Teori interaksi simbolik merupakan salah
salah teori dalam ilmu komunikasi. Di bawah ini akan dijelaskan secara lengkap
mengenai teori interaksi simbolik.
Sejarah Teori Interaksi
Simbolik
Para tetua intelektual dari Symbolic
Interaction Theory adalah ahli pragmatis pada awal abad ke 20, seperti John
Dewey dan William James. Para ilmuwan pragmatis ini percaya bahwa realitas
bersifat dinamis dan ide ini bukan merupakan ide yang populer pada masa itu.
Dengan kata lain, mereka mempunyai keyakinan ontologism yang berbeda
dibandingkan dengan ilmuwan terkemuka lainnya pada saat itu. Mereka mencetuskan
pemikiran mengenai munculnya struktur sosial, dan mereka bersikeras bahwa makna
diciptakan dalam suatu interaksi. Mereka merupakan aktivis-aktivis yang melihat
ilmu pengetahuan sebagai sebuah cara untuk mengembangkan pengetahuan dan
memperbaiki masyarakat.
Symbolic Interaction Theory lahir pada dua
universitas yang berbeda: University of Iowa dan University of Chicago. Di
Iowa, Manford Kuhn dan mahasiswanya merupakan tokoh penting dalam
memperkenalkan ide-ide asli dari Symbolic Interaction Theory sekaligus
memberikan kontribusi terhadap teori ini, tetapi pendekatan mereka dianggap
sebagai pendekatan yang tidak biasa; karenanya prinsip Symbolic Interaction
Theory dan pengembangannya yang berakar pada Mazhab Chicago.
Baik George Herbert Mead dan temannya John
Dewey merupakan teman sefakultas di University of Chicago. Mead mempelajari
filasafat dan ilmu sosial, ia memberikan kuliah mengenai ide-ide yang membentuk
inti dari Mazhab Chicago mengenai Symbolic Interaction Theory. Sebagai seorang
pengajar yang populer ia sangat dihormati, Mead memainkan suatu peran penting
dalam membangun perspektif dari Mazhab Chicago, yang difokuskan pada pendekatan
terhadap teori sosial yang menekankan pentingya komunikasi bagi kehidupan
interaksi sosial.
Kedua mazhab tersebut berbeda terutama pada
metodologinya. Mead dan mahasiswanya Herbert Blumer menyatakan bahwa studi
mengenai manusia tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan metode yang sama
seperti yang digunakan untuk mempelajari hal lainnya. Mereka mendukung
penggunaan studi kasus dan sejarah serta wawancara tidak terstruktur. Mazhab
Iowa mengadopsi pendekatan kuantitatif untuk studinya. Kuhn yakin bahwa konsep
Symbolic Interaction Theory dapat dioperasionalisasikan, dikuantifikasikan dan
diuji. Pada titik ini, Kuhn mengembangkan sebuah penelitian yang dinamakan
kuesioner dua puluh pernyataan sikap diri. Responden penelitian yang melalui
tes dua puluh pernyataan ini diminta untuk mengisi dua puluh baris kosong dalam
menjawab pertanyaan, siapakah aku? Beberapa kolega Kuhn di Iowa dikecewakan
mengenai konsep diri ini, dan mereka memisahkan diri untuk membentuk Mahzab
Iowa baru. Carl Couch adalah salah satu pemimpin aliran pemikiran baru ini.
Couch dan teman-temannya mulai mempelajari interaksi perilaku melalui
pembicaraan pada rekaman video daripada hanya mempelajari informasi dari tes
dua puluh pernyataan.
Tema dan Asumsi Teori
Interaksi Simbolik.
Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide
mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Karena ide ini dapat
diinterpretasikan secara luas, akan dijelaskan secara detail tema-tema teori
ini dan dalam prosesnya, dijelaskan pula kerangka asumsi teori ini.
Ralph LaRossa dan Donald C.Reitzes (1993)
telah mempelajari Teori Interaksi Simbolik yang berhubungan dengan kajian
mengenai keluarga.
Mereka
mengatakan bahwa tujuh asumsi mendasari Symbolic Interaction Theory dan bahwa
asumsi-asumsi ini memperlihatkan tiga tema besar:
- Pentingnya makna bagi perilaku manusia.
- Pentingnya mengenai konsep diri.
- Hubungan antara individu dan masyarakat.
Pentingnya
makna bagi perilaku manusia
Teori Interaksi simbolik berpegang bahwa
individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat
intrinsik terhadap apapun. Dibutuhkan konstruksi interpretif di antara
orang-orang untuk menciptakan makna. Bahkan, tujuan dari interaksi menurut
Symbolic Interaction Theory, adalah untuk menciptakan makna yang sama. Hal ini
penting karena tanpa makna yang sama komunikasi akan menjadi sangat sulit, atau
bahkan tidak mungkin. Coba anda bayangkan berbicara dengan seorang teman jika
anda harus menjelaskan semua makna idiosinkratik yang anda miliki untuk setiap
kata yang anda gunakan, teman anda harus melakukan hal yang serupa. Tentu saja,
sering kali kita memberikan asumsi bahwa kita dan pasangan bicara kita sepakat
akan sebuah makna dan kemudian menyadari bahwa kita keliru (sudah saya katakan
untuk bersiap-siap secapat yang kamu bisa). Satu jam adalah waktu tercepat bagi
saya bersiap-siap. Tetapi yang saya maksudkan adalah kamu harus siap dalam
waktu 15 menit. Kamu tidak mengatakan hal itu, tetapi seringkali kita dapat
menganggap orang mempunyai makna yang sama dalam pembicaraan.
Menurut
LaRossa dan Reitzes, tema ini mendukung tiga asumsi Symbolic Interaction Theory
yang diambil dari karya Herbert Blumer (1969). Asumsi-asumsi ini adalah sebagai
berikut:
- Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka.
- Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia.
- Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.
Manusia bertindak terhadap manusia lainnya
berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka. Asumsi ini menjelaskan
perilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara
sadar antara rangsangan dan respons orang berkaitan dengan rangsangan tersebut.
Teoretikus Symbolic Interaction Theory seperti Herbert Blumer tertarik dengan
makna yang ada di balik perilaku. Mereka mencari makna dengan memperlajari
penjelasan psikologis dan sosiologis mengenai perilaku.
Makna yang kita berikan pada simbol merupakan
produk dari interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan kita untuk
menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu pula. Contohnya, di Amerika
Serikat kita umumnya menghubungkan cincin perkawinan dengan cinta dan komitmen.
Cincin adalah simbol ikatan resmi dan emosional, dan karenanya kebanyakan orang
menghubungkan dengan konotasi positif. Walaupun demikian, beberapa orang
melihat pernikahan sebagai sebuah institusi yang opesif. Orang-orang tersebut
akan memberikan reaksi yang negatif terhadap cincin kawin dan segala simbol
lainnya yang mereka anggap sebagai situasi merendahkan. Maksud dari teoretikus
Symbolic Interaction Theory adalah bahwa cincin itu sendiri tidak mempunyai
makna yang spesifik; cincin ini memiliki makna ketika orang berinteraksi dan
menganggapnya sebagai sesuatu yang penting.
Individu mengembangkan konsep diri melalui
interaksi dengan orang lain. Asumsi ini menyatakan bahwa kita membangun
perasaan akan diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang
lain. Orang-orang tidak lahir dengan konsep diri; mereka belajar tentang diri
mereka melalui interaksi. Menurut Symbolic Interaction Theory, bayi tidak
mempunyai perasaan mengenai dirinya sendiri sebagai individu. Selama tahun
pertama kehidupannya, anak-anak mulai untuk membedakan dirinya dari alam
sekitarnya. Ini merupakan perkembangan paling awal dari konsep diri. Symbolic
Interaction Theory menyatakan bahwa proses ini terus berlanjut melalui proses
anak mempelajari bahasa dan kemampuan untuk memberikan respons kepada orang
lain serta menginternalisasi umpan balik yang dia terima. Peneliti-peneliti
awal mengenai keluarga seperti Edgar Burgess (1926) merefleksikan asumsi ini
ketika mereka mendiskusikan mengenai pentingnya keluarga sebagai sebuah
institusi untuk bersosialisasi. Selanjutnya Burgess menyatakan bahwa anak dan
orang tua mungkin berselisih paham mengenai konsep diri atau citra
anak-anaknya. Alicia Cast (2003) mempelajari penggunaan kekuasaan pada pasangan
yang sudah menikah, dan hasil yang ia dapatkan mendukung asumsi Symbolic
Interaction Theory ini. ia menyatakan bahwa konteks sosial dan interaksi adalah
suatu yang penting ketika menyelidiki tentang diri.
Konsep diri memberikan motif penting untuk
perilaku, pemikiran bahwa keyakinan, nilai, perasaan, penilaian-penilaian
mengenai diri mempengaruhi perilaku adalah sebuah prinsip penting pada Symbolic
Interaction Theory. Mead berpendapat bahwa karena manusia memiliki diri, mereka
memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini
digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. Penting juga diingat bahwa Mead
melihat diri sebagai sebuah proses, bukan struktur. Memiliki diri memaksa orang
untuk mengkontruksi tindakan dan responnya, daripada sekadar mengekspresikannya.
Jadi, misalnya, jika anda merasa yakin akan kemampuan anda dalam pelajaran
teori komunikasi, maka akan sangat mungkin bahwa anda akan berhasil dengan baik
dalam pelajaran itu. Bahkan, akan sangat mungkin pula bahwa anda akan merasa
percaya diri dalam semua mata kuliah lainnya. Proses ini sering kali dikatakan
sebagai prediksi pemenuhan diri (self-fulfilling project) atau pengharapan akan
diri yang menyebabkan seseorang untuk berperilaku sedemikian rupa sehingga
harapannya terwujud.
Hubungan
antara Individu dan Masyarakat
Tema yang berkaitan dengan hubungan antara
kebebasan individu dan batasan sosial. Mead dan Blumer mengambil posisi di
tengah untuk pertanyaan ini. mereka mencoba untuk menjelaskan baik mengenai
keteraturan dan perubahan dalam proses sosial.
Asumsi-asumsi
ini berkaitan dengan tema ini adalah sebagai berikut:
- Orang dan kelompok dipengaruhi proses budaya dan sosial
- Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Orang dan kelompok dipengeruhi proses budaya
dan sosial. Asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku
individu. Contohnya, ketika anda bersiap untuk hari pertama di tempat kerja
yang baru, anda memilih jas biru tua, kemeja oxford putih dan dasi berwarna
merah dengan garis biru. Padahal pakaian kesukaan anda adalah celana jins dan
kemeja famel, memilih berpakaian yang dirasakan lebih pantas secara sosial
dengan konteks kerjanya. Selain itu, budaya secara kuat mempengaruhi perilaku
dan sikap yang kita anggap penting dalam konsep diri. Di Amerika Serikat, orang
yang melihat diri mereka sebagai orang yang asertif (tegas) adalah orang yang
sering kali bangga pada atribut ini dan merefleksikannya dengan baik pada
konsep diri mereka. Dapat terjadi demikian karena di Amerika Serikat adalah sebuah
budaya yang individualistis yang menghargai ketegasan dan individualitas. Pada
banyak budaya Asia; kerja sama dan komunitas dihargai sangat tinggi, dan
kolektivitas lebih penting daripada individual. Jadi, orang Asia melihat
dirinya sebagai orang yang asertif mungkin akan merasa malu dengan konsep diri
semacam itu.
Mary Roffers (2002) menyatakan bahwa tugas di
kampus untuk membuat desain situs Web pribadi sangat sulit bagi seorang
mahasiswa suku Hmong di kelasnya. Mahasiswa itu menjelaskan bahwa berbicara
mengenai diri sendiri tidak diperbolehkan di dalam budayanya dan menempatkan
informasi mengenai dirinya dalam Web terasa tidak benar.
Struktur Sosial dihasilkan melalui interaksi
sosial. Asumsi ini menengahi posisi yang diambil oleh asumsi sebelumnya.
Symbolic Interaction Theory mempertanyakan pandangan bahwa struktur sosial
tidak berubah serta mengakui bahwa individu dapat memodifikasi situasi sosial.
Contohnya, banyak tempat kerja di Amerika Serikat mempunyai ketentuan Jumat
kasual, ketika karyawan memakai pakaian yang lebih kasual dibandingkan dengan
pakaian kantor yang telah disepakati secara sosial. Dengan demikian, para
partisipan dalam interaksi memodifikasi struktur dan tidak secara penuh
dibatasi oleh hal tersebut. Dengan kata lain, teoretikus Symbolic Interaction
Theory percaya bahwa manusia adalah pembuat pilihan (West, 2009).
Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar
interaksionisme simbolik yang berhubungan dengan meaning, language dan thought.
Premis ini kemudian mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang
(person’s self) dan sosialisasinya dalam komunitas (community) yang lebih
besar. Meaning (makna) : konstruksi realitas sosial. Blumer mengawali teorinya
dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah obyek atau orang lain
ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang obyek atau orang tersebut.
Languange (bahasa) : the source of meaning. Seseorang memperoleh makna atas
sesuatu hal melalui interaksi. Dengan demikian dapat dikatak bahwa makna adalah
hasil interaksi sosial. Makna tidak melekat pada obyek, melainkan
dinegoisasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol.
Oleh karena itulah teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik.
Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang
kemudian dapat memberi nama yang berguna untuk membedakan satu obyek, sifat,
atau tindakan dengan obyek, sifat atau tindakan lainnya. Dengan demikian premis
Blumer yang kedua adalah manusia memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu.
Simbol, termasuk nama, adalah tanda yang arbitrer. Percakapan adalah media
penciptaan makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik adalah
basis terbentuknya masyarakat. Para interaksionis meyakini bahwa upaya
mengetahui sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan
bahwa interaksionisme simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan
dunia.
Thought (pemikiran): process of taking the
role of the other. Premis ketiga Blumer adalah bahwa,”an individual’s
interpretation of symbol is modified by his or her own thought processes.”
Interaksionisme simbolik menjelaskan proses berfikir sebagai inner
conversation, Mead menyebut aktivitas ini sebagai minding. Secara sederhana
proses menjelaskan bahwa sesorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri
ketika berhadapan dengan sebuah situasi dan berusaha untuk memaknai situasi
tersebut. Untuk bisa berfikir maka seseorang memerlukan bahasa dan harus mampiu
untuk berinteraksi secara simbolik. Bahasa adalah software untuk bisa mengaktifkan
mind.
Kontribusi terbesar Mead untuk memahami
proses berfikir adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa manusia memiliki
kemampuan yang unik untuk memerankan orang lain (take the role of the other).
Sebagai contoh, pada masa kecil, anak-anak sering bermain peran sebagai orang
tuanya, berbicara dengan teman imajiner, dan secara terus menerus sering
menirukan peran-peran orang lain. Pada saat dewasa seseorang akan meneruskan
untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan bertindak sebagaimana orang
itu bertindak.
Setelah dipahami bahwa meaning, languange,dan
thought memiliki keterikatan yang sangat erat, maka kita dapat memperkirakan
konsep Mead tentang diri (self). Mead menolak anggapan bahwa seseorang bisa
mengetahui siapa dirinya melalui introspeksi. Ia menyatakan bahwa untuk
mengetahui siapa diri kita maka kita harus melukis potret diri kita melalui
sapuan kuas yang datang dari proses taking the role of the other. Membayangkan
apa yang dipikirkan orang lain tentang kita. Para interaksionis menyebut
gambaran mental ini sebagai the looking glass self dan hal itu dikonstruksi
secara sosial.
Penganut interaksionisme simbolik menyatakan
bahwa self adalah fungsi dari bahasa. Tanpa pembicaraan tidak akan ada konsep
diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang harus menjadi
anggota komunitas. Merujuk pendapat Mead self (diri) adalah proses
mengkombinasikan I dan me. I adalah kekuatan spontan yang tidak dapat
diprediksi. Ini adalah bagian dari diri yang tidak terorganisir. Sementara me
adalah gambaran diri yang tampak dalam the looking glass dari reaksi orang
lain.
Me tidak pernah dilahirkan. Me hanya dapat
dibentuk melalui interaksi simbolik yang terus menerus mulai dari keluarga,
teman bermain, sekolah dan seterusnya. Oleh karena itu seseorang membutuhkan
komunitas untuk mendapatkan konsep dirinya. Seseorang membutuhkan the
generalized other, yaitu berbagai hal (orang, obyek atau peristiwa) yang
mengarahkan bagaimana kita berpikir dan berinteraksi dalam komunitas. Me adalah
organized community dalam diri seseorang individu (Santoso, 2010).
Tags
Komunikasi
nice sharing...
BalasHapus