of participant and observes in a re al problem situation and the
desire for resolution and understanding that this involvement engender”.
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa
penggunaan metode ini dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.
Ada empat asumsi yang mendasari metode ini memiliki kedudukan yang sejajar
dengan metode-metode pengajaran lainnya. Keempat asumsi tersebut ialah: pertama,
secara implisit bermain peran mendukung situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan
menekankan dimensi “di sini dan kini” (here and now) sebagai isi pengajaran.
Kedua, bermain peran memberikan kemung kinan
kepada siswa untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya yang tak dapat mereka
kenali tanpa bercermin kepada orang lain.
Ketiga, metode ini mengamsusikan bahwa emosi dan
ide-ide dapat diangkat ke taraf kesadaran untuk kemudian ditingkatkan melalui
proses kelompok.
Keempat, metode mengajar ini mengamsusikan
bahwa proses-proses psikologis yang tersembunyi (covert) berupa sikap-sikap,
nilai-nilai, perasaan-perasaan dan sistem keyakinan dapat diangkat ke taraf
kesadaran melalui kombinasi pemeranan secara spontan dan analisisnya (Sadali,
1998 dalam Setiawaty,2011).
Untuk dapat mengukur sejauhmana bermain peran
memberikan manfaat kepada pemeran dan pengamatnya ditentukan oleh tiga hal,
yakni: kualitas pemeranan; analisis yang dilakukan melalui diskusi setelah
pemeranan; dan persepsi siswa terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan
dengan situasi nyata dalam kehidupan.
Dalam role play siswa diperlakukan sebagai
subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya
dan menjawab) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif
dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri siswa (Depdiknas, 2002 dalam
Boediono, 2001). Lebih lanjut prinsip pembelajaran bahasa menjelaskan bahwa
dalam pembelajaran bahasa, siswa akan lebih berhasil jika mereka diberi
kesempatan menggunakan bahasa dengan melakukan berbagai kegiatan bahasa. Bila
mereka berpartisipasi, mereka akan lebih mudah menguasai apa yang mereka pelajari
(Boediono, 2001).
Jadi, dalam pembelajaran siswa harus aktif.
Tanpa adanya aktivitas, maka proses pembelajaran tidak mungkin terjadi
(Sardiman, 2004).
Menurut
Shaftel & Shaftel (Joyce & Weil, 1996:62 dalam Setiawati, 2008) tahapan-tahapan
role play terdiri dari sembilan fase dan aktivitas.
- Fase satu, memotivasi kelompok, mencakup memperkenalkan masalah kepada siswa sehingga mengetahui materi yang akan dipelajari. Selanjutnya diungkapakan masalah-masalah secara jelas. Bagian terakhir dari fase ini adalah mengajukan pertanyaan yang akan membuat siswa berpikir dan mem prediksikan cerita yang akan ditampilkan.
- Fase dua, memilih pemeran. Guru dan siswa menggambarkan karakter-karakter peran. Mengenai seperti apa karakter peran-peran tersebut dan bagaimana peran dibawakan. Hendaknya guru bertanya kepada siswa, apakah siswa itu akan berpartisipasi dalam pemeranan. Kemudian siswa tersebut memilih peran yang mana. Apabila guru yang menentukan, hendaknya diperhitungkan kecenderungan kesukaan siswa terhadap peran yang ada.
- Fase tiga, menyiapkan tahap-tahap peran. Para pemain menggambarkan garis besar skenario. Gambaran sederhana setting dan aksi pemeranan salah satu pemeran. Guru dapat membantu tahap-tahap peran dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perantersebut. Hal tersebut penting agar siswa merasa aman dalam melaksanakan role play dan memulai aksi pemeranan.
- Fase empat, menyiapkan pengamat. Pengamat terlibat aktif seperti kelompok pemeran dan menganalisis pemeranan. Shaftel menyarankan agar guru terlibat menjadi pengamat dalam role play dengan menetapkan tugas untuk siswa. Seperti mengevaluasi realisme role play, memberi komentar terhadap keefektifan dan rangkaian sikap pemeran.
- Fase lima, pemeranan. Guru membiarkan pemeran mengekspresikan ide mereka sesuai dengan tujuan. Apabila tindak lanjut yaitu diskusi menunjukkan kekurangpahaman siswa terhadap alur cerita yang diperankan, guru dapat meminta pemeranan ulang. Tujuan sederhana pemeranan adalah untuk mendirikan kejadian dan peran, yang kemudian peran dapat diselidiki, dianalisis dan dikerjakan kembali.
- Fase enam, diskusi dan evaluasi. Dengan mengajukan sebuah pertanyaan, siswa akan segera terpancing untuk segera mengeluarkan pendapatnya. Spontanitas diskusi hanya terjadi karena siswa mengerti apa yang baru saja diperankan.
- Fase tujuh, pemeranan ulang. Apabila terdapat gagasan mengenai alternatif-alternatif pemeranan, maka pemeranan ulang dilakukan. Dari uraian pada fase pemeranan, apabila dalam diskusi menunjukkan kekurangpahaman siswa, maka pemeranan ulang dilakukan.
- Fase delapan, diskusi dan evaluasi dilakukan sebagai tindak lanjut dari role play tersebut. Diskusi dan evaluasi dilakukan untuk membahas fokus dari pemeranan ulang.
- Fase sembilan mengenai berbagi pengalaman dan generalisasi. Guru hendaknya membentuk diskusi sehingga siswa setelah mengalami role play dapat mengenarilasasi situasi masalah dan konsekuensinya. Bentuk diskusi yang mencukupi akan sampai pada kesimpulan yang tepat.
Tujuan dan manfaat role play menurut Shaftel
(Joyce & Weil, 1996 dalam Setiawati, 2008) antara lain: agar menghayati
sesua tu kejadian atau hal yang sebenarnya dalam realitas hidup; agar memahami
apa yang menjadi sebab dari sesuatu serta bagaimana akibatnya; untuk mempelajari
indra dan rasa siswa terhadap sesuatu; sebagai penyaluran/pelepasan ketegangan
dan perasaan-perasaan; sebagai alat pendiagnosaan keadaan kemampuan siswa dan
sebagainya; dan role play dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman dalam nilai dan
rasa.
Menurut Dharma (2008) metode role play memiliki
beberapa tujuan, diantaranya melatih keterampilan tertentu baik yang bersifat
profesional maupun bagi kehidupan sehari-hari, memperoleh pemahaman tentang
suatu konsep atau prinsip, melatih memecahkan masalah, meningkatkan keaktifan
belajar, memberikan motivasi belajar pada siswa, melatih siswa untuk mengadakan
kerjasama dalam situasi kelompok, menumbuhkan daya kreatifitas siswa, dan melatih
siswa untuk mengembangkan sikap toleransi.
Rustaman, et al. (2003) mengungkapkan
kelebihan dalam metode bermain peran yaitu siswa dapat terlibat secara aktif
sehingga akan lebih memahami suatu konsep dan dapat mengingatnya dalam waktu
yang lama. Dalam pembelajaran biologi, penggunaan metode role play melibatkan
siswa untuk berperan menjadi komponen-komponen yang terlibat dalam proses
biologis dan seolah-olah berada dalam situasi yang sebenarnya.
Ginnis (2008) mengungkapkan alasan dari
pentingnya role play dalam peningkatan pencapaian penguasaan konsep di kelas yaitu
agar siswa dapat belajar dengan menggunakan indra ganda. Pengalaman melalui role
play akan masuk melalui lebih banyak jalur indra, pengalaman role play juga
memiliki keunggulan emosional, yang terasa menarik atau menyenangkan, sehingga
akan lebih bertahan lama di otak.
Role play merupakan suatu metode yang
menyeluruh, yang memuaskan siswa yang tidak membaca atau menulis den gan baik,
yang model belajarnya konkret aktifis atau acak, atau yang intelegensinya
sebagian kinestetik dan spasial.
Namun selain memiliki kelebihan, metode role
play pun memiliki kekurangan diantaranya adalah siswa yang tidak berbakat akan
merasakan beban untuk memainkan peran, tujuan sulit dicapai apabila siswa hanya
menekankan pada main-mainnya saja, ada siswa yang tidak menyenangi memainkan
peran tertentu, membutuhkan waktu lebih lama untuk memerankan sesuatu dalamkegiatan
belajar tersebut, dan role play terbatas pada beberapa situasi kegiatan belajar
(Hatimah, 2004 dalam Masyaroh, 2006).
Upaya yang dapat dilakukan untuk dapat
terselengga ranya pembelajaran dengan metode role play yang efektif menurut
Hatimah (2004 dalam Masyaroh, 2006) adalah cerita dibuat semenarik mungkin
sehingga siswa senang memerankannya, penyusunan cerita sesuai dengan materi
pelajaran, menjelaskan dan menegaskan peran yang harus dilaksanakan oleh siswa
sehingga siswa dapat memerankan karakter dengan sungguh-sungguh, dan guru mampu
menjadi observer sebagai bahan kegiatan diskusi.