Dalam penjelasan Kurnadi (2008), bila proses
reabsorpsi tubular berefek memasukkan zat-zat yang berguna bagi tubuh dari filtrate
glomerulus kembali ke dalam darah, maka sekresi tubular bekerja mensekresikan zat-zat
yang tidak berguna bagi tubuh dari darah ke dalam cairan tubulus. Kurnadi (2008)
menyebutkan zat-zat yang biasanya disekresikan antara lain H+, NH4+,
K+, asam urat, catecholamin, acetyl colin, seritonin, serta
obat-obatan seperti penicillin, aspirin, dan morphin.
Menurut Campbell et al. (2004), tempat terjadinya
filtrasi. Faktor pertama yaitu struktur glomerulus yang sangat porous (berpori-pori)
memudahkan terjadinya filtrasi. Kedua, tekanan darah di dalam glomerulus jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan darah kapiler-kapiler tubuh lainnya
dikarenakan penampang kapiler vas eferen lebih kecil dari vasaferen. Kapiler
pada glomerulus sangat permeabel, namun zat-zat yang tergolong molekul makro
seperti protein plasma (albumin dan globulin) serta sel-sel darah merah dan
sel-sel darah putih tidak dapat lolos dari kapiler. Hanya garam-garam anorganik
(Na+, K+, Cl-, dan HCO3-), air,
serta zat organik seperti urea, asam urat, glukosa, dan asam amino yang dapat
lolos dengan mudah dari kapiler glomerulus dan masuk ke rongga kapsula Bowman.
Winatasasmita (1986) menyebut proses selektif ini sebagai ultrafiltrasi. Cairan
hasil filtrasi ini disebut filtrate glomerular atau urin primer yang mempunyai
komposisi mirip plasma darah namun tanpa mengandung protein.
Tahapan pembentukan urin selanjutnya yaitu
reabsorpsi atau penyerapan kembali zat-zat yang masih digunakan oleh tubuh dari
lumen tubulus kembali kedalam darah. Campbell et al. (2004) menyatakan, tubulus
proksimal, tubulus distal dan lengkung Henle berperan sebagai tempat reabsorpsi.
Namun, duktus pengumpul pun mempunyai kontribusi yang sama dalam proses
reabsorpsi karena pada tubulus tersebut akan terjadi penyerapan air dan urea
kembali. Glukosa, vitamin, dan zat makanan organik lainnya yang ditemukan dalam
urin primer akhirnya akan diserap kembali. Winatasasmita (1986) menambahkan,
air dan garam-garam anorganik (Na+, K+, Cl-,
HCO3-, PO4-) juga ikut direabsorpsi oleh tubuh. Menurut
Winatasasmita (1986:234), zat-zat tertentu dapat direabsorpsi seluruhnya selama
belum melebihi konsentrasi ambang. Jika melebihi konsentrasi ambang zat-zat
tersebut tidak semua diserap kembali dan sisanya akan terbawa bersama urin.
Hasil dari proses reabsorpsi dinamaka n urin sekunder.
Campbellet al. (2004) menerangkan, proses
reabsorpsi dipengaruhi oleh ADH (Antidiuretic Hormon). Hormon ADH dihasilkan
oleh hipotalamus. Hormon ini bekerja untuk menjaga keseimbangan air terutama
ketika tubuh kekurangan banyak air. Ketika tubuh kehilangan air secara
berlebihan misalnya karena berkeringat atau diare, maka lebih banyak ADH yang
akan dikeluarkan ke dalam aliran darah. Hormon ADH dapat meningkatkan permeabilitas
epithelium tubulus terhadap air, sehingga akan memperbesar reabsorpsi air dan
urin menjadi kental, sedangkan jika ADH yang dikeluarkan sedikit, maka
penyerapan air oleh tubulus akan berkurang, sehingga pengeluaran urin encer
meningkat. Terjadinya peningkatan pengeluaran urin (urinasi) disebut diuresis,
sedangkan ADH bekerja berlawanan dengan keadaan tersebut, sehingga hormone ini
disebut hormone antidiuretik.
Tahapan selanjutnya dari proses pembentukan
urin adalah sekresi. Pada tahapan ini terjadi penambahan sejumlah zat-zat sisa
hasil metabolisme dan zat yang bersifat racun seperti obat-obatan yang tidak digunakan
tubuh ke dalam cairan di lumen tubulus yang umumnya terjadi pada tubulus
proksimal dan tubulus distal. Menurut Campbellet al. (2004), tubulus distal
memainkan peranan penting dalam pengaturan konsentrasi K+ dan NaCl
dalam cairan tubuh melalui pengaturan jumlah K+ yang disekresikan
dengan jumlah NaCl yang direabsorpsi. Seperti halnya tubulus proksimal, tubulus
distal pun mempengaruhi pengaturan pH melalui sekresi terkontrol H+ dan
reabsorpsi HCO3-.
Filtrat selanjutnya turun ke duktus
pengumpul. Pada duktus pengumpul ini masih terjadi penyerapan ion Na+,
Cl-, air, dan urea hingga terbentuk urin yang sesungguhnya. Dari
duktus pengumpul, urin akhirnya menuju piramid ginjal yang kemudian menuju
piala ginjal dan ureter. Selanjutnya urin ditampung dalam vesica urinaria yang
kemudian diekskresikan keluar dari tubuh melalui urethra (Campbell et al. ,
2004).
Sementara itu dalam beberapa buku Biologi SMA
diantaranya karangan Karmana (2007) dan Pratiwi (2007), mengemukakan bahwa
tahapan yang terjadi dalam pembentukan urin meliputi filtrasi, reabsorpsi, dan
augmentasi.
Augmentasi berasal dari bahasa Inggris ’augment’
yang berarti memperbesar, memperbanyak, atau menambah. Dengan demikian augmen tasi
dapat diartikan sebagai proses memperbanyak atau proses penambahan. Dalam hal
ini, adanya proses augmentasi dapat terlihat pada bagian lengkung Henle.
Campbell et al. (2004) menyatakan, pada saluran menurun lengkung Henle terjadi peningkatan
konsentrasi NaCl akibat reabsorpsi air sepanjang saluran tersebut. Air keluar
dari saluran menurun lengkung Henle secara osmosis. Osmolaritas filtrate menjadi
meningkat ketika zat terlarut termasuk NaCl menjadi semakin pekat. Sebaliknya, pada
saluran menaik lengkung Henle terjadi pengeluaran NaCl secara difusi. Saluran
menaik lengkung Henle ini tidak per meabel terhadap air. Dengan demikian
konsentrasi air dalam saluran tersebut bertambah atau meningkat.
Dengan adanya pengeluaran garam tanpa
pengeluaran air maka filtrat dalam saluran tersebut menjadi lebih encer. Proses
yang terjadi pada kedua saluran lengkung Henle tersebut merupakan usaha untuk
mempertahankan gradient osmolaritas dalam cairan interstitial ginjal.